Apakah
terpenuhinya hak-hak individu selalu berarti kebahagiaan? Bagi banyak orang,
jawabannya sudah pasti “ya”. Tapi bagi Laila, pembantu rumah tangga rekaan Putu
Wijaya dalam cerpen yang juga diberi judul “Laila” itu, belum tentu. Betul Laila
kesakitan oleh perlakukan semena-mena Romeo—suaminya. Betul Laila sadar sedang
diperah laki-laki pengangguran itu. Tapi seperih apapun Laila, ia menitikan air
mata bahagia saat mampu membelikan motor bekas untuk suaminya. Dan dengan semua
kepahitan yang ia terima, ia selalu menggumamkan lagu Nike Ardila saat mencuci
baju majikannya. Laila percaya, berbakti pada suami—sekalipun bukan suami yang
pantas dipatuhi, adalah tiket perempuan masuk surga.
Tak jelas
benar apa yang membentuk Laila jadi senaif itu. Ia hanya diceritakan sebagai
pembantu rumah tangga yang teguh memegang pesan orang tuanya untuk berbakti
kepada suami, tanpa syarat. Tapi persis di sini kegelisahan itu muncul; Laila
tidak tersekat oleh nama-nama kelompok tertentu. Ia bukan Islam, bukan Kristen,
dsb. Ia bukan orang Sunda, bukan Batak, bukan Dayak, bukan pula Bugis. Laila
memang disebut “Perempuan Jawa yang tahu diri”, tapi identitas di sana lebih
sebagai ornamen yang tidak berarti apa-apa—berbaktinya Laila kepada si Romeo
bukan karena ke-Jawa-annya tapi kepatuhannya pada pesan orang tua. Yang mengejutkan,
Laila cukup akrab dengan hasil teknologi; ia bisa mengendarai sepeda motor. Laila
juga tak asing dengan seni; ia suka lagu Nike Ardila. Laila tidak kolot-kolot
amat.
Tidak
terdefinisikannya Laila oleh identitas apapun selain profesinya sebagai pembantu
rumah tangga, ditambah keberadaan Laila sebagai bagian manusia masa kini, menunjukan
ia bisa hadir dari kelompok apa saja. Laila bisa saja Jawa, Sunda, Batak,
Islam, Kristen, dsb. Mungkin karena itu Laila tidak sepadan dengan peristiwa
kecelakaan lalu lintas di siang bolong yang tuntas diceritakan berita langsung.
Satu paragrap sudah cukup memenuhi rasa ingin tahu pembaca. Laila bukan
peristiwa itu; sekali terjadi lalu selesai. Ia adalah sebuah kasus, suatu
rentetan kejadian yang kait mengait, bahkan boleh jadi fenomena.
Jika sejarah manusia
adalah sejarah mencari kebebasan (Erich Fromm), kita bisa menyebut Laila sebagai
kasus ganjil dari sejarah itu. Tapi apapun penyebutannya, manusia itu sendiri bukan
lautan tenang; di permukaan penuh ombak, di kedalaman penuh keajaiban dan onak.
Setiap upaya merumuskanya selalu patah oleh kenyataan yang tidak terduga;
kenyataan, seperti Marx katakan, adalah kepala batu. Banyak orang
memperjuangkan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Banyak kajian dan seminar
untuk melawan stigmatisasi perempuan yang dikonstruksi budaya patriarkal selama
berabad-abad. Banyak pula—barangkali—darah yang dialirkan agar perempuan bisa,
katakanlah, sekedar memakai celana panjang. Tapi Laila justru lebih bahagia
saat menjadi objek penindasan. Laila ini sebenarnya perempuan macam apa?
Laila tentu
saja tidak lebih dari tokoh ciptaan Putu Wijaya, pengarang yang sering
menceritakan kejadian-kejadian tak lazim itu. Jangan dulu dibandingkan dengan
perempuan-perempuan di dunia nyata; bahkan yang sesama fiksi, kenyataan Laila tidak
bisa dipukul rata, ia punya kehidupan sendiri, punya peristiwa dan pengalaman
sendiri yang pasti berbeda dengan pengalaman Nyai Ontosoroh dan Anelis—dua
tokoh rekaan Pramudya Anantata Toer di Tetralogi Pulau Buru. Laila hanya hadir
dan hidup dalam dunia fiksi. Mudah-mudahan hanya ditemukan dalam fiksi.
selengkapanya tentang Laila baca di:
https://cerpenkompas.wordpress.com/2009/11/08/laila/#more-738
Komentar
Posting Komentar