Naskah Satu Babak
Aktor 1: Penuh
perhatian, bersahabat, ceria (kostum: layaknya orang mau bepergian, bawa
barang2)
Aktor 2: Pesimis
(kostum: layaknya mau bepergian, bawa barang2)
Aktor 3: Sinis
(kostum: layaknya mau bepergian & pakaian orang udik, membawa banyak
barang)
Aktor 4: Emosional
(kostum: layaknya mau bepergian)
Aktor 5: lebih dewasa
dari actor 4, gaya bicara kebapakan (kostum: layaknya mau bepergian).
(lukisan : http://id.inter-pix.com/)
Setting: Stasiun kereta. Property: Dua Koran, kursi tunggu
calon penumpang, tas-tas dan barang bawaan, keranda mayat.
Di panggung
telah ada dua aktor (Aktor 2 dan Aktor 3) yang sedang membaca
koran:
Aktor 1: (berbicara pada dua aktor itu). Ceritanya begini. (Tolong. Tolong
dengar baik2). Ini harus Anda dengarkan karena Anda tidak akan pernah tahu dengan
apa yang akan terjadi hari ini ataupun hari esok. Maskud saya, karena saya atau
Anda tidak punya hari esok, tidak punya hari lusa, tidak punya hari kemarin, kemarin
lusa, hari-hari di bulan depan, bahkan hari-hari di tahun depan dan seterusnya.
Karena yang punya hari hanya be---ri----ta. Kita melihat hari ini dari berita,
hari kemarin dari berita, menilai esok dari berita, bulan depan dari berita,
tahun depan dari berita. Dari berita dari berita dari berita dari berita. Berita-berita
menciptakan hari-hari kita, tak peduli apa yang kita rasakan hari ini, juga tak
penting apa yang kita inginkan untuk hari esok. Kita melihat diri kita pun dari
berita.
Jadi, apa kabar
kalian berdua (bertanya pada dua aktor tadi)?
Dua Aktor: (berbarengan) buruk.
Aktor 1: Hahahaha
… sudah saya duga. Pipi Anda cekung, mata Anda kuyu, dan dari wajah Anda berdua
tidak ada aura positif. Jelas Anda-Anda sedang buruk. Hahaha … kenapa, kenapa,
ayo, katakan, apa yang membuat Anda merasa buruk?
Aktor 2 (salah satu dari dua actor): Kepala saya terendam banjir.
Aktor 1: Heum ... banjir ... Anda pasti orang Jakarta.
Aktor 2: Dudu ya, enyong wong Pucuk Ibun.
Aktor 1: Pucuk Ibun?
Aktor 2: Iya, Pucuk Ibun, sebuah kabupaten di daerah Jawa Tengah. Lihat
(menunjukan Koran, lalu membacakannya), Banjir Besar Merendam Pucuk Ibun, dua
orang dinyatakan hilang dan ratusan lainnya kehilangan tempat tinggal.
Aktor 1: Hahaha … Maafkan saya, saya pikir banjir itu milik orang Jakarta
saja … Ya, ya, ya, terimakasih sudah mengingatkan, saya lupa kalau hukum alam itu
di mana-mana sama saja. Tapi ngomong-ngomong (menggoda), banjir bandang atau bajir uang, Mas? hahaha …
Aktor 2: Alah mas, Mas, ngawur Anda ini. Jelas bukan banjir uanglah … kalau
banjir uang mah, saya sudah mati, Mas.
Aktor 1: Lho, kok bisa?
Aktor 2: Lha iya, jangankan banjir uang. Dulu, waktu dapat BLT (bantuan langsung tunai) dari pemerintah saja
saya harus diopname di RSUD 5 hari.
Actor 1: Ck, masa iya (gak percaya)? Anda jangan bohong lah, Mas,
Anda gak pakai dasi.
Aktor 2: Saya gak bohong, kok. Waktu dapat BLT itu saya shock-nya
setengah mati. Penyakit jantung saya kumat.
Aktor 1: Semuda ini penyakit jantung?
