Egomania Histeria; Deskripsi Kegagalan Manusia

(lukisan karya: Mayek Komunitas Penjaskes, berjudul "Egomania Histeria". Tulisan ini adalah pemahaman sebjektif penulis terhadapnya)
Menatap “Egomania Histeria” seperti mengupas konsekuensi eksistensial manusia pasca keterlepasannya dari alam–pada titik awal rahim ibunya. Ketika rasa aman yang ia punya lenyap, lalu berhadapan dengan berbagai objek yang asing, yang lantas membuatnya terasing. Karena rasio yang ia miliki dengan sendirinya membuat jarak, seperti tulang sebuah bangunan, menyisakan ruang luas namun hampa, yang tingkat kepadatannya (atau sebaliknya kekosongannya) tergantung kemampuan manusia dalam mentransendensikan dirinya melalui emosi, atau dalam bahasa Søren Kierkergad (1813-1855); spritual. Tak ubahnya semen, yang menyatukan tulang bangunan dengan batu dan pasir. Agar menjadi sebuah bangunan sepenuhnya, manusia seutuhnya.
Sebagai hewan yang berpikir, yang sadar akan keterlepasannya, manusia membutuhkan pola hubungan baru. Dari kajian (mazhab antropologis Clifford Geertz) manusia (lingkup luasnya masyarakat) berdasarkan cara membuang tinjanya saja, kita tahu, manusia berbeda dengan ayam yang membangun hubungan “asal plong” dengan alam saat membuang kotoran. Manusia, bahkan dalam kondisi paling primitif sudah mengkhayalkan semacam tempat yang aman dan tentram saat membuang tinjanya. Dengan jernih bisa kita katakan, deskripsi toilet sama tuanya dengan perkembangan kebudayaan. Lihat saja, manusia primitif yang nomaden dan didominasi siklus alam buang hajat di sungai, kebun, sawah, dan lain tempat "aman". Mereka menambatkan keberadaan toilet dalam siklus penguraian alamiah. Manusia rural pedesaan, akibat banyak tanah tak terpakai, melokalisasi WC di tempat jauh dari rumah (Kontruksinya, serupa cangkir yang menadah kotoran langsung dari atas). Manusia kota, di mana lahan perumahan untuknya terbatas dan teknologi hadir merasionalisasi kebutuhannya, menyatuatapkan WC siram dengan rumah. Masyarakat hibrid yang terjangkit campur budaya, selain memakai WC siram, juga WC kering dengan tisu dan alat penyemprot tanpa gayung. Dan masyarakat citra, di mana imaji adalah alpa dan omega kebutuhan, toilet tak hanya mesti fungsional tapi juga gaya hidup. Desain mewah toilet karenanya menjadi harga mati.
Tentu saja, dalam kasus tertentu, ada juga hewan yang sopan; berak di toilet. Hanya saja, kasus ini hanya mencerminkan proses adaptasi–atau dipaksa beradaptasi dengan berbagai latihan keras dari pemiliknya–dan bukan upaya membangun sebuah pola baru. Hubungan model baru hanya mampu dibuat makhluk yang dibekali rasa, daya pikir dan imajinasi; manusia. Persoalan membuang tinja ini hanya misal sederhana.
Selain hubungan baru, demi menjaga konsistensi sikap dan orientasi tindakannya, juga demi ketepatan dalam menyusun setiap kesan yang diterimanya, manusia butuh kerangka teoritik. Semacam kerangka pikir yang diperlakukan menyeluruh (universal) dalam menjawab setiap soal, apakah berbentuk agama, ilmu, ideologi, mistik, dan sejenisnya. Bahkan, kebutuhan akan yang universal ini telah telah terbaca saat tumit manusia terpancang pada kebudayaan tingkat rendah (primitif). Asal berpikir, dua problem biologis akan mengusik manusia; apa yang membedakan manusia hidup dengan manusia mati, apa beda manusia yang ditemui di alam sadar dengan di alam mimpi? Barangkali, filsuf masa itu menyebutnya sebagai “hantu”, lantas mengambil simpul; manusia hidup berdampingan dengan hantu. Karenanya, segala peristiwa dibaca dengan keterlibatan hantu, roh (animisme). Dan rekayasa manusia untuk menggapai kondisi positif (sekaligus menolak yang negatif) juga diarahkan kepada hantu.
