Aak Burjo, Cewek Papua, dan Dandhy Laksono


Kesan awal saya terhadap orang Papua dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang hanya secuil.  Saya tidak pernah berkunjung ke Papua, saya tidak memiliki teman orang Papua, dan saya tidak pernah membaca tentang Papua, kecuali hanya sedikit saja dan sambil lalu. Saya hanya pernah beberapa kali bertemu orang Papua dalam satu ruangan yang sama. Selebihnya, saya hanya melihat orang Papua di TV, di jalan yang kebetulan saya lewati, entah berpapasan saat menggunakan sepeda motor atau jalan kaki, dan mendengar banyak hal tentang orang Papua dari teman—kebanyakannya negatif. Singkat kata, saya tidak tahu sama sekali tentang orang Papua. Mungkin karena tidak tahu itu, ketika dulu saya melewati kost-kostan orang Papua di Timoho, lalu melihat mereka  nongkrong di halaman kostan layaknya mahasiswa lain yang tidak ada jam kuliah, saya, lucunya, merasa was-was. Saya merasa diperhatikan oleh mereka. Pantat saya seperti hilang begitu saja oleh karena inginnya saya melewati depan kostan mereka secepat mungkin. Padahal, mereka mungkin tidak memerhatikan saya.


Apa yang saya dengar tentang orang Papua biasanya yang negatif-negatif saja. (Mungkin seperti apa yang juga pernah didengar oleh pembaca) Bahwa orang Papua suka bikin onar, pemabuk, kotor dan jelek. Yang paling ekstrem adalah orang Papua dianggap layaknya iblis—ini betul-betul saya dengar—dan Jogja baru aman jika semua orang Papua dipulangkan ke kampung halaman mereka. Begitu banyak keburukan yang saya dengar tentang orang Papua, sampai-sampai orang Papua tidak lagi tampak memiliki sifat buruk tetapi sudah jadi keburukan itu sendiri. Orang yang dianggap memiliki sifat buruk masih bisa diharapkan berubah menjadi baik. Namun, orang yang dianggap jelmaan keburukan sudah tidak lagi diharapkan selain hilang atau enyahnya orang itu.
Dan harus diakui, ada anggapan bahwa orang Papua adalah orang asing yang diberi kewarganegaraan Indonesia. Orang Papua tak ubahnya saudara tiri orang Jawa, dan Negara sebagai ibu tirinya. Mereka bukan anak sah yang lahir dari perkawinan resmi, melainkan hanya anak pungut yang kebetulan kaya. Yup, mirip cerita Cinderella. Rumah, tanah, dan kekayaan Cinderella warisan dari almarhum ayahnya, dikuasai dan dinikmati oleh Ibu dan saudara tirinya. Sementara itu, Cinderella sang pemilik, bahkan tidak diberikan tempat tidur yang layak.