Aktor 2: Saya memang masih muda, ya setidaknya belum 40. Tapi sejak lahir
saya sudah menderita kelainan jantung. Saya tidak terbiasa dengan kejutan. Nah,
waktu dapat BLT itu saya shock bukan main, Mas. Saya pingsan! Dana BLT itu di
luar perkiraan saya. Karena saya ini, biar punya masalah kesehatan, sejak kecil
digembleng untuk bekerja keras. Dalam keyakinan saya sudah terbentuk batu
karang bahwa siapa yang menanam dialah yang menuai. Saya tak menanam apa-apa
waktu itu, tapi kenapa saya malah kebagian hasil panen? Makanya saya shock
berat Mas. Habislah tabungan saya buat biaya rumah sakit.
Aktor 1: Wah, macam-macam saja.
Actor 2: Begitulah. Dan setelah itu saya mengirim surat permohonan ke
pemerintah desa buat mencoret nama saya dari daftar penerima BLT, biar gak
dapat kejutan seperti itu lagi. Kapok saya sama BLT.
Aktor 1: Dan saya berdoa untuk Anda biar Pucuk Ibun tidak pernah kebanjiran
uang. Biar umur Anda panjang. Hehe.
Aktor 2: Tak perlu, Mas. Tanpa doa apapun Pucuk Ibun sudah kekeringan uang
kok, bikin jembatan aja gak bisa.
Aktor 1: Anda bercanda …
Aktor 2: Saya tidak bercanda. Pucuk Ibun yang saya lihat adalah kabupaten
yang mengkhawatirkan, Mas. Kondisi jalannya, kehidupan warganya, beuh,
rasa-rasanya semua ketertinggalan di dunia ini berkumpul di Pucuk Ibun
saja.
Aktor 1: Mungkin penglihatan Anda keliru …
Aktor 2: Mungkin saja, tapi coba Anda baca, Mas … (menunjukan koran lagi.
Sembari aktor 1 membaca, aktor 2 bercerita). Setiap hari, begitulah informasi
yang saya terima. Dan tidak hanya soal infrastuktur, tidak hanya soal tingkat
kesejahteraan, tapi juga soal kemanusiaan, soal pendidikan, keamanan lingkungan
dan banyak soal lainnya. Saya tidak pernah merasakan penjajahan Belanda atau
Jepang, Mas. Tapi dengan semua situasi ini, saya merasa Pucuk Ibun bukan Indonesia.
Aktor 1: Maksud Anda?
Aktor 2: Indonesia sudah merdeka, ya, setidaknya itu yang saya dengar, tapi
Pucuk Ibun belum merdeka.
Aktor 1: Tak perlu sedramatis itu lah Mas …
Aktor 2: Lho, kenyataannya memang begitu, sedikitpun saya tidak melebih-lebihkan.
Coba Anda baca kalimat ini (menunjuk satu kalimat yang ada di Koran, lalu
membacakannya setegas mungkin). “Bahkan Tiwul, Kepala Desa Uripharjo kecamatan
Tambak Sari Kabupaten Pucuk Ibun mengatakan, “kalau Pucuk Ibun benar-benar merdeka,
seharusnya kami punya jembatan!” Saya tidak berlebihan bukan? Aktor 1: Hahahahaha … Kepala Desa Anda itu bisa-bisa saja, Mas.
Aktor 2: Bukan, dia bukan kepala desa saya.
Aktor 1: Lantas?
Aktor 2: Dia ya kepala desa Uripharjo, Mas … Saya orang Pucuk Ibun juga, cuma
tempat tinggal saya dekat alun-alun kabupaten, sangat jauh dari Uripharjo. Tapi
berkat media informasi ini, saya bisa tahu Pucuk Ibun seperti apa.
Aktor 1: Anda sudah pernah ke Uripharjo?
Aktor 2: Belum.
Aktor 1: Anda mungkin harus melihatnya langsung, Mas …
Aktor 2: ya, barangkali, tapi mungkin juga gak perlu, berita-berita
itu saja sudah cukup.
Suara
pengumuman: “Kereta Argo Willis Jakarta-surabaya akan melintas langsung di
jalur 3. Kepada para calon penumpang diharapkan untuk tidak berada di sekitar
jalur perlintasan … sekali lagi …“
Bersamaan
dengan itu Keduanya membisu … seperti menerawang alam pikiran masing-masing.
Lalu …
Aktor 1: kalau Anda, kenapa merasa buruk, Mas?
Aktor 3: Hati saya, sakiiiiiit banget.
Aktor 1: Hati Anda terendam banjir juga?
