Mengenang Slamet Gundono (LSDP #6)

Tulisan ini merupakan rekaman orasi budaya dari Seniman budayawan dalang wayang suket; Alm. Slamet Gundono. Beliau menyampaikan ini pada penutupan Liburan Sastra di Pesantren #6 pada tanggal 26 Juni 2011 di Pesantren Kali Opak Yogyakarta atas prakarsa komunitas Matapena. Saya ketika itu bertugas sebagai perekam proses kegiatan dari awal hingga akhir. Berikut ini adalah rekaman orasi budaya yang disampaikan almarhum:   




Slamet Gundono mulai bicara. Katanya, ia sebenarnya capek, ingin istirahat sejenak sebelum berorasi, tapi selalu tergerak untuk menyaksikan setiap pentas yang ditampilkan malam itu. Ketika Lajang di Sepertiga Malam Selesai, ia masuk ke rumah dan memutuskan beristrahat. Tapi ketika M-Jikustik pentas, ia tergerak lagi, dan ingin menonton lagi. Begitu juga ketika musikalisasi puisi, juga Sampak Patrol. Menurutnya, itulah Budaya; kepedulian. Pentas teater peserta, musikalisasi puisi, M-jikustik dan Sampak Patrol, lahir dan berkarya karena peduli. Kebudayaan adalah Kepedulian itu sendiri. Gesang ketika mencipatakan lagu Bengawan solo tidak memikirkan lagunya bakal didengar dunia internasional. Ia tidak memikirkan lagu itu bakal disukai orang-orang Jepang. Ia lebih-lebih tidak memikirkan penghasilan yang bisa diraupnya dari lagu itu. Ia hanya peduli. Pada Bengawan Solo yang airnya terus ditumpahi limbah pabrik milik orang China dan sampah-sampah, juga pada orang-orang dan komunitas organik yang bergantung pada sungai itu.

Terkait hal ini, ia punya cerita:
Pada suatu hari ketika ia diminta pentas di Amsterdam, ia bingung. Tapi bukan pentas itu yang ia bingungkan melainkan bagaimana ia duduk di kursi pesawat—bobotnya 350 kg—dan semua pelayanan yang ada di pesawat; bagaimana ia makan, minum, dsb. Tapi ternyata kesulitan yang ada itu bisa terlewati. Dan itulah, katanya, apa yang dinamakan dengan Kebudayaan Tubuh. Sebagaimana cara berjalan seorang kiai yang berbeda dengan cara berjalan intelektual, dan masih banyak lagi. Hal ini terjadi, menurut Slamet, karena tak ada kesenian yang lepas dari kehidupan. Arsitektur, musik, puisi, novel dan semua hasil kebudayaan lainnya tidak ada yang terlepas dari kehidupan. Itulah kenapa kebudayaan berarti kepedulian pada kehidupan.

Jawa, kata Slamet, secara politik sosial adalah patriarkal. Akan tetapi oleh kebudayaan semua itu dibalik. Contohnya adalah sebuah lagu Jawa—yang maknanya disalahpahami, “ibu bumi, bapakmu langit... ”. Bumi selalu menjadi tempat berpijak di mana-mana, ibu ada di mana-mana. Hingga wajar, menurut Slamet, jika kini, karya musik ciptaan manusia selalu membicarakan sosok perempuan bernama Ibu. inilah kebudayaan; kepedulian.

Sunan Kalijaga pernah berkata, Slamet melanjutkan, memasuki Jawa seperti memasuki Islam yang berbeda identitas, yang hanya butuh dicap kalimat syahadat. Itulah kenapa ia memilih budaya dan menjauhi pedang dalam menyebarkan agama Islam di Jawa.

Slamet memberi nasihat kepada peserta, “jangan takut berkesenian melanggar (berbenturan dengan) agama.” Kesenian adalah bagian dari perintah agama; hablum minallah-hablum minannas. Hubungan dengan manusia (hablumminannaasi), sebagaimana seni (budaya), terletak pada kepedulian. Reaksi pikiran, tubuh dan jiwa manusia dengan lingkungannya. Manusia kini memproteksi hidup mereka dengan ekonomi dan politik. Padahal yang dibutuhkan bukan itu, tapi kebudayaan (sistem nilai).

Komentar