Berjumpa atau Mengalami Orang Papua     

“Perjumpaan” pertama terjadi di sebuah burjo di jalan Timoho, pada pukul 10 malam lewat. Di sana saya bertemu dua orang Papua, yang satu bermain gitar, yang satu bernyanyi keras setengah meracau, dan keduanya bisa dipastikan sedang mabuk. Saya tentu saja was-was melihat orang dengan tampang seseram itu, badan sekekar itu, mabuk. Pemilik burjo terlihat dongkol. Tingkah laku orang Papua itu sedikit banyak sudah merugikan bisnisnya—bagaimana pembeli mau datang kalau di halaman warungnya ada orang mabuk, Papua pula!—tetapi dia tidak punya cara untuk mengusir mereka. Yang bisa dilakukannya hanya manyun, lalu berbicara dengan bahasa ibunya kepada saya, “Engke bejakeun ku aing ka kokolotna, ngarah ditenggeulan.” (Saya kasih tahu nanti sesepuh orang Papua, biar mereka dihajar). Rupanya, pemilik burjo yang juga teman saya itu, mengenal sesepuh orang Papua di Jogja. Dan menurutnya, sesepuhnya itu pasti akan menghajar dua orang Papua itu karena merasa malu dengan tingkah laku mereka. Ia juga memberi tahu saya bahwa orang Papua yang resek biasanya adalah orang Papua yang baru datang ke Jogja. Orang Papua yang sudah lama tinggal di jogja tidak pernah berbuat seperti itu.
Pemilik burjo itu sedikit banyak telah membantu saya dalam melihat orang Papua secara lebih jernih, meski belum sepenuhnya bersih dari stigma negatif yang ada di benak saya tentang orang Papua. Ia membenci tingkah laku dua orang Papua itu, benci bagaimana keduanya mabuk dan meracau, tetapi tidak dengan ”orang”nya. Dalam keadaan dirugikan, saya pikir dapat dimaklumi jika ia pun membenci orangnya, lalu sebagaimana orang marah ia menggebyah uyah semua orang Papua dengan berkata; begitulah orang Papua, tidak beradab sejak dari sononya. Namun, pemilik burjo itu memilih bersikap proporsional dengan menjelaskan kepada saya bahwa tidak semua orang Papua seperti dua orang itu, dan apa yang mereka lakukan sebetulnya telah mencoreng orang Papua.


Pernahkah Anda tiba-tiba ditraktir oleh orang yang sama sekali tidak pernah Anda ditemui? Saya pernah, dan itu oleh perempuan Papua. Terjadi pada “perjumpaan” kedua saya dengan orang Papua di burjo itu juga. Di siang terik sepulang dari kuliah, saya mampir ke sana untuk mengobati dahaga dan sekedar bersantai. Saya memesan nescafe es, merokok beberapa batang, dan di sela-sela itu memakan dua bakwan. Saat masih menikmati minuman yang saya pesan, tiga perempuan Papua datang ke tempat itu dan memesan makanan untuk dibungkus. Mereka berbicara satu sama lain dengan nada keras, cepat dan tidak saya mengerti, kecuali hanya sebagian kecil. Jujur, jauh di dalam hati saya, ketika itu ada perasaan terganggu tanpa persis benar apa yang sesungguhnya mengganggu saya. Apakah kedatangan perempuan Papua itu, penampilan mereka, cara bicara mereka, tata rambut mereka, atau kulit mereka, saya tidak tahu. Yang jelas, ketika itu saya merasa terganggu dan oleh sebab itu sesekali saya melihat mereka dengan tatapan tidak senang. Saya tidak tahu apakah mereka sadar bahwa saya terganggu, tetapi saat mereka membayar pesanan, dan uang yang mereka bayarkan ada kelebihan, uang lebih itu digunakan untuk membayar pesanan saya. Saya menolak tetapi perempuan itu tetap memaksa. Ya sudah, jadilah siang itu saya ditraktir oleh orang yang baru pertama kali bertemu,  tanpa say halo atau basa-basi, tanpa obrolan garing atau antusias semacam obrolan panca kaki. Saya asing baginya, ia asing bagi saya. Saya mengucap terimakasih dengan rasa bingung yang tidak bisa saya sembunyikan. Perempuan itu tersenyum, lalu pergi dari hadapan saya.
Perjumpaan ketiga terjadi lewat tangan Dandy Laksono. Pertama, perjumpaan yang terjadi lewat film dokumenter berjudul “The Mahuze's” hasil dari sebuah proyek gila bernama Ekspedisi Indonesia Biru. Film ini bercerita tentang kehidupan keluarga Mahuze dan respon mereka terhadap perusahaan sawit yang hendak membeli tanah leluhur mereka. Lewat film ini sedikit banyak saya memahami bagaimana orang Papua hidup. Dan gara-gara film ini, ketika saya memakan ikan—biasanya saya memulai dari badannya, saya memulai dari kepalanya. Sebab, anak-anak Mahuze memakan burung bakar mulai dari kepalanya. Katanya, biar berani. Saya pikir, hal itu pun berlaku jika kita memakan ikan.


