(negeri gambar)
Yogyakarta, selain menjadi gudang perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, telah menjadi syurga para pedagang kopi. Warung kopi hadir di seluruh pelosok kota. Di pinggir jalan, di area pesawahan, di bantaran sungai, di lingkungan kost-kostan, dll. Dan warung-warung kopi yang demikian rapat itu, tak sepi-sepi.
Bolehlah dikatakan bahwa para konsumen itu datang bukan sekedar untuk mencari kafein, hiburan, apalagi ketenangan. Mereka, para konsumen itu, datang karena (seolah) diikat oleh sesuatu yang mungkin tidak kita pahami. Karena dalam sehari, satu (bahkan) hingga 10 jam waktu mereka digunakan untuk duduk-duduk di warung kopi (kalau tak percaya, silahkan lihat dan amati sendiri). Orang-orang di warung kopi A, adalah orang-orang itu juga. Demikian yang di warung kopi B, C, hingga Z—itu-itu juga. Artinya, pemandangan yang mereka lihat itu-itu saja, dan orang-orang yang mereka temui tak ganti-ganti. Menurut pikiran jernih, “seharusnya mereka bosan.” Tapi mereka dengan sadar menghabiskan waktu dan mengisi pundi-pundi uang pedagang kopi langganan mereka masing-masing. Setiap hari. Dan kebanyakan mereka adalah mahasiswa, muda, tidak memiliki penghasilan selain kiriman dari orang tua.
Gejala
konsumsi macam apa yang sedang terbangun? Hubungan konsumen produsen macam apa
yang sedang terjalin? Apakah fenomena di atas justru bukan lagi peristiwa jual-beli? Karena baik gejala konsumsi maupun hubungan konsumen-produsen yang ada
itu tak sekedar memenuhi kebutuhan pihak satu dari pihak lain secara ekonomis-konsumtif. Tapi di sana ada kekuatan yang mengikat,
yang tanpa disadari muncul dan terus bertambah kuat oleh tingkat intensitas
perjumpaan dua pihak tersebut. Semacam kekeluargaan, mungkin—meski
pada dasarnya yang satu dikuras yang lain.
Lewat Rollo May, seorang tokoh psikologi eksistensial, kita tahu bahwa ada tiga
permasalahan manusia modern; kekosongan, kesepian dan kecemasan. Tiga keadaan
ini saling mengikat satu sama lain. Seorang yang merasa kosong tidak lagi mengetahui apa yang diinginkannya, juga tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap apa yang
terjadi dan dialaminya. Dan ia mencari petunjuk, mencari pegangan ke luar
dirinya. Ia dikerangkeng pasivitas
terhadap lingkungan sosial dan tidak memiliki kepedulian. Satu-satunya kepedulian yang ia rasakan, barangkali,
adalah ketidakpeduliannya pada segala hal. Ia bisa merespons sebuah stimulus (katakanlah,
permasalahan hidupnya), tapi tidak bisa
memilih sendiri respons apa yang paling baik bagi permasalahan itu.
Dari kekosongan ini, akibat langsung yang dirasakan
adalah kesepian—merasa terasing dari diri
sendiri dan lingkungan. Manusia modern sangat takut kesepian, karena itu ia memiliki hasrat yang kuat untuk diterima orang lain, sekuat ketakutan atas sebuah penolakan. Sebuah kegiatan kolektif diciptakan tidak untuk
menjalin hubungan yang akrab dan hangat, tapi lebih pada upaya mengusir
ketakutan diasingkan.
Sementara ketidakmenentuan semakin besar dari hari ke hari. Dan manusia modern karenanya
selalu cemas. Kecemasan ini timbul karena rangkaian pengalaman yang ia saksikan telah merontokkan nilai-nilai yang ia
yakini. Ia kemudian hanya memahami satu hal, bahwa lingkunganya adalah arena eksploitasi
individu yang satu terhadap individu lain.
Dan keadaan ini berbuah perasaan traumatik.
Berbagai berita buruk—karena keterbukaan informasi, juga semakin membuatnya
sinis. Sinis adalah cara yang, konon, dianggap paling seksi dalam mengungkapkan
sebuah kecemasan. Karena bila cemas berarti wajah lain dari kepengecutan,
sinis—setidaknya menurut manusia terkait—adalah keberanian. Dan ia berkata
“tidak” untuk segala hal. Kelanjutan dari minimnya kegiatan sosial, ia
kehilangan makna hidup, juga rasa
berharga, rasa bermartabat, atau berbagai keadaan yang dirangkum Victor Frankl—salah seorang tokoh psikologi eksistensial terkemuka—dengan istilah “frustrasi eksistensial”. Dan ia, manusia modern itu,
tidak tahu apa yang harus diperbuat. Karena itu setiap hari menghabiskan waktu
di warung kopi.
Hujan, panas, harga beras naik, kabinet
dialih-posisi, sunatan massal, beban SKS yang masih ngantri, dll urusan di luar
dirinya, bukan alasan untuk meninggalkan warung kopi. Waktu boleh berlalu
demikian cepat atau—bahkan—lambat, tapi tidak boleh tidak harus dilewati dengan
sekadar nongkrong di warung kopi. Warung kopi adalah pengisi kekosongan,
pengusir kesepian, dan katarsis kecemasan. Warung kopi adalah
rumah yang melidungi, yang
Tapi Rollo May mungkin saja keliru. Karena boleh
jadi, para penikmat kopi yang menghabiskan waktu sampai 10 jam setiap hari itu
hanya ingin menikmati hidup dengan santai. Hidup yang tanpa kecepatan. Segala
resolusi, rencana pasti—apalagi tidak pasti, perhitungan dan berbagai syarat
keanggotaan zaman modern—agar tidak ketinggalan, dibaikan bukan karena bingung
melakukan sesuatu melainkan demi menggeret bendera perlawanan ke puncak tiang. Modernitas,
kita tahu, adalah hamba kecepatan. Sementara yang mereka lakukan adalah demi
menjalankan syari’at kepercayaan teologi perlambatan. Singkat kata, apa yang
mereka lakukan tidak melangkah tanpa pijakan, tapi lahir dari gagasan filosofis
yang mereka yakini. Dari sini, tentu kita bisa mengandaikan berbagai kejutan
yang maujud lewat tangan mereka. Lepas dari apakah itu terobosan intelektual,
artistik atau bahkan politik, dll.
Kita tak bisa menyimpulkan. Tapi setiap orang,
tampaknya, punya kitab suci sendiri-sendiri. Ada seorang teman yang, cukup
pantas diandaikan sebagai penganut teologi perlambatan, berkata, “Yogya pandai
membuat tidur. Tahu-tahu keponakanku yang dulu masih ingusan ‘dah masuk
kuliah!” Tapi kita juga tahu—dari Greg Barton (baca: Biografi Gus Dur)—bahwa
Alm. Gus Dur ternyata menghabiskan waktu belajarnya di Mesir tidak di ruang
kuliah, tapi warung kopi; Gus Dur mantan Presiden RI itu.



Komentar
Posting Komentar