Sedikit Tentang Cak Nun


Belum ada tigapuluh esainya yang kubaca—barangkali, karena aku tidak ingat. Tetapi dari semuanya aku menemukan sebuah gaya bahasa yang segar, penuturan yang matang, yang tak mungkin muncul kecuali dari kesediaan meluangkan waktu untuk memikirkan suatu persoalan secara mendalam, dan perangkat pengetahuan yang luas, menembus sekat-sekat keilmuan dan pengkotakan nilai yang acap dilakukan oleh manusia kekinian. Tulisan-tulisannya bergerak bebas dari satu disiplin ke disiplin lain, dari antropologi hingga sosiologi, dari bidang politik, sosial, psikososial, bahkan psikoanalitik, sejarah, kebudayaan, sejarah kebudayaan hingga musik dan entah apa lagi.


Entah bagaimana dia mendapat semua pengetahuan itu. Sejarah bagiku adalah persoalan rumit dan karena itu “wah”. Sejarah tidak bisa dinilai oleh satu cara pandang. Sejarah adalah urusan serius, karena bila diurus dengan tidak serius, sejarah tak ubahnya monumen rempong yang melegimitasi kekuasaan para pembuat sejarah. Begitu juga antropologi yang bukan sekedar catatan perilaku khas kelompok masyarakat tertentu, entah masa lalu entah masa kini. Antropologi adalah upaya memetakan pola-pola kecendrungan manusia dalam setiap perbuatannya, setiap dorongannya, nilai-nilai di baliknya.
Antropologi adalah cara mengambarkan sebuah rancangan masa depan dari kenyataan sehari-hari, bahkan yang paling remeh. Antropologi memandang manusia sebagai mahluk yang tidak lepas dari makna. Sejarah dan antropologi adalah sesuatu wah. Begitupun sosialogi, psikosial-psikopat, psikoanilisis, psikologi dan seluk beluk musik. Bahkan untuk yang terakhir ini, yang akrab dengan kehidupanku sehari-hari, belum pernah kubayangkan bagaimana ia bisa memengaruhi politik. Sesuatu yang kupikir hanya tentang bunyi, harmoni atau disharmoni, dan dinamika, ternyata memiliki ke-wah-an tersendiri. Mempunyai semacam misteri dengan segudang pesona dan daya tarik untuk terus digali.
Dan dia (Cak Nun) menggunakan semua itu tak ubahnya sendok-garpuh di depan sepiring nasi, sop ikan, dan dendeng ayam. Dia memegang sendok garpuh itu dengan kelihaian yang luar biasa—bahkan seandainya ditarungkan dengan Bruce Lee yang membawa dua toya, Cak Nun pasti unggul. Nasi sop ikan dan dendeng dia cabik sedemikian rupa agar diperoleh potongan pas entah dengan kemampuan lidah dalam merasa, gigi dalam mengunyah, dan ruang mulut dalam menampung makanan itu. Nasi dan sop ikan dan dendeng ayam itu disuapkan dalam ukuran yang tidak lebih tidak kurang. Pas, seimbang. Dan karena itu mudah dikunyah, mudah dinikmati, dan setelah melewati tenggorokan, mudah dicerna.
Dalam memasak nasi sop dan dendeng itu, harus diakui bahwa memang—bahkan ini tidak jarang–ada kelebihan manis, asin atau pedas. Tapi dalam keadaan seseorang yang butuh yodium, asin itu justru menyehatkan. Atau ketika ngantuk dan kurang selera, menonjolkan pedas justru mengasyikan. Dan dalam keadaan kurang zat gula dalam darah, gula sangat baik dikonsumsi. Artinya, asin berlebihan, manis dan pedas yang juga kadang berlebihan itu, ditujukan semata-mata untuk mengejar manfaat yang jauh lebih bernilai; kesehatan. Demi kesehatan, persoalan rasa adakalanya memang harus diabaikan.
Dalam beberapa tulisan dia mengagungkan demokrasi tanpa ampun. Dalam beberapa tulisan pula dia menyanjung para politisi dengan penilaian-penilaian yang—jika dilihat dari sisi perasaan mayoritas bangsa Indonesia—sangat bertolak belakang. Tapi menurutku, entah karena aku secara pribadi merindukan adanya sosok yang bisa dijadkan figur atau sudah terlalu bosan dengan pemberitaan dan penilaian negatif, hal itu dilakukan demi menyadarkan masyarakat bahwa kebaikan masih ada. Dan setiap ada kebaikan, muncul harapan. Muncul kepercayaan diri pada masing-masing pribadi untuk berbuat baik. Aku, anda, mereka, kalian, kita, bisa berbuat baik. kebaikan bukan mitos, bukan sekedar cerita pengantar tidur, bukan mimpi di siang bolong, bukan sesuatu yang abstrak, bukan masa lalu. Kebaikan itu ada, nyata, riil, terjadi di masa kini, relevan dan bisa dicapai. Bisa dilakukan!
