
Renungan Bre Redana berjudul “Pemikiran Pamit Mati” (http://nasional.kompas.com/read/2011/10/23/03352743/Pemikiran.Pamit.Mati) sudah seharusnya membuat kita miris. Bagaimana tidak, refleksi itu seperti menelanjangi sikap kita terhadap kebudayaan yang, sadar atau tidak, sedang kita bangun di atas ruang kosong, tanpa makna, tanpa filosofi. Apa sebab apa akibat sulit didemarkasi. Kita yang pada dasarnya malas berfikir atau segala sesuatu yang praktis begitu telanjang dan setiap hari mempengaruhi kita, sulit diurai. Yang jelas, abad kini telah menjadi semacam perayaan hidup yang riuh, melulu berisik—baik dengan tawa atau jerit, asal bisa “langsung telan”. Dunia “kiat-kiat”. Dari tontonan hingga bacaan. Dari yang sakral hingga yang profan.
Apa keadaan ini fase
yang mau tak mau harus dilalui, dengan kata lain kemestian sejarah? Bila
perjalanan sejarah diandaikan sebagai perjalanan menuju kesempurnaan,
kesempurnaan jenis apa yang hendak dicapai?
Barangkali kesempurnaan
Kuntilanak dan Cinta Persegi Lima dan iklan dan semua yang berbau permukaan (?).
Puncak era pemuja kulit dan gila mistik. Bahkan teknologi adalah mistik itu
sendiri. Yang penting beli, pakai, gengsi, hepi. Soal sms itu—misalnya—dikirim
oleh setan atau jin atau melalui rute panjang dari Base
Transceiver Station hingga short
message service center, peduli amat. Bagi kita, teknologi yang paling akrab
dengan keseharian saja ternyata masih misteri, semisteri alam gaib.
Dalam kehidupan agama, kehidupan yang
nyata-nyata tidak sekedar lahiriah tapi juga batiniah, pun mengalami
kejomplangan serupa. Yang “tampak” menjadi raja, yang batin menjadi paria.
Darah yang lain ditumpahkan semata-mata karena yang tampak dalam al-Quran
memang demikian; bunuhlah mereka (orang-orang kafir itu) di mana pun kalian
temukan! Patung wayang dihancurkan karena kisah yang ditampakkan al-Qur’an
demikian: Maka Ibrahim menjadikan berhala
berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung
yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (QS. Al-Anbiya
[21]: 58). Dalam kecendrungan beragama lainnya, kita melihat bagaimana buku
semacam Tips-Tips Masuk Syurga lebih
digemari dari pada buku-buku semisal Kritik
Nalar Arab, Dekonstruksi Syari’ah, dan masih banyak lagi. Kita seperti
telah kompak untuk bersyahadat; yang praktis itulah yang benar. Dan semua ini
terjadi di segala bidang; politik, ekonomi, budaya, pendidikan. Semuanya
memiliki standar serupa; penampakan. Singkat kata, kehidupan kini adalah
tentang produksi, disribusi, dan konsumsi penampakan.
“Kalau Anda ingin
tenang, percayalah. Tapi kalau Anda rindu kebenaran, carilah!” kurang lebih
demikian ungkapan Nietszche si “nabi kematian tuhan”. Kepercayaan memberi rasa
tentram. Tapi kepercayaan bukan kebenaran. Kebenaran harus dicari, dan kita
tahu resiko sebuah pencarian. Dalam pencarian, jalan paling terang sekalipun
selalu diliput kabut. Dalam pencarian, ada kekhawatiran sesat jalan tak sampai
tujuan. Dalam pencarian, kegelisahan adalah keniscayaan.
Dan kita barangkali
sudah lelah dengan setiap kegelisahan—kegelisahan yang kita hadapi sudah
terlampau bejibun. Apa yang bisa kita makan, apa yang bisa kita pakai, apa yang
bisa kita beli, dan banyak lagi. Dan kita tak punya ruang untuk menjadi
buta-tuli. Di mana-mana selalu ada bisikkan tentang ponsel baru, tablet,
pakaian, kulit putih, rambut hitam bercahaya dan tektek bengek lainnya. Hasrat
kita selalu dikipasi. Kita dipaksa memilih ini itu yang sebetulnya tidak perlu.
Dan kita tahu bahwa kini tak ada lagi “kaya-miskin”, tapi “cepat atau
lambat”—sebagaimana kriteria Negara yang tak lagi “negara kaya-negara miskin”
tapi Negara cepat atau Negara lambat. Juga sadar benar, bahwa punya ponsel baru
saja tidak cukup tapi cara memperolehnya harus cepat. Kaya harus cepat, tahu
harus cepat, sukses harus cepat, segalanya harus cepat bagai di arena balap.
Demikian karenanya untuk apa mempersoalkan
makna, kebenaran, dan semua yang hasilnya tidak tampak, padahal semua itu
menyita banyak waktu, tidak efisien dan boros pikiran. Persoalan makna hanya kegelisahan
yang tidak perlu. Sehingga dengan tidak berfikir, setidaknya ada ruang di mana
kita merasa tentram di tengah arena balap kehidupan yang begitu menyita
ketenangan. Tapi kemudian kita bertanya, (dari keadaan semacam
ini) apa yang bisa diharapkan?


Komentar
Posting Komentar