Actor 3: Hati saya dipenuhi maling, Mas.
Aktor 1: Maling? Saya tidak percaya, tidak mungkin orang seperti Anda punya
hati maling. Maaf, kalaupun iya … Anda seorang maling … seharusnya Anda sudah
dipenjara.
Aktor 3: Saya tahu maksud Anda. Orang bodoh seperti saya kalau maling memang
pasti ketahuan. Dan, pada dasarnya saya sendiri memang bukan maling. Hanya
saja, saya memandang siapapun di muka bumi ini sebagai maling.
Aktor 1: Anda bercanda.
Aktor 2: Maaf, Mas, kalau tidak keberatan, saya mau titip tas ini. Saya mau
ke belakang sebentar, lagian kereta saya masih setengah jam lagi.
Aktor 1: Oh, iya … tenang saja, tas sampean biar saya yang urus.
Aktor 2: terimakasih ...
Aktor 1: sama-sama …
(lukisan : http://id.inter-pix.com/)
Aktor 3: Mas, Anda harus hati-hati sama orang itu.
Aktor 1: Maksud Anda?
Actor 3: Ya, seperti yang tadi saya bilang. Di bumi ini semua orang maling.
Tak kurang tak lebih.
Aktor 1: Oh, Anda serius ternyata, saya pikir tadi Anda bercanda. Tapi saya
tak merasa ada keganjilan sama orang itu. Biasa-biasa saja.
Aktor 3: Menitipkan barang pada orang asing menurut Anda bukan kelakuan
aneh?
Aktor 1: Bagi saya itu wajar. Sama sekali tidak aneh.
Aktor 3: Anda lugu, Mas. Dia menitipkan tasnya kepada Anda agar Anda
percaya bahwa dia percaya sama Anda. Tujuannya jelas, dia ingin mendapatkan
kepercayaan Anda. Dan kalau Anda sudah percaya, Anda gampang ditipu.
Aktor 1: Anda berlebihan, Mas, tak mungkin dia seburuk itu.
Aktor 3: Tak ada yang tak mungkin, Mas. Sekarang coba lihat laki-laki itu.
Aktor 1: Yang mana?
Aktor 3: Itu, yang duduk di samping pedagang asongan itu.
Aktor 1: Yang berkumis itu?
Aktor 3: Ya, yang berkumis dan tampak seperti orang saleh itu. Lihat
gerak-geriknya, seperti maling. Hanya maling yang bisa jongkok lama-lama
seperti itu. Saya sudah memperhatikan laki-laki itu sejak tadi. Dan gaya jongkoknya
itu sama sekali tidak berubah.
Aktor 1: bisa jadi dia punya ambeien.
Aktor 3: tidak, orang ambeien tak pernah jongkok setenang itu. Itu gaya
maling. Dia pura-pura tenang, padahal dia sedang siaga, siap-siap lari kalau
ada yang mengenali … Dan lihat perempuan itu.
Aktor 1: yang mana?
Aktor 3: yang duduk tumpang kaki di samping laki-laki buta itu.
Aktor 1: Ya, ya, ya, saya melihatnya. Ada apa dengan perempuan itu?
Aktor 3: Coba Anda lihat cara berpakaiannya ...
Aktor 1: blazer, celana panjang dril, (setelah tampak berpikir), tak ada
yang aneh. Perempuan itu malah tampak seperti wanita karier, rambutnya saja
dipotong sepundak gitu kok.
Actor 3: (sedikit meremehkan). Anda memang kurang jeli. Coba perhatikan
baik-baik. Kalau dia wanita karier, di balik blazer itu seharusnya bukan baju
kaus, tapi blus. Dan coba Anda lihat sepatunya. Sepatu ballet bahan plastik seperti
itu hanya dipakai mahasiswi, dan dia terlalu tua untuk kuliah.
Aktor 1: Memang benar, sih, wanita karir biasanya pakai hak tinggi …
Aktor 3: Anda mulai paham. Sekarang, coba perhatikan tasnya.
Aktor 1: Dia tidak membawa tas.
Aktor 3: Anda memang tidak cermat, pantas kalau suatu hari kena tipu. Itu,
lho ,,, yang digeletakkan di sampingnya itu.
Aktor 1: tas hijau itu?