Namun jalan menuju ketentraman sempurna bagi setiap wujud eksistensi –dalam bahasa Erich fromm ”nirwana”– terhalang oleh kondisi biologis manusia. Ketentraman sempurna memang ada saat manusia mengakarkan diri dengan alam melalui rahim ibu. Tapi siapa pula yang dapat kembali kepada rahim ibu? Maka terbenturlah manusia pada satu pilihan; menebusnya dengan ketergantungan simbolik kepada sang ibu (negara, agama, tanah, dsb), atau melupakan masa lalu dan mencari akar-akar baru lewat persaudaraan manusia.
Tidak hanya itu, manusia yang merasakan keterpisahannya dengan alam, membutuhkan antidot keterasingan, yakni ikatan kekerabatan baru yang dijalin dengan erat berupa kasih sayang pada dunia. Cara berbeda bisa dilakukan dan dipelajari. Ia bisa mengikatkan diri pada manusia lain dengan penuh cinta. Dan jika perkembangan kebebasannya tidak memadai, ia bisa melakukan hubungan simbiotik dengan orang lain. Perkembangan kebebasan inilah yang jadi titik paling rawan dan menentukan.
Seiring dengan kesadaran manusia bahwa perjalanannya adalah perjuangan menuju kebebasan, salah tafsir atas kebebasan (kebebasan eksistensial) itu sendiri telah kaprah dan hampir menyeluruh. Kebebasan eksistensial dipahami sebagai situasi di mana seseorang bisa melakukan segala hal tanpa riskan, malu, dan tanpa aturan. Hingga kebebasan yang dicapai melalui sejarah panjang, justru menjadi belenggu baru yang memasung dorongan produktifnya. Tak berlebihan jika masyarakat modern disebut “masyarakat pesakitan yang tidak merasa sakit”.
Keterpasungan dorongan produktif, yang dengan sendirinya menandaskan dominasi dorongan non-produktif (dua dorongan ini, menurut fromm adalah kodrat eksistensial manusia. Dorongan produktif identik dengan cinta hidup yang berakar, adapun dorongan non-produktif dicirikan dengan laku reseptif, eksploitatif, menimbun serta karakter pasar; permintaan-penawaran; untung-rugi), menjadikan masyarakat modern sebagai manusia konsumtif; tidak ada titik imbang antara to have dan to be; repotnya, to have yang terjadi tidak berjalan di atas dasar kebutuhan; manusia menjadi kosong, tidak tahu apa yang diinginkan.
Problem lain yang muncul dari keterpasungan dorongan produktif adalah manusia menjadi individualistis, tidak memiliki hubungan erat dengan kerabat. Pola hubungan yang dibangun antar sesama yang awalnya adalah personal; hangat, penuh keakraban, dsb. pun menjadi impersonal; rigid, kering, dan menjengkelkan. Tali persaudaraan yang menghubungkan sesama manusia diganti dengan tali kepentingan. Karena kepentingan menjadi satu-satunya alat perekat, wajar jika antar tetangga tak saling kenal. Dan keadaan tak saling kenal tentunya memancing kondisi yang rawan konflik; “karena saya tak kenal Anda, saya merasa tidak punya beban untuk tidak menghormati Anda. Saya bebas berkata kotor, cabul dan kasar kepada Anda. Toh, esok-lusa belum tentu kita jumpa. Dan saya tak perlu merasa bersalah.” Fenomena dunia maya, di mana saling mengenal hanya lewat nama, fhoto dan profil muka, (katakanlah; pertemanan semu), mewujud dalam dunia nyata.
Kebebasan eksistensial yang salah jalur menafikan nilai-nilai humanistik yang dibawanya. Karena itulah, kebebasan ini menjadikan manusia tidak bisa mengikatkan diri pada sesamanya dengan cinta. Mencintai sendiri menuntut produktifitas dan tanggung jawab. Dua hal yang hanya dapat terpenuhi jika kebebasan bermakna positif; bernilai humanistik.
Fromm telah merumuskan empat nilai humanistik yang termuat dalam kebebasan eksistensial. Pertama, melibatkan pertimbangan. Itu berarti, orang yang bebas secara eksistensial adalah orang yang memikirkan akibat tindakannya. Ia akan memilih tidak melakukan perbuatan, jika tindakannya merugikan orang lain. Kebulatan tekad, baginya, hanya pantas dalam memperjuangkan dan menjalankan hal-hal positif. Dan bagi setiap pertimbangan yang ia lakukan, nalar sehatsenantiasa menjadi dasar.
