Krisis Kebanggaan

Banyak orang yang mencari kesenangan dengan memenangkan sebuah turnamen. Turnamen, betapapun kecilnya, menjadi ajang pembuktian diri sekaligus penegasan pada dunia bahwa sang diri masih ada. Sang diri layak dipandang dan diperhitungkan. Dan tidak ada yang lebih meneyenangkan dari pada kenyataan bahwa diri bermakna, berhak diperhitungkan, berhak dicap sebagai orang sesungguhnya.
Mungkin karena itu, seorang teman ada yang sangat antusias untuk memenangkan liga waktu PeEs-an. Dia sangat berhasrat dan akan melakukan segala cara untuk meraih kemenangan. Dan tidak hanya itu, ekspresi saat meraih kemenangan, perang mulut dan pernyataan-pernyataan pedas saat pertandingan berjalan, tidak jarang dilontarkan tanpa segan. Entah apa maksudnya. Barangkali, kemenangan saja tidak cukup, tapi juga lawan harus merasa rendah, merasa tak berguna dan mengakui bahwa dirinya kalah dalam segala hal, dalam skil dan tehnik, dalam pengalaman dan jam terbang.

 (gambar: www.suropeji.web.id)

Kalau saya hanya menemukan orang semacam ini satu dua saja di sekitar saya, saya bisa maklum. Kalau saya hanya menemukan orang semacam ini di satu lingkungan saja yang yang pernah saya tinggali, saya bisa paham. Saya akan menganggapnya sebagai akibat dari laku tidak senonoh orang tersebut terhadap dirinya. Akan tetapi, saya melihat orang-orang semacam ini ada banyak, hampir di semua orang yang saya temukan—tidak mustahil saya termasuk, hampir di setiap lingkungan di mana saya pernah terlibat di dalamnya. Artinya, tidak mengada-ada jika saya mengatakan bahwa sikap demikian telah menjadi gejala kolektif. Gejala yang menghinggapi masyarakat umum, tanpa melihat di mana masyarakat itu berada, tak berkaitan dengan ruang lingkup geografis, tradisi dan historisnya.
(gambar: acehdesain.wordpres.com)

Bila demikian, saya tidak tahu apa penyebabnya. Bila hal itu terjadi pada seorang dua orang individu saja—sebagaimana tadi sudah dikatakan, saya akan menyebutnya sebagai akibat dari perilaku tidak senonoh terhadap diri. Artinya, diri terkait telah gagal memperlakukan dirinya, potensinya, hingga diri tidak mampu mencari kebanggaan lewat jalan yang normal dan konvensional. Kebanggaan menjadi pemain terbaik dalam sebuah ajang sepak bola sungguhan, tingkat kabupaten saja sudah cukup, layak disebut kebanggaan. Kebanggan menjadi seorang yang mampu membuat karya seni yang bagus, yang kualitasnya diakui banyak orang, juga layak disebut kebanggaan, dan banyak kebanggaan lain yang pantas disebut kebanggaan.

(gambar: sintaayudisia.wordpress.com)

Tapi bila penyakit ini diiidap oleh sebuah masyarakat, melibatkan banyak orang dari beragam latar belakang, apa pula penyebabnya? Mungkinkah masyarakat sedang dilanda krisis kebanggaan. Artinya masyarakat itu tidak memiliki makna sebab diisi oleh individu-individu yang merasa bahwa dirinya tidak berharga, tidak bermakna, kosong, tidak punya prestasi yang bisa dibanggakan? Ketika sudah melibatkan sebuah lingkup yang besar, penyebabnya pastilah sangat hebat, memiliki tenaga luar biasa dahsyat.
Dan saya tidak tahu itu apa.

Komentar