Aktor 3: Tas hijau itu. Coba Anda pikir, kalau dia wanita karier dan baru
pulang kerja, buat apa dia bawa tas segede itu, isinya penuh pula tampaknya. Dan
sedang apa pula dia di stasiun ini?
Aktor 1: (memperhatikan) benar juga. Heum … kalau boleh saya menebak,
berarti Anda ingin mengatakan bahwa; dengan semua keganjilan penampilan
perempuan itu, wajar bila isi tas yang dibawanya …
Aktor 3: ya, benar, barang curian.
Aktor 1: Kok perhatian Anda bisa sedetail itu ya? (heran).
Aktor 3: heum, itu belum apa-apa, Mas. Lihat orang yang berpeci putih di
sana, lihat juga laki-laki muda berjaket kulit itu, atau perempuan yang
pura-pura membaca buku itu, saya sejak tadi memperhatikan mereka, dan hasil
investigasi saya mengatakan kalau mereka maling.
Aktor 1: Apakah Anda juga memperhatikan saya?
Aktor 3: Tentu saja. Dan tidak hanya Anda, tapi juga penjaga pintu peron
itu, polisi yang tertawanya keras itu, pengemis itu, anak yang pakai seragam
sekolah itu, juga pedagang asongan itu. Intinya, semua orang di stasiun ini
sudah saya perhatikan semuanya.
Aktor 1: Dan semuanya maling menurut Anda?
Aktor 3: Sayangnya iya. Semuanya maling saja. Berbahaya bagi keselamatan
harta saya.
Aktor 1: Saya sendiri?
Aktor 3: Maafkan saya, Mas. Anda tiba-tiba muncul, sok akrab, sok perhatian
dan sok peduli. Saya tidak punya alasan untuk tidak menyebut Anda … ya, Anda
tahu maksud saya.
Aktor 1: Anda benar-benar sakit, Bung (gemas).
Aktor 3: Saya tidak punya pilihan.
Aktor 1: (gemas)
Bung, dengar. Anda jangan cuma melihat orang-orang di sekitar Anda; tentangga
Anda yang maling, polisi Anda yang maling, pemerintah Anda yang maling dan
semua yang maling-maling. Anda harus sadar bahwa hidup di kota besar butuh kesiapan
mental, agar pikiran Anda tetap jernih dalam menilai. Ya, Anda tinggal di kota
besar, Anda wajar kalau serba curiga. Anda harus selalu waspada dengan
lingkungan Anda. Harus siaga dengan semua keburukan yang bisa saja menimpa
Anda. Tapi dunia itu luas, bung, tidak sebatas kota yang Anda tinggali saja. Kalau
lingkungan Anda maling, tidak berarti semua orang maling!
Aktor 3: Lengkap sudah. Anda sok akrab, sok perhatian,
dan kini sok tahu, semua itu bukti kuat kalau Anda, ya, tadi itu.
Aktor 1: Maksud Anda?
Aktor 3: Saya tidak tinggal di kota besar seperti yang Anda bilang. Saya
orang desa.
Aktor 1: (terpukul, tapi tidak lebay) Saya tidak percaya kalau Anda
orang desa.
Aktor 3: Saya orang udik. Dan ini pertama kali saya pergi ke kota. Itupun
bukan untuk waktu yang lama, ya, cuma buat ngehadirin pernikahan
kerabat.
Aktor 1: Sebelumnya Anda benar-benar tidak pernah pergi ke kota?
Aktor 3: Seperti yang sudah saya bilang, ini yang pertama.
Aktor 1: (masih tak percaya) Cara berpikir Anda, cara bicara Anda, gaya
bahasa Anda, itu semua gaya kota, bagaimana bisa?
Actor 3: Bung, bung ... Anda termakan polarisasi desa-kota …
Aktor 1: Bahkan Anda tahu kata polarisasi … orang udik seharusnya tak tahu
kata itu!
Aktor 3: Bung, jangan bayangkan desa itu lugu. Kami orang desa juga
belajar. Kami punya TV. Kami tahu semua yang terjadi, bahkan dari pengetahuan
itu kami sudah bisa meraba-raba apa yang bakal terjadi. Siapa saja calon
presiden 2014, sejauh mana tingkat elektabilitas mereka, siapa pendatang baru
yang bakal bikin kejutan, itu sudah jadi obrolan kami di sawah. Dan tidak hanya
soal politik, hukum, korupsi, tawuran, dsb. Bahkan kami sudah tahu skenario
besar apa yang ada di balik Noah.
