Sherlock Holmes vs Hercule Poirot, Siapa lebih Unggul?



Tidak bisa dipungkiri bahwa baik Holmes ataupun Poirot adalah jagoan jenius. Keduanya menyelesaikan banyak kasus-kasus pelik, kasus yang tidak bisa dipecahkan oleh detektif terbaik yang memiliki NIP. Dua-duanya merupakan pribadi yang menarik. Dua-duanya memiliki ketertarikan yang sama terhadap kejahatan yang rumit. Namun, jika kita berhasrat untuk membandingkan keduanya secara jujur, perihal siapa yang lebih unggul, siapakah gerangan yang lebih baik?

kita boleh beranggapan bahwa tidaklah pantas membandingkan melati dengan mawar. Mawar memiliki keindahannya sendiri, sebagaimana melati yang memiliki keindahan sendiri. Membandingkan keindahan, kecantikan, ataupun ketampanan, akan berujung kepada ketidakadilan di satu sisi, dan kesia-siaan di sisi yang lain.

Namun, upaya memperbandingkan Poirot dan Holmes di sini bukan upaya perbandingan visual seperti itu. Perbandingan yang dilakukan di sini akan dibatasi pada metode yang digunakan. Jika pun sesekali menyentuh karakter mereka, baik psikis maupun fisik, itu semata-mata karena keterkaitan keduanya dengan metode yang digunakan tidak bisa digunting putus.

Di mata para koleganya di kepolisian, metode Holmes dan Poirot dianggap aneh, terlalu teoritis dan tidak berinduk pada fakta. Metode poirot, bahkan disebut sudah kuno dan usang. Metode yang tidak lagi pantas diterapkan di zaman yang sudah diterangi ilmu pengetahuan.

Hercule Poirot

Dalam menyelesaikan sebuah kasus, Poirot sangat membatasi diri—jika tidak dikatakan menghindar sebisa mungkin—dari mengobservasi bukti-jejak fisik yang ada di lapangan. Poirot amat jarang memeriksa jejak kaki, tidak melihat abu rokok yang berceceran, tidak mengendus-endus tanah, tidak merasa perlu mengetahui kandungan tanah agar tahu dari mana tanah itu berasal. Poirot berada di lokasi kejadian "sejauh mungkin". Dia memperhatikan. Dia mengobservasi. Namun, dia sangat menjaga diri dari debu, dan segala hal yang bisa membuatnya kotor. Poirot sangat terobsesi pada kebersihan dan kerapihan. Dia benci, sangat benci, bahkan pada debu imajiner yang secara imajinatif mengotori celananya.

Perlu dipahami terlebih dulu bahwa tipikal kasus Poirot adalah kejahatan yang melibatkan orang dalam. Sebuah kasus pembunuhan di dalam suatu keluarga, misalnya, mestilah melibatkan satu atau dua orang anggota keluarga tersebut, atau orang yang sering berhubungan dengan keluarga tersebut. Pelaku kejahatan adalah orang yang dekat. Orang yang bisa bertemu setiap hari, mungkin ayah, anak, mungkin pula tetangga. Dan pelaku itu biasanya hadir sejak awal cerita. 

Holmes berbeda. Peristiwa-peristiwa kriminal yang dipecahkannya lebih sering melibatkan orang luar. Pelaku tidak dikenal, bahkan pelaku boleh jadi baru disebutkan di akhir cerita. Mungkin juga pelaku dan korban saling mengenal, namun keduanya tidak "berhubungan" dalam kehidupan aktual. Biasanya, motif untuk kasus semacam ini adalah dendam.

Dengan melihat tipikal kasus yang biasa dihadapi Poirot, dapatlah dipahami jika senjata andalannya untuk mengumpulkan data adalah wawancara. Ia mewawancarai orang-orang yang mengenal korban, lalu mengkonfrontasi dan atau mengkonfirmasi keterangan-keterangan itu untuk membangun sebuah teori yang kuat, yang berujung kepada kesimpulan. Penampilan Poirot yang eksentrik, kumisnya yang melengkung dan kelimis, badan gemuk pendek dan kepala bulat telur, ditambah sikapnya yang bersahabat, amat mendukung untuk menggali informasi dari orang-orang yang terlibat. Dia lebih menyerupai orang bodoh daripada terlihat sebagai ancaman, lalu orang yang diwawancarainya memberikan informasi kunci kepadanya tanpa ia sadari.

Semua itu ditunjang oleh wawasan Poirot yang luas terhadap kasus-kasus di masa silam, juga kemampuannya dalam membaca getar-getar psikologis seseorang, baik melalui gestur, raut muka, tatapan ataupun suara. Semua data yang dimiliki Poirot, data yang dengannya sebuah kasus ingin dipecahkan, diproses di sel abu-abu di dalam kepalanya. Bagi Poirot, mengendus-endus tanah sambil bertelungkup untuk menyelidiki jejak sepatu adalah pekerjaan anjing pemburu. Adapun sang tuan selamanya duduk di atas kuda.