Kedua,nilai kebaikan sebagai panglimaKarena kebebasan eksistensial bersumber dari dalam diri setiap orang, bukan dari luar, kebebasan ini terkait dengan nilai, yakni nilai kebaikan. Hal ini muncul dari pengandaian atas kelekatan potensi kebaikan dalam diri setiap manusia. Artinya,setiap manusia, secara potensial adalah baik, yang bersamaan dengannya, berkuasa untuk mendengar atau membungkamnya. Orang yang hidup menurut kebebasan eksistensial akan membuat potensi kebaikannya menjadi nyata. Dan karenanya terdorong untuk menebarkan nilai-nilai kemanusiaan pada sesama.
Ketiga, menghidupkan otonomi. Kebebasan eksistensial mewujudkan otoritas diri. Artinya,orang yang bebas secara eksistensial adalah dia yang sadar akan apa yang sedang dan harus dilakukan, baik untuk dirinya maupun orang lain. Tak pelak lagi orang ini kreatif, karena selalu menghasilkan karya-karya mengagumkan; inovatif, karena menginginkan dan mengupayakan habaru terus-menerus; serta progresif karena berorientasi pada kemajuan.
Keempat, menyertakan tanggung jawab. Seperti sudah dinyatakan dalam butir pertamakebebasan eksistensial membuat orang untuk mempertimbangkan berbagai dampak dari keputusan dan tindakannya. Di sini, termuat rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Tanggung jawab pada diri, nyata dalam hasil kerja maksimal –karena itulah Fromm melihat karakter produktif sebagai bagian dari wujud nyata penghayatan kebebasan positif sedangkan tanggung jawab terhadap orang lain ada dalam kesadaran untuk menanggung setiap resiko perbuatan dan keputusan, serta konsekuen pada apa yang dijanjikan.
Tentang Tiga Wajah
Lukisan “Egomania Histeria” nampaknya sedang memetakan jejak tumit kebebasan eksistensial manusia di jalur negatif (tanpa nilai humanistik). Karena dalam perjuangan mencari kebabasan, manusia, tidak bisa tidak harus berhadapan dengan bahaya kebabasan.
Sekilas pandang, Egomania Histeria memunculkan dua manusia; satu fisik, satu bayangan. Dengan sendirinya, anggapan tentang perkelahian dimensi tubuh dan ruh manusia seperti menemukan relevansinya. Namun, ketika visualisasi tubuh dibelah dua, ada andai-andai lain yang penetrasinya tak bisa dihentikan: dari wajah si manusia, pundak dan bagian tubuh lainnya, simbol si sadis dan masokis tampak; wajah yang sebelah terlihat memiliki dominasi atas sesuatu, sedangkan yang sebelah subordinat dalam segala hal (penyatuan dua wajah, konon dilakukan Da Vinci pada Monalisa); pundak yang sebelah tampak kokoh, sebelah lagi ringkih –perbedaan kontras ini diamini oleh bagian tubuh lain keduanya.
Kebebasan, bagi setiap manusia adalah hak, karenanya harus diperjuangkan (Sejarah manusia sendiri sebenarnya adalah sejarah mencapai kebebasan). Setiap perjuangan adalah perang; dan “Egomania Histeria” barangkali menggambaran para korban.
Telah terungkap di awal, bahwa manusia yang sadar akan keterlepasannya membutuhkan antidot keterasingan. Ia bisa membuat ikatan baru dengan dunia (lewat kasih sayang), atau –cara berbeda yang bisa dipelajari– pada manusia lain dengan penuh cinta (hal ini menuntut produktifitas, kemandirian dan tanggung jawab). Namun, jika “perkembangan kebebasannya tidak memadai”, ia bisa menjalin hubungan simbiotik dengan orang lain; menguasai (sadisme) atau –sebaliknya– dikuasai (masokisme). Sadisme menemukan bentuk dalam ranah seksual, fisik dan mental. Adapun esensi (unsur-unsur paling umum)nya –menurut Freud (1900-1980) adalah gabungan antara seksualiatas dan insting kematian yang diarahkan ke pihak luar. Hal yang sama terjadi pada masokisme--hanya saja si masokis mengarahkannnya (gabungan itu) ke dalam diri. Dugaan ini muncul dari klaim adanya aspek seksual tertentu yang dijumpai dalam perilaku sadisme (Freud [2006:489]). Pendapat lain mengatakan, esensi yang lazim dijumpai dalam setiap perwujudan sadisme adalah adanya hasrat tak terbatas untuk menguasai manusia dan binatang secara mutlak (Erich Fromm [2000:416]).
