Pada tahun 1990 Milan Kundera menulis
sebuah novel yang brilian dan kocak (dalam
bahasa Ceko disebut Nesmrtelnost dan dalam bahasa Inggris disebut Immortality). Di sana, ia memperkenalkan sebuah
istilah baru yang menandai munculnya gerakan kekinian, “zaman ketika idealisme
dikalahkan realitas, dan realitas tidak berdaya di depan pencitraan”; imagologi.
Image atau citra berbeda dengan prasangka. Ia
adalah gambaran yang menampilkan sebuah kenyataan yang paling ideal. Di sana
ada yang hendak diraih, yakni sebuah kecendrungan masif tentang apa yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Gambaran ini, karenanya, bukan ditujukan
untuk perubahan realitas itu sendiri melainkan cara pandang manusia
terhadapnya. Prosesnya sendiri dilakukan lewat rekonstruksi realitas, baik itu dengan
bahasa, tanda (sign), gambar-gambar, maupun isyarat
tertentu yang telah dirumuskan sedemikian rupa. Intensitas kehadiran gambaran tersebut,
karenanya amat penting untuk keberhasilan merubah cara pandang. Pelan-pelan
namun pasti, pola pikir yang hendak dibangun pun terbentuk. Kita tidak tahu
sejak kapan cantik itu berkulit putih, rambut lurus dan badan langsing. Tapi
tata estetik ini, kita tahu sudah menjadi semacam konvensi yang harus dipatuhi
bila ingin dikatakan cantik.
Setiap zaman melahirkan gaya kepemimpinan
sendiri-sendiri. Di zaman ideologis, ketika pranata hidup semata-mata hanya untuk
kepentingan ideologi, muncul seorang Soekarno yang mampu membakar massa dengan
orasinya yang berapi-api. Di lapangan orang-orang bersorak. Di rumah-rumah,
orang ramai dengan khidmat mengerumuni radio buat mendengarkannya. Zaman itu
melahirkan pula seorang Soekarno yang decision maker, berani mengambil resiko tinggi. Kita ingat bagaimana proyek ambisiusnya;
Nasakom (Nasionalisme Agama Komunis), ia hayati dan pegang betul. Atau
bagaimana ketika ia bersikukuh dengan pembangunan Monumen Nasional, padahal
Negara dalam kedaan devisit, dan mengabaikan Masjid Istiqlal yang tidak
selesai-selesai. Ia banyak dihujat, keislamannya diragukan. Tapi ketika ditanya
Saifudin Zuhri, Menteri Agama waktu itu, ia hanya berkata; Saya sudah tua. Kalau Allah Swt
mentakdirkan saya mati padahal Monas belum selesai, orang sepeninggalku belum
tentu menyelesaikannya. Tetapi kalau Masjid Istiqlal yang belum selesai, mereka
akan menyelesaikannya. Insya Allah.”
Di zaman realitas, ketika ideologi
usang dan akhirnya kalah, muncul seorang Soeharto yang menganut prinsip “alon-alon
asal kelakon”. Setiap keputusan yang diambil dilakukan secara diam-diam,
perlahan-lahan, namun tetap dijalankan dengan patuh
oleh bawahannya. Ia tidak menyukai adanya gesekan-gesekan yang mengganggu stabilitas
keamanan. Dan itu sebabnya ia menumpulkan berbagai wacana ideologis yang
sebelumnya pernah berkembang. Ia meyakinkan rakyat, bahwa yang betul bukan
bagaimana berkoar-koar, tapi bagaimana merealisasikan proyek pembangunan.
Realitas akhrinya tak berdaya juga kala menghadapi pencitraan. Dan di
tengah masyarakat citra itu muncullah SBY yang bergaya bahasa sopan, kalem, penuh
kharisma, menjaga wibawa, sangat rapi dan
terkendali. Kesempurnaan penampilan menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Apapun
resikonya. Jika berkeliling ke daerah untuk berpidato, ia harus di atas podium
yang sama, yang selalu dibawa-bawa dari Jakarta, dengan membaca teks yang tidak
kelihatan di layar TV atau melalui teleprompter. Ia sangat disiplin
dan tepat waktu. Juga perfectionist, saking perfectionistnya bahkan terkesan tidak berani membuat keputusan karena
takut disebut sebagai presiden yang tidak perfectionist.
Dramaturgi Politikomedi
Istilah Dramaturgi kental dengan
pengaruh drama, teater atau pertunjukan fiksi di atas panggung. Di sana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia lain sehingga
penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu
mengikuti alur cerita yang disajikan. Dramaturgi dari
istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles, sekitar
tahun 350 SM, lewat karyanya Poetics.
