Kali ini saya ingin bercerita tentang The Big Lebowski, film tahun
1998 karya Coen bersaudara.
Tentang seorang pengangguran bernama Jeffrey Lebowski atau biasa dipanggil “The
Dude”, yang tinggal di Los Angles pada awal 90-an ketika Amerika menginvasi
Irak pada kali pertama. Film ini saya bagi karena ada sisi menarik dari
kepribadian The Dude yang tidak saya temui di film-film Holywood lain, begitu juga
pada tema ceritanya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menilai sebuah film
dari sisi “bagus atau tidak”, “pantas atau tidak”. Jikapun di dalamnya ada yang
nyerempet-nyerempet ke arah sana, itu hanyalah kebutuhan demi melihat sisi beda
dan menarik dari The Big Lebowski.
(gambar: www.tasteofcinema.com)
Akan saya mulai dengan tema. Film yang mengangkat kehidupan sekelompok pengangguran (baca: The Dude dkk) adalah tema yang sulit ditemukan pada film-film Holywood. Kita tahu bahwa yang membedakan film Holywood dengan film-film lain—dalam hal ini Eropa—adalah pesan-pesan patriotiknya. Seorang jagoan (tokoh utama) dalam film Holywood, entah bagaimana caranya, haruslah menjadi hero. Sang hero tentu saja tidak selamanya harus membasmi penjahat atau menangkap kartel narkoba. Tidak perlu juga menggagalkan serangan teroris dan membekuknya. Hero tidak selamanya tentang penyelamatan sekian banyak orang. Hero bisa jadi hanya seorang laki-laki yang menyelamatkan kucing. Bisa saja seorang ibu yang mencari anaknya yang hilang. Bisa juga seorang bapak yang membesarkan anaknya seorang diri. Hero adalah semangat yang mampu menginspirasi banyak orang, menggugah sisi sensitif manusia yang menonton, mengharu biru dengan pelukan dan tetesan air mata di akhir cerita, serta membuat orang percaya bahwa “orang baik” masih ada. Biasanya, begitulah film Holywood. Heroisme ini berkait erat dengan patriotisme. Sebab tak jarang, lambang-lambang kenegaraan bahkan ditayangkan dengan vulgar, entah di awal atau di akhir cerita.
(gambar: highbrow-lowbrom.blogspot.com)
Di sinilah uniknya The Big Lebowski. Amerika ketika itu sedang berperang dengan Irak (setting waktu The Big Lebowski). Dan kita tahu bahwa ketika sebuah negara berperang ada hajat nasional yang tidak bisa tidak harus diwujudkan. Hajat nasional itu adalah kemenangan. Dan kemenangan tak bisa tidak harus didukung oleh keterlibatan seluruh warga negara. Sekalipun tidak memberikan apa-apa secara materil, katakanlah harta atau nyawa, tapi dukungan ini perlu agar para prajurit yang sedang berlaga tak kehabisan semangat. Mereka harus tahu bahwa sebuah peluru yang mereka lesatkan adalah pernyataan dari keinginan seluruh warga negara. Mereka harus tahu bahwa orang-orang yang membayar pajak senang dengan mortir yang mereka tembakan ke wilayah musuh. Mereka harus tahu bahwa mereka didoakan oleh seluruh bangsanya. Mereka harus percaya bahwa apa yang mereka lakukan benar, setidaknya dibenarkan oleh negara dan bangsanya.
(gambar: readwatchwrite.com)
Tapi The Big Lebowski datang tidak dengan semangat berperang. Ia datang untuk mengunjungi bar, kedai kopi dan tempat bowling. Ia karenanya adalah cibiran pada semangat menaklukan yang bergelora di jiwa orang Amerika. Ia seperti ingin mengatakan bahwa “berperang itu adalah sikap kekanak-kanakan.” Tapi itu jika dilihat dari satu sisi. Dari sisi lain, kita bisa saja menilai The Big Lebowski sebagai propaganda cuci tangan sebagian warga Amerika terhadap aksi negaranya yang menyerang Irak. Bahwa tidak semua orang Amerika setuju dengan perang. Tidak semua orang Amerika haus dengan penaklukan. Kalau penyerangan itu adalah sikap terkutuk, kutuklah militernya saja dan jangan mengutuk seluruh warga Amerika. Ya, boleh jadi demikian. Tapi juga tidak tertutup kemungkinan The Big Lebowski hanya ingin menunjukan apa yang terjadi ketika itu. Apa adanya. Tanpa pretensi apa apa selain demi menghibur pemirsa.
(gambar: ozzie325.deviantart.com)
Yang juga menarik dari The Big Lebowski adalah karakter
tokoh-tokohnya. Karakter The Dude, pria besar itu, amat berlawanan dengan
simbol-simbol maskulinitas di dalam dirinya. Penampilannya amat pantas menjadi
pemimpin penjahat atau polisi yang galak. Tapi The Dude, dengan badan besar dan
kumis dan jenggot yang lebat melingkari bibirnya itu, lebih memilih memberikan
uangnya yang kurang dari 5 dolar daripada melawan intimidasi seorang Jerman. Ia
tidak peduli dengan harga diri laki-laki yang sewajarnya marah dipalak orang, padahal
orang yang memalaknya memiliki badan lebih kecil. Jika saja ia mau, bisa saja
ia melawan dan menang. Tapi ia lebih baik “selesai urusan”. Ia seorang pasifis
sejati, dan komitmen dengan itu. Ketika ia merasa tertekan dan mendapatkan
intimidasi dari orang ia cukup memakai kaca mata hitamnya.
(gambar: mubi.com)
Di atas semuanya, The Dude juga adalah anti tesis dari modenitas. Ia
tidak membutuhkan perencanaan apapun untuk hidupnya. Jika orang modern gila
dengan uang, barang mewah dan efisiensi waktu, The Dude hanya ingin medapatkan karpetnya.
Ia tidak punya ambisi. Ia selesaikan segala permasalahan hidupnya dengan bar,
kedai kopi dan bowling. Ia hidup untuk waktu dan tempat itu saja. Ia menyalahi
tuntutan alam. Ia seperti perwujudan keinginan orang-orang modern yang jenuh
dan lelah. Mereka ingin menjalani hidup dengan cara yang lebih mengasyikan,
lebih santai dan nikmat seperti The Dude. Mereka ingin menyelesaikan semua
masalah dengan bowling, dengan cukup memakai kaca mata hitam dan berkata “shit
man”. Tapi tentu saja tak berani. Bagaimana kehidupan anak istri, bagaimana
rumah, kekayaan, karir, bagaimana jika diri mati lalu tidak ada yang seorang
pun yang merasa kehilangan?
Ya, mungkin karena ini The Big Lebowski berkesan. Ia mewakili hasrat
orang-orang yang ingin tidak peduli dengan materi, tapi tidak berani.
Data film:
The Big Lebowski
Directors: Joel Coen, Ethan Coen (uncredited)
Writers: Ethan Coen, Joel Coen
Stars: Jeff Bridges, John Goodman, Julianne Moore
rating imdb: 8.2





Komentar
Posting Komentar