Akan tetapi, jika manusia tidak bisa mencintai atau melakukan hubungan simbiotik, ia bisa memecahkan perkara ini dengan berorientasi pada dirinya (narsisisme); dengan begitu ia menjadi dunia, ia mencintai dunia dengan cara mencintai dirinya sendiri. Pada Egomania Histeria, hal ini (narsisisme) digambarkan oleh manusia bayangan yang tampak sedang mencoba membebaskan diri dari tubuhnya. Hanya saja, bila melihat “kesamaan warna” antara manusia bayangan dengan “kepala” manusia tubuh, yang terjadi sesungguhnya bukan membebaskan diri dari tubuh melainkan preferensi yang diambil manusia untuk menjadi narsisis. Hal ini didukung oleh posisi kepala yang tertunduk ke arah si bayang-bayang. Karena ini pula, mungkin, lukisan ini dinamakan “Egomania Histeria”; bukan “Sadomasokisme Histeria” ataupun “Narsisisme Histeria”. Lukisan ini mengandaikan adanya rasa tergila-gila pada diri sendiri, namun bersamaan dengan itu, butuh keberadaan orang lainNarsisisme, meski menjadi salah satu bentuk pemenuhan akan keterhubungan, pada tingkat ekstrim justru akan memunculkan keinginan kuat untuk tidak menghubungkan dan sekaligus menghancurkan segala yang ada di luar dirinya. Sejalan dengan apa yang dikatakan Freud: narsisisme adalah pelengkap libidinal egoisme. Ketika berbicara tentang egoisme berarti setiap pembicaraan hanya seputar diri. Akan tetapi, berbicara narsisisme berarti juga berbicara kebutuhan libidinal (2006:478). Simpulnya, setiap narsisis berarti egois, tapi egois belum tentu narsisis; barangkali sadistis, mungkin juga masokistis. Pada dasarnya, baik narsisisme, masokisme maupun sadisme, merupakan wujud ketidakberdayaan diri manusia (hanya saja, untuk keluar dari ketidakberdayaannya narsisis menempuh jalan pintas sedangkan si sadis dan masokis melalui jalan putar; lewat orang lain) yang muncul dari kebebasan eksistensialnya.
Lanskap “egomania histeria” yang diambil dari arah depan –seolah sedang berhadapansemakin mengafirmasi hal ini; bahwa dalam –dan harus di– wilayah horisontallah ketiga wajah itu bisa menemukan wujud. Akan tetapi, dari lanskap ini pula tidak bisa disangkal adanya kemungkinan bahwa “Egomania Histeria” sebetulnya sedang berujar sinis; selama manusia menemukan sesuatu di luar dirinya, ia akan bersikap sadis, kalau tidak masokis, bila tidak narsistis. Itu berarti, di masa kini, tidak ada manusia yang berhasil dalam memaknai kebebasan eksistensial. Semakin bebas bukan semakin otonom melainkan otomaton, semakin bebas semakin terasing, kesepian. Namun, apa pula kemustahilan, toh masa kini adalah masa ketika dua manusia duduk di kursi yang sama namun tanpa keterpautan; keypad telepon genggam lebih asyik, dunia maya lebih menantang.
Bila demikian, semua manusia tanpa kecuali sebetulnya penyakitan (terlepas dari kronis tidaknya penyakit itu). Dan cacat. Sebagaimana manusia yang digambarkan si Pelukis; kaki tak normal, memiliki dua dampal, tapi yang satunya tak lebih dari tumor jinak, tanpa efek nyeri, tak bisa berjalan. Oleh karena itu, kebebasan eksistensial hanya bagus dalam angan-angan. Hingga sekuat apa pun manusia mencari kebebasan pada akhirnya ia akan kembali pada ketidakbebasan. Terkesan putus asa, memang. Hanya saja perlu diingat bahwa sadomasokisme, juga narsisisme, tidak melulu hadir dalam wujud ekstrim. Silakan bertanya, kenapa berita pembunuhan memberikan rasa penasaran tersendiri, kenapa kita tersenyum saat membayangkan sebuah musibah (kecil-besar yang menimpa kita) di masa lalu –apa benar sebatas kenangan? kenapa –bahkan di foto keluarga, yang dicari pertama kali selalu gambar diri. Dan silakan menampik. Namun, kiranya tak berlebihan jika pernyataan Søren Kierkergad berikut ini sedikit mendapat garis bawah, “keadaan dunia sekarang dan seluruh kehidupan terkena penyakit. Jika aku seorang dokter, dan –ada yang– meminta saran, aku harus menjawab: ‘Buat Keheningan!’” 
Barangkali tergerak. 

Komentar