Tapi dalam The
Presentation of Self In Everyday Life, Goffman
(1922-1982) memperkenalkan dramaturgi dalam kajian sosial psikologis dan
sosiologi. Artinya, bagi Goffman, drama terjadi tidak hanya di atas panggung
dalam arti sebenarnya, tapi juga di panggung sosiologis. Segala
macam perilaku interaksi seseorang
dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya menampilkan
diri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor dalam menampilkan
karakter orang lain pada sebuah pertunjukan drama.
Pertunjukan ini dimaksudkan untuk memberi
kesan yang baik demi mencapai tujuan. Singkat kata, dramaturgi adalah bentuk
komunikasi, hingga lawan komunikasi itu mau menerima sesuatu yang sebetulnya manipulasi. Atau dalam bahasa Achmad Albar yang amat populer, “dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah”.
Demikian, hingga bukan latah bila ICW mengatakan, DPR
hanya jadikan Pansus Century panggung teater (Republika, 19/2/10). Dan ICW
tidak sendirian. Jauh-jauh hari, bahkan, James C Scott (1936) sudah mengatakan
bahwa di
panggung politik itulah
suatu teater berlangsung. Naskahnya dibikin penguasa, untuk dikonsumsi publik (public transcript). Dalam transkrip ini, sang dipertuan agung harus
lewat dengan asesori keagungan, dan sang
petani harus menyambutnya dengan terbungkuk-bungkuk, dan tanpa
kentut. Naskah ini ingin
memproyeksikan sosok penguasa menurut
citra yang ia
kehendaki. Dan untuk itu, amat penting sebuah penampilan yang impresif. Itu bisa berarti rambut yang disisir rapi, gerak-gerik yang tertata, dan orasi yang meyakinkan. Itulah kenapa biaya kampanye amat mahal. Karena hanya
TV media yang bisa menghadirkan drama itu dengan utuh.
Imagology atau Dramaturgi
Politik telah mengantarkan SBY menang
mutlak di Pilpres 2009. Akan tetapi, bila pada akhirnya drama ini menyertakan
rakyat, si petani yang harus terbungkuk-bungkuk dan tanpa kentut itu, cerita
bisa berubah karena selera rakyat itu sendiri telah berubah. Upaya mencitrakan
kesempurnaan lama-lama akan basi, dan bahkan, dimuaki rakyat. Jika politik
adalah panggung pertunjukan, naskah macam apa yang sedang dipentaskan?
Italo Calvino (1923-1985), seorang pengarang Italia, membagi
cerita ke dalam dua kutub; tregedi dan komedi. Tragedi untuk cerita yang
diakhiri kematian si tokoh. Adapun
komedi untuk cerita yang tokohnya tetap hidup setragis apapun perjalanannya.
Karena setragis apapun sebuah peristiwa selalu mengandung unsur komedi. Dan
dalam komedi, tokoh tetap hidup untuk menertawakan nasib tragisnya.
Bila mengacu pada pembedaan di atas, dengan sendirinya
kita tahu naskah macam apa yang sedang dipentaskan para aktor politik; komedi.
Dan rakyat melihatnya, ikut serta di dalamnya, lalu berulangkali mengalami
peristiwa tragis, tapi tetap hidup untuk menertawakan kejadian itu. Rakyat
terpesona, memilih wakil-wakilnya, tapi marah ketika mereka ingin membuat rumah
baru dan menganggapnya sebagai ironi paling tragis, marah ketika mereka melakukan
kunjungan-kunjungan mubazir. Tapi lagi-lagi rakyat tetap hidup dan
menertawakannya. Para politikus yang ada kini, tak sekedar SBY, adalah hasil
pencitraan. Mereka melakukan aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi agar di
mata konstituen tidak terlihat cacat. Adapun SBY, menjadi amat sentral karena
ia, selain karena tuntutan, rajin tampil di TV, karenanya rajin melakukan
dramaturgi. Demikianlah drama komedi para politisi. Dan rakyat, penonton itu,
lama-lama bosan juga. Hingga persis inilah yang harus diperhatikan oleh para
aktor atau siapapun yang tertarik menerjuni pentas politik negeri ini. Perkembangan
mutakhir mengatakan, selera humor konstituen sudah berubah.
YKS dan Eksplorasi Kekacauan
Ada masa ketika tontonan komedi yang diminati
masyarakat adalah tontonan yang ditampilkan dengan persiapan telaten. Ada
sutradara, ada skrip, pengaturan bloking, penata gerak dan musik, dsb. Dari sini
kita lantas mengenal komedian macam Tora Sudiro, Aming, dkk., juga Pepy, dkk. Kita
tahu bagaimana jenis humor yang coba ditampilkan Komedian-komedian ini. Mereka
mematuhi alur, skrip dan arahan-arahan lainnya. Di sana ada cerita yang jelas,
karakter yang dijiwai, dll., Penonton pun bisa memilah mana bagian prolog,
epilog, ataupun klimaksnya. Singkat kata, tontonan yang hendak ditampilkan
adalah humor yang tertata sedemikian rupa, menyediakan seminimal mungkin
kesalahan dan mematuhi aturan artistik yang dikehendaki sutradara. Kesempurnaan
karenanya merupakan keadaan yang semirip mungkin dengan apa yang sudah
direncanakan. Kita bisa melihat bagaimana komedi ini pernah digemari dan
mengorbitkan nama-nama pemainnya.