Aktor 1: Noah? Skenario besar? (tidak tahu)
Aktor 3: (heran) Anda tidak tahu Noah?
Aktor 1: (mengangkat bahu/menggelengkan kepala)
Aktor 3: Anda merasa terpelajar tapi tidak tahu Noah? Hahaha …
Tiba-tiba, dua
aktor lain masuk panggung. Tergopoh-gopoh. Aktor 4 di depan, aktor 5 di
belakang.
Aktor 4: Beruntung kami menemukan kalian. Beruntung. Keadaan di sini kacau.
Semua orang di stasiun ini bisu, Semua orang seperti patung.
Aktor 5: Dari tadi kami coba
berbicara pada setiap orang, tapi satupun tak ada yang menyahut. Semua diam
saja. Saya khawatir mereka telah menjadi bangkai.
Aktor 1: bicaralah dengan bahasa yang jelas, bung , , , ceritakan
pelan-pelan apa yang sesungguhnya kalian alami.
Aktor 4: Saya khawatir, bung … saya khawatir.
Aktor 1: dan apa sesungguhnya yang kalian khawatirkan?
Aktor 4: orang-orang di stasiun ini bung, , , lihatlah. Coba Anda lihat
baik-baik.
Aktor 1: dari tadi saya sudah melihat mereka. Tidak ada apa-apa!
Aktor 5: Anda tidak melihatnya dengan baik, bung ... lihatlah sekali lagi.
Aktor 3: (nyeletuk) alah, opo-opoan?
Aktor 4: (hanya menggubris dengan tatapan kesal pada actor 2 dan tetap
melanjutkan dialog dengan actor 1) bagaimana? Anda sudah melihat apa yang kami
lihat?
Aktor 1: Mereka sedang menunggu kereta. Dan nampaknya mau pergi jauh.
Aktor 5: itu dia.
Aktor 1: Apakah itu berarti sesuatu?
Aktor 5: Mereka sedang menunggu kereta dan mau pergi jauh. Itulah soalnya.
Aktor 4: Mereka seharusnya bicara satu sama lain, Bung, bukannya seperti
patung begitu ... Ingat, mereka disatukan nasib, disatukan tujuan.
Aktor 1: Tapi saya pikir itu biasa, mas … mungkin bagi mereka perjalanan
ini sudah jadi rutinitas, jadinya kebisuan itu wajar. Tak perlu
dipermasalahkan.
Aktor 3: (nyeletuk) biarkan saja, Wong stres kok dilayani.
Aktor 4: (terpancing, kesal) sopo sing stres? Sopo sing stres?
Aktor 5: (tak kalah terpancing) Anda harus tahu, Mas … kami orang waras
bersertifikat. Kewarasan pikiran dan jiwa kami sudah disertifikasi dokter ahli dari
depkes. Kami waras, Mas. Kami waras dan karena itu tahu kalau di sini ada yang
tidak beres.
Aktor 4: Apakah Anda tidak khawatir dengan keadaan ini. Lihat, mas
… orang merasa lebih aman berbicara pada benda daripada dengan manusia. Mereka
pun bertanya tidak pada manusia, tapi pada kertas, pada mesin, dan anehnya
mereka percaya pada apapun yang dikatakan benda-benda itu.
Aktor 5: Mereka tidak sadar sedang dijadikan bebek … mereka tidak sadar sedang
disetir.
Aktor 1: Disetir?
Aktor 4: Ya, disetir. Tanya saja salah satu dari mereka, apakah mereka
punya “keinginan” yang betul-betul mereka inginkan? Apakah mereka menyukai sesuatu
karena mereka benar-benar suka? Tanya kenapa mereka suka Noah. Mereka suka Noah
bukan karena suka sama jenis musik dan liriknya, apalagi karena Noah menginspirasi
hidup mereka. Bukan, bukan karena itu, tapi karena mesin dan kertas itu bilang
Noah sedang trend.
Aktor 1: Noah lagi?
Aktor 4: Maksud Anda?
Aktor 1: Saya tidak tahu Noah itu apa …
Aktor 4: (menahan ketawa)Benar, Anda tidak tahu?