Kedua, perjumpaan terjadi lewat artikel berjudul “Kemiskisan dan Niat Baik di Papua.” (lihat: http://geotimes.co.id/kemiskinan-dan-niat-baik-di-papua/ ) dan “Iba Berujung Petaka” (lihat: http://geotimes.co.id/iba-berujung-petaka/ ). Dua artikel ini berbicara tentang niat baik dan rasa iba yang keliru, dan (harus diakui) itu sering kita lakukan. Kita mengunjungi suatu kampung misalnya. Di kampung itu rumah-rumahnya dibangun alakadarnya saja. Tembok tidak dicat, bahkan tidak diplester, atau masih berbentuk pangung, atau lantai rumah yang masih dari tanah, sementara di halamannya ada kandang sapi yang tentu saja bau. Kita membandingkan dengan rumah kita yang berlantai keramik. Segeralah muncul dalam benak kita asumsi bahwa kampung itu adalah kampung tertinggal berisi kaum miskin dan papa. Mereka adalah orang-orang yang pantas dikasihani, dan bla bla bla. Kita terenyuh. Namun, bersamaan dengan itu kita merasa lebih beradab daripada orang-orang di kampung itu. Bagaimana bisa kandang sapi dibuat di halaman rumah? Dalam perspektif yang lebih beradab bukankah halaman rumah seharusnya dijadikan taman, sesederhana apa pun taman itu? Pola pikir seperti inilah yang coba diluruskan oleh artikel tersebut. Bahwa kita sering tertukar dalam melihat kemiskinan dan gaya hidup. Bahwa asumsi kita tentang kemiskinan selalu didasarkan kepada gaya hidup kita, atau setidaknya gaya hidup ideal menurut kita.


Keluarga Mahuze memasak di alam terbuka menggunakan kayu bakar dan peralatan seadanya. Mereka tidak punya kompor gas jangankan dapur. Ketika melihatnya, kita merasa iba, lalu berupaya sebisa mungkin meringankan beban mereka dengan memberikan kompor gas plus tabungnya secara cuma-cuma, yang pada akhirnya akan membebani mereka dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang sebelumnya bukan merupakan kebutuhan. Padahal, sangat boleh jadi keluarga Mahuze senang memasak di alam terbuka karena begitulah cara mereka hidup. Mereka tidak miskin, itu hanyalah gaya hidup. Dan jika kita bertanya kepada diri kita yang memasak di dapur dengan kompor gas, apakah dengan dapur dan kompor gas itu kita kaya? Belum tentu, kompor gas dan dapur hanya gaya hidup. Pertanyaannya kemudian, apakah adil memaksakan gaya hidup kita untuk diikuti orang yang memiliki gaya hidup berbeda?  
Secara lebih jauh, asumsi tentang kemiskinan yang dinilai berdasarkan gaya hidup akan menjerumuskan kita pada asumsi lain yang konyol tetapi kejam; kita lebih beradab. Saat kita terenyuh dan iba melihat orang yang kita asumsikan miskin,  kita akan merasa lebih beradab dari orang “miskin” itu. Penjajahan dimulai dari sini, dari pikiran mengadabkan ini, sebagai apa yang dulu terjadi di zaman kolonial. Ketika kita melihat orang lain sebagai orang kurang beradab, bahkan penjajahan, penindasan, akan menjadi terasa bernilai karena hal itu dimotivasi oleh keinginan luhur untuk mengadabkan. Kita tahu,  pemerintah Belanda baru meminta maaf kepada Indonesia—secara khusus untuk pembantaian massal yang dilakukan tentara mereka di Indonesia antara tahun 1945-1949, apa ini aneh?—setelah puluhan tahun  berlalu. Dan jangan-jangan, tujuan mengadabkan ini pula yang bisa menjelaskan kenapa  TNI begitu agresif di Papua.  

Komentar