Ada juga masa ketika tayangan komedi yang jadi primadona adalah tontonan
yang mengeksplor kesalahan; OVJ. Bagi program ini, kesempurnaan barangkali
adalah ketidaksempurnaan itu sendiri. Semakin jauh dari alur semakin memancing
tawa, sutradara tambah bingung penonton tambah gembira. Sang dalang adalah
sutradara yang harusnya dipatuhi, tapi wayang-wayang itu, sama sekali tidak mau
memahami kemauan sang dalang. Kemampuan para
wayang dalam mengartikulasi
daya gerak dan rasa, hingga mampu melahirkan dinamika dan menciptakan sebuah gagasan beserta segala
kemungkinan-kemungkinan barunya amat menarik minak penonton. Mereka benar-benar mengembalikan improvisasi
sebagai bandul utama dalam ber-seni. Mereka mampu
mengeksplorasi kesalahan dan menjadikannya humor segar. Mereka mengalir saja
dan bahkan sekehendak para wayang. Jika sutradara adalah tuhan dalam sebuah
pementasan, di OVJ, merekalah yang menjadi tuhan. Arahan dalang hanya didengar
jika mereka terlampau ngawur. Singkat kata, OVJ membalikan nilai, menawarkan
kejutan, dan penonton sangat terhibur. Tapi di sini pun masih ada skenario dan alur
cerita, meski keduanya dibuat semata-semata untuk sengaja dipunggungi.
Lalu kini sekonyong-konyong muncul komedi yang mengajak
partisipasi penonton (YKS). Tidak jelas apa suguhan utama yang ditawarkan, tapi
keterlibatan penonton bahkan kru acara yang biasa di belakang layar ternyata
mampu menjadi tontonan segar. Terlepas dari bermutu atau tidaknya acara ini,
tapi ratingnya kini mampu mengunguli program sinetron dan relity show yang dalam
dekade terakhir selalu merajai program televisi nasional. Bahkan OVJ,
kalah dengan program ini. Sejak
tayang pertama kali di bulan Ramadhan, program ini kini berhasil menjadi trend setter panggung hiburan.
Apa yang menjadi daya tarik YKS? Yang terutama barangkali partisipasi
yang mereka tawarkan dan keberhasilan tim kreatif YKS dalam menyeting acara
sedemikian rupa hingga tampak alami. Para artis berjoget, bintang tamu
berjoget, kru ikut berjoget, bahkan penonton ikut berjoget. Acara ini tak ubahnya
pertunjukan kolosal joget. Semuanya mengalir seolah-olah tanpa ada arahan. YKS
berhasil membuat kekacauan alami di layar televisi. Dan anehnya penonton suka. Kita
bisa saja menghakimi bahwa penikmat acara ini adalah masyarakat bebal yang abai
pada persoalan bangsa. Acara tidak berbobot semacam ini pastilah hanya ditonton
oleh orang-orang yang secara kualitas mental-intelektual tidak berbobot. Tapi sayangnya,
begitulah cerminan bangsa Indonesia. Setidaknya sekarang ini.
Apa yang hendaknya dipahami para aktor
dramaturgi politik (politisi) di 2014? Melihat selera humor penonton yang sudah
sedemikian berubah adalah tidak mungkin mereka yang masih bergantung pada
pencitraan bakal mendapat tempat. Mereka akan ditinggalkan jika tidak mengubah
gaya dan cara “menghibur” konstituen. Cara pencitraan yang
melulu menampilkan kesempurnaan sudah pasti bakal diabaikan. Penonton sudah bosan
dengan pertunjukan itu-itu juga, dengan masalah-masalah yang itu-itu juga, dan
upaya penyelesaian yang itu-itu juga. Penonton ingin pertunjukan yang kacau tapi memberi kesegaran. Badan penonton
agaknya sudah pegal-pegal karena capek duduk menunggu. Dalam hal ini, calon
pemimpin dan wakil rakyat yang hendak bertarung di 2014 tidak perlu visi-misi
yang aduhai. Tidak perlu pintar dan tahu akar setiap persoalan yang ada di
Indonesia. Tidak perlu bersih dan jujur. Tidak perlu berani dan siap melakukan
apapun untuk kejayaan negeri ini. Karena agaknya, siapapun yang maju, asal mau
mengajak penonton bergoyang, pasti menang. Ya, namanya juga negeri goyang. Kasih saja goyang oplosan. Selesai (kiamat).

Komentar
Posting Komentar