Aktor 3: (nyeletuk) Dia orang kuper.
Aktor 5: (nada prihatin) baiklah, baiklah, lupakan Noah. Ganti saja Noah
dengan, misalnya … Gamis Syahrini. Ya, model pakaian itu juga disukai bukan
karena dirasa cocok, tapi karena sedang trend. Dan siapa yang berhak mengatakan
yang ini trend dan yang itu kuno? Ya benda-benda itu!
Aktor 1: Intinya mereka dipermainkan?
Aktor 4: Tidak hanya dipermainkan, tapi juga dijadikan sapi perah.
Aktor 5: Mereka terlanjur percaya dengan ucapan benda-benda itu,
sampai-sampai tidak lagi percaya pada diri mereka sendiri.
Aktor 4: Dan pada diri sendiri saja mereka tidak percaya, apalagi pada
orang lain.
Aktor 3: (nyeletuk) lebay, lebay ….
Aktor 4: (tersinggung). Hey bung … Kau tahu apa ini (menunjukan kepalan
tangan)?!
Aktor 3: Ciyusssss …
Aktor 5: sudah, sudah , , , jangan pedulikan orang itu.
Aktor 4: habis kesabaranku lihat orang macam begitu.
Aktor 5: (kebapakan) iya, iya, iya, , ,
Aktor 1: Anda memang harus lebih menjaga sikap, Bung.
Aktor 3: Habisnya mereka sok ilmuwan, sok mikir. Padahal urusannya sangat
sederhana. Itu karena semua orang maling. Semua orang, apapun jenisnya, tak ada
yang bisa dipercaya. Karena itu mereka mempercayai benda-benda itu. Mereka juga
tahu kalau diri mereka sendiri maling. Jadinya wajar bila mereka tak percaya
pada diri mereka sendiri.
Aktor 1: Dari tadi bicara Anda maling dan maling terus…
Aktor 3: lho, faktanya memang seperti itu. Di dunia ini siapa, sih, yang
tidak maling? Semuanya maling, Bung. Anda, mereka, bahkan saya juga sebenarnya
maling. Ketika melihat koruptor-koruptor ditangkapi di tv, mulut saya memang
memaki mereka, tapi hati saya mengatakan korupsi yang mereka lakukan wajar, toh
kalau ada kesempatan saya pun pasti tidak akan menyia-nyiakannya.
Aktor 1: Silahkan Anda berpikir demikian, tapi saya tetap percaya kalau
manusia jauh lebih baik dari apa yang Anda bilang ...
Aktor 3: itulah kenapa Anda harus nonton tv, Bung … harus baca berita di
Koran-koran. Biar tahu situasi.
Aktor 1: Saya hanya tidak mau melihat apa yang orang lain inginkan untuk
saya lihat.
Aktor 3: ya, itu pilihan Anda, bagaimana lagi? Tapi kalau suatu hari Anda
kena tipu, ingatlah saya; orang baik yang sudah memberitahukan kebenaran pada Anda,
haha …
Aktor 5: (bicara kepada actor 4) sudah jelas bukan, orang jenis apa dia
itu!
Aktor 4: Ya, dia orang yang benar-benar sakit. Beruntung tadi aku
menurutimu. Kalau tidak, aku sama saja dengan orang itu, sama-sama sakit.
Aktor 2 masuk
membawa oleh-oleh
Aktor 1: Akhirnya, Anda kemana saja, bukankah sebentar lagi kereta Anda tiba?
Aktor 2: Cari oleh-oleh dulu lah. (melihat jam tangan) heum, masih ada
waktu lima menit lagi.
Aktor 3: (nyeletuk) alah, paling telat.
Aktor 2: tidak, kereta saya tak pernah telat.
(sumber gambar : TB Arief Z-art)
terdengar
suara kereta dari kejauhan, terus mendekat, terus mendekat.
Aktor 2: apa saya bilang . . .
(semuanya
melihat ke arah sumber suara)
Empat orang
aktor masuk panggung dengan mengusung keranda. Suara kereta masih terdengar.
Berhenti di depan aktor 2. Aktor 2 naik ke keranda itu. saat kereta sudah
hampir keluar panggung,
Aktor 1: (teriak) mas, tas Anda ketinggalan !!!!!
Lampu mati.
Selesai.



Komentar
Posting Komentar