Kenyataan sehari-hari, setidaknya kenyataan yang diproduksi oleh media pemberitaan, tanpa ampun memastikan pada kita bahwa yang namanya “kebaikan” sudah tidak relevan untuk zaman sekarang. Kebaikan sudah kuno. Dan setiap yang kuno itu kampungan. Yang kampungan hanya akan mengundang pelecehan, nada miring, hinaan, cacian dan masih banyak lagi. Sebab kampungan berarti ketertinggalan dan mutu yang rendah. Dunia dan seisinya (maksudku Indonesia) sudah tidak kondusif lagi untuk perkembangan dan pemerataan kebaikan. Orang yang berani berbuat baik akan celaka. Orang yang berani berbuat baik akan menjadi sampah atau masuk penjara. Orang yang berbuat baik akan remuk dilindas kereta.
Tapi kebaikan apa yang dimaksud di sini? Kebaikan yang dimaksud—setidaknya sejauh yang kubaca—adalah kesetiaan pada “nilai-nilai” yang menjadikan manusia tetap pada posisinya sebagai mahluk yang paling dimuliakan tuhan. Nilai itu bisa berbentuk “hukum” bisa pula berbentuk “moral”. Hukum adalah batas tegas, sesuatu yang sudah barang tentu harus dipanglimakan dalam menjalani kebebasan. Adapun moral adalah produk kesucian hati, nurani manusia yang tidak bisa dibohongi dan berlaku secara universal. Betapapun latar belakang seseorang berbeda; sejarah, kebudayaan, peradaban, suku bangsa, lingkungan, keluarga, pengalaman individual, semuanya berbeda, sejarah kesucian hati manusia tak pernah menuliskan kata “khianat”, misalnya, sebagai laku yang bernilai. Tak pernah menyebut kata “penindasan” sebagai sesuatu yang harus dibudidayakan. Baik khianat ataupun penindasan—atau silahkan runtut kategori-kategori yang sejenis sebanyak mungkin—tetap saja merupakan hal-hal yang tidak bermoral.        
Sayangnya, perawisan nilai yang dialami bangsa Indonesia justru dilakukan melalui cara yang tidak sehat. Sejak kecil kebanyakan manusia Indonesia, dididik untuk lebih percaya pada norma dan bukan pada nilai. Norma adalah pseudo nilai atau nilai semu. Kenapa demikian karena norma berkait erat dan diproduksi oleh cara pandang kelompok. Masyarakat sini punya norma sendiri yang berbeda dengan norma masyarakat sana. Masyarakat sana juga punya norma sendiri yang berbeda dengan masyarakat sini. Demikian pula masyarakat sono punya norma sendiri yang berbeda dengan masyarakat sana ataupun sini. Norma-norma yang diikuti masyarakat memang hampir selalu sama dan sejalan dengan moral. Tapi sang hakim, sang penentu salah tidaknya, jika moral menegaskan kesadaran, memberikan secara pasti pada nurani dan kesucian hati, sang hakim norma adalah masyarakat. Kebanyakan kita dididik untuk sedekah, misalnya, karena “apa kata tetangga kalau kamu tidak memberi?!” bukan karena percaya pada nilai kasih sayang dan mencintai sesama. Kita berlaku jujur karena masyarakat menghendaki kejujuran bukan karena kita percaya pada nilai kejujuran. Kita membangun jembatan karena masyarakat mengehendaki adanya sebuah jembatan, bukan karena percaya pada nilai aksestual yang dimiliki sebuah jembatan.  Pewarisan yang tidak sehat ini sama saja dengan mendidik orang untuk berlaku adil didepan banyak orang, tapi menyuruh zalim ketika tidak ada orang.
Begitulah sekilas pandang tentang Cak Nun dilihat dari esei-eseinya. Insyaallah—sebab ini belum semuanya—akan dilanjutkan dengan pandangan-pandangan lain pada waktu yang lebih memungkinkan.           
             
     

              

Komentar