Bila Hayom harus mengakui keunggulan Chong
Wei, akankah massa pengunjuk revolusi Libya kembali menerima kuasa tiran
Khadafi? Hayom ataupun para demonstran itu terlibat dalam dua peristiwa seru.
Hayom dalam even Djarum Superliga Badminton di DBL Arena, Surabaya, rakyat
Libya dalam ajang revolusi. Hayom melawan pebulutangkis Chong Wei, massa revolusi
melawan aksi militer negaranya sendiri, sebagai diwartakan Kompas (25/2/11).
(gambar: emjeahsan.blogspot.com)
Berikut petikan keduanya, “pada gim kedua, pertandingan tetap seru dan ketat … ” ini yang terkait Hayom. Terkait revolusi Libya, “aksi militer yang tidak kalah seru terjadi di Tripoli, Rabu malam.” Sang juruwarta bukan tidak punya perasaan. Ia menyebut aksi militer tersebut seru tidak analog dengan seru di arena djarum superliga badminton yang menceritakan hebatnya aksi berkeringat dua pemain di lapangan, suasana sengit yang menarik ditonton. Ia, tentunya, hendak menampakkan kebengisan yang terjadi dalam aksi berdarah di Tripoli dan Benghazi.
Dalam KBBI sendiri, seru memang berarti 4 macam. Untuk panggilan dengan tujuan menarik perhatian—dan berbagai derivasi maknanya; ajakan, anjuran, peringatan, atau do’a. Seru yang berarti serba, sebagai kalimat Tuhan seru sekalian alam. Atau bahkan, seru untuk nama sejenis pohon yg kayunya dapat dijadikan papan untuk bahan bangunan; kayu seru. Adapun terkait dua petikan berita di muka, seru yang dimaksudkan berarti; bengis, sengit, dan hebat.
Konon, dalam menyebarkan risalah Tuhan-Nya, setiap nabi yang diutus (rasul) selalu menggunakan bahasa umatnya. Bila di Arab ia pakai bahasa Arab, bila di London pakai bahasa Inggris, bila di Tegal pakai bahasa Jawa lengkap dengan dialek ngapak-nya. Nabi—bila dilsimak dari akar katanya berarti “seorang pembawa berita”—tentu tidak ingin berita yang dibawanya disalahpahami umatnya, meskipun berita-berita tersebut tidak selamanya berakibat syurga-neraka. Sebagai pembawa berita ia paham benar, bahwa umat yang dihadapinya beragam kepala, bermacam riwayat. Pikirnya saat itu, mungkin, jangan-jangan salah satu di antara mereka ada yang tidak pernah sekolah, ada yang pebisnis, pencoleng, pengemis, atau barangkali olahragawan.
(gambar: hendrwiraguna)
Juruwarta tentu bukan Nabi, meski sama-sama manusia, sama-sama penyampai berita. Dan karenanya wajar bila ke muka masyarakat yang bermacam riwayat ia mengatakan, aksi militer yang terjadi di Tripoli tak kalah seru dengan aksi serupa di Benhazi. Tak ada yang salah, meskipun si pembaca, barangkali—bisa jadi mayoritas—lebih betah dengan tontonan seru di gelanggang olahraga daripada memeriksa barisan kata di kamus yang tebalnya lebih dari setengah telunjuk orang dewasa. Atau barangkali para pembaca itu lebih memilih berita olahraga daripada berita tentang lelucon politisi dan praktisi hukum Indonesia yang semakin garing. Bila demikian, mereka lebih sering membaca, “pertandingan Inter Milan versus Bayer Munchen berlangsung seru tadi malam”. Dan seorang teman pernah berkata—kepada penulis, “seru sekali ‘dah, rugi kau gak nonton,” saat membicarakan pertandingan Arsenal versus Barcelona. Ketika itu, ia nampak puas dan penuh spontanitas. Apakah ia menggunakan kata seru sebab tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa terhiburnya dengan kata lain (semisal sengit atau hebat), ia sendiri yang tahu. Tapi kemungkinan besar ia sudah terbiasa karena terlampau sering menemukan kata itu di halaman berita olahraga.
Sulit untuk tidak mengakui bahwa saat ini
kata seru sudah diasosiakan dengan setiap peristiwa yang menarik untuk
ditonton, yang membuat terhibur. Demikian ini sudah berlaku, bahkan, baik dalam
ragam cakap maupun tulisan. Urusan bahasa, tanpa mengenal suatu bangsa, memang
bukan urusan sekali jadi. Seperti pelakunya, bahasa ada yang mati, hidup, atau
bahkan mengalami reinkarnasi. Tergantung si pelaku, apakah sebuah kata akan
dipetikan atau dilestarikan, apakah akan mengalami perluasan (makna) atau
pemangkasan. Sedikit kacau memang. Tapi dinamika pelaku bahasa selalu berjalan
jauh di depan buku acuan.
Tulisan ini tidak datang dengan ambisi
menghapus arti “bengis” dari kata seru. Hanya saja, perlu dipertimbangkan pula
bila aksi keji militer Libya dipahami pembaca sebagai tontonan menarik,
menghibur dan memberi kepuasan. Kecuali bila kata kemanusiaan, baik lahir
batinnya, turunan maupun akarnya, sudah menjadi kata yang dibumihanguskan.




Komentar
Posting Komentar