Sherlock Holmes

Metode Holmes sering disebut, dengan nada meremehkan, sebagai metode yang tidak umum dan terlalu teoritik. Bahkan setelah berkali-kali metodenya terbukti bisa diandalkan, kesimpulan yang dihasilkannya tepat, detektif-detektif resmi macam Lestrade dan Jones masih saja bimbang dengan sangkil dan mangkusnya metode Holmes. Mungkin itu karena ego, mungkin juga karena gengsi untuk mengakui bahwa pengalaman dan status mereka yang resmi ternyata tidak ada secuilnya di hadapan Holmes yang amatir. Meskipun, tentu saja, jika detektif-detektif profesional itu mentok, pintu rumah di Baker Street-lah yang pertama kali mereka ketuk. Ya, mereka pada dasarnya mengakui kehebatan dan kecerdasan Holmes, hanya saja mereka berat mengatakannya.

Metode Holmes sebetulnya tidak sepenuhnya berbeda dengan metode Poirot. Sebagaimana Poirot, Holmes sangat bergantung kepada apa yang oleh Poirot sebut “sel abu-abu”. Holmes mengamati, mengumpulkan fakta, kemudian melakukan deduksi. Kesimpulan-kesimpulannya pun karenanya merupakan kesimpulan deduktif.

Juga sebagaimana Poirot, Holmes sangat perhatian pada detil-detil yang tidak diacuhkan orang. Ia, dengan ketajaman analisisnya, juga keluasan wawasannya, bahkan nyaris seperti peramal. Bedanya, jika peramal menjadi wingit karena kesimpulan-kesimpulannya tidak dapat dijelaskan secara logis, Holmes mampu menjelaskan kronologis, rantai peristiwa, sampai detil terkecilnya, dan karena itu terasa “biasa saja” lantaran mampu dijangkau penalaran logis.

Jika Holmes berkata kepada orang yang baru ditemuinya, atau orang yang sudah tidak lama bertemu dengannya (misalnya apa yang ia katakan kepada Watson yang ketika itu sudah menikah dan jarang bertemu dengan Holmes) “Kamu praktek (dokter) lagi ya?” atau “Pelayan wanitamu adalah seorang yang agak teledor dan kau sering kehujanan,” lalu Holmes menolak untuk mengatakan dari mana ia tahu hal itu padahal pernyataannya sangat sangat tepat, pantaslah Holmes disebut peramal, bahkan boleh jadi tukang sihir. Namun, Holmes selalu menjelaskannya—mungkin ini memberikan kepuasan tersendiri baginya. Ia senang menunjukkan kecerdasannya kepada orang lain, senang pula melihat orang lain terperangah mendengarkan penjelasannya yang sebetulnya sangat sederhana, meski ia tahu bahwa setelah diberi penjelasan orang tidak lagi merasa takjub kepadanya. Memang, jenius saja tidak cukup. Kejeniusan membutuhkan penonton.      

Mengenai praktek lagi, katanya, “Aku tahu dari bau yodoform-mu, bercak hitam bekas nitrat di telunjuk kananmu, dan tonjolan di bagian atas topimu yang au pakai untuk menyimpan stetoskop.” Adapun mengenai pelayan wanita yang teledor dan kau sering kehujanan, “Mataku melihat bahwa di bagian dalam sepatumu yang sebelah kiri, yang disinari cahaya lampu itu, ada enam goresan sejajar. Pasti disebabkan oleh keteledoran orang yang berusaha membersihkan lumpur kering dari sol sepatu itu ...”  Setelah dijelaskan, jadilah semuanya terlihat “biasa-biasa saja”. Sebagaimana rasa takut, rasa takjub yang ada pada diri manusia pun tertuju pada hal-hal yang tidak terjangkau, tidak terpahami, tidak terjelaskan.

Ada irisan-irisan yang mempertemukan Poirot dan Holmes. Ini wajar mengingat terciptanya Poirot pun justru diawali dari kekaguman Agatha Christie (1890-1976) pada tokoh Holmes. Namun, tidak dapat dipungkiri mereka berbeda. Perbedaan dan persamaan ini boleh jadi merupakan hasil tarik menarik antara pengaruh dan kontra-pengaruh Conan Doyle (1859-1930) yang ada dalam diri Agatha Christie. Di satu sisi, Agatha terpengaruh, tetapi di sisi lain, ia ingin menciptakan detektif sendiri, yang memiliki gaya sendiri, yang unik dan berbeda dengan Holmes. Maka lahirlah Poirot, detektif yang memiliki karakter khas, meski tidak sepenuhnya berbeda dengan Holmes.

Perbedaan yang nyata antara Holmes dan Poirot dari sisi metode adalah dalam kekayaan cara yang digunakan untuk memecahkan suatu kasus. Dan harus diakui bahwa dalam hal ini, Holmes lebih kaya, lebih saintifik, lebih komplit.

Poirot, umpamanya, tidak menguji fakta di labolatorium, tidak mengendap-ngendap di atas tanah, tidak mengendus-endus asap rokok, dan mengupayakan sebisa mungkin mengumpulkan “fakta dari atas kuda”. Holmes sebaliknya. Ia mau mengotori bajunya, dan terlatih melakukan banyak cara untuk mengumpulkan detil-detil fakta. Ia memiliki wawasan mendalam tentang jenis-jenis abu rokok, bau asap rokok, jenis tanah di banyak tempat, jenis-jenis kertas dan asalnya, serat kain, dan banyak detil lain. Ia juga melakukan uji kimiawi di laboratorium. Ia memukul-mukul mayat untuk mengetahui apakah memar masih akan timbul setelah kematian. Singkat kata, Holmes tidak hanya duduk, mendengar, berpikir lalu menyimpulkan, tetapi ia mau mengotori tangannya, dan siap melakukan apa saja untuk mengumpulkan fakta-fakta sebuah peristiwa. Tentu saja, hal ini dipengaruhi juga oleh jenis-jenis kasus yang dikerjakan Holmes, sebagai apa yang sudah disinggung di atas.

Jadi, Holmes, jika dihadapkan pada kasus Jessica, di samping mengamati detil-detil keterangan saksi dan kamera pengawas, akan bolak-balik ke lab untuk melakukan otopsi dan berbagai pengujian toksikologis. Ia akan melakukan segala hal yang mungkin untuk memastikan bahwa fakta-fakta tidak ada yang terlewat, rantai-rantainya saling berhubung, agar kesimpulan yang dibuatnya tidak cacat. Adapun Poirot, dengan melihat metodenya, akan menitikberatkan pada wawancara, menggali keterangan dari berbagai pihak yang mungkin terlibat, baik karena berada di tempat kejadian maupun karena berada dalam satu konteks peristiwa. Kemungkinan, Poirot juga akan banyak menghabiskan waktunya duduk di depan kotak bergambar untuk mengamati hasil tangkapan CCTV.     

Lalu, menurutmu, siapakah yang lebih unggul, Holmes atau Poirot? Kawan, kau boleh tidak setuju, tapi jika pertanyaan itu diajukan kepadaku, tanpa ragu aku jawab, “Holmes!”

Jajang Husni Hidayat 


Komentar

  1. Couldn't agree more. Holmes 👌

    BalasHapus
  2. dua2nya bagus kok. Tapi klo dari penulisan cerita agatha lebih bnyak twistnya

    BalasHapus
  3. Saya rasa sih poirot lah yaa,tindak tanduk perbuatan seperti anjing pemburu juga dapat merusak bukti tertentu,cara penyelesaian masalah nya juag berbeda,holmes secara segan memberitahukan sebuah kebenaran dari ketidaksengajaan orang,sedangkan poirot,seperti di film murder on the orient express.menyembunyikan menyembunyikan suatu hal yang sebenarnya tidak perlu disembunyikan,atas nama hati nurani,saya sih pilih poirot

    BalasHapus
  4. Pengarang tokoh Poirot sndiri mnyatakan kekagumannya pada sosok Holmes. So what else? Aku jelas Sir HOLMES

    BalasHapus
  5. dari segi cerita, Holmes lebih ke petualangan, sedangkan Poirot lebih ke cerita sederhana..

    BalasHapus
  6. Holmes sangat logis dan biasa, sementara Poirot sangat ajaib karena dengan duduk dan mendengarkan saja sel kelabu otaknya sudah bekerja brilian

    Poirot mungkin lebih unggul

    BalasHapus
  7. Sherlock Scott Holmes lebih memiliki penglihatan, rasa, dan firasat yang lebih bisa diunggulkan daripada Hercule Poirot. Tapi gaya berpikir dan bermain mereka berbeda sehingga keduanya bisa memecahkan masalah mereka sendiri. Namun perlu diingat kasus yang mereka tangani adalah imajinasi dari pengarang yaitu Sir Arthur Ignatius Conan Doyle dan Dame Agatha Mary Clarissa Christie jadi disesuaikan dengan sifat dari tokohnya. Tapi bagaimanapun Sherlock Holmes yang paling hebat

    BalasHapus

Posting Komentar