Sniper; Ghost Shooter dan Lelucon yang, ah … Sudahlah !



“Film yang buruk dibuat agar kita dapat menghargai film bermutu. Jadi, jangan pernah ragu untuk menonton film yang buruk itu.”  (Jajang Husni Hidayat)

Sebuah film, apa pun genrenya, sejatinya tidak bisa melepaskan diri dari alur, gagasan, dan keutuhan cerita. Apa yang hendak disampaikan, cara menyampaikan, detil dan globalnya, haruslah membentuk satu kesatuan cerita yang bisa dipahami dan tidak menimbulkan pertanyaan.  

Film adalah seni menipu penonton. Keluasan ruang dan teknologi seharusnya menjadi modal yang bisa dimanfaatkan sebaik mungkin demi menutup segala celah pertanyaan, kebingungan dan rasa tidak puas di dalam diri penonton. Keleluasaan ruang dan teknologi inilah yang menjadikan film dapat menghasilkan sebuah dunia baru yang benar-benar meyakinkan. Adapun Sniper; Ghost Shooter, film tahun 2016 garapan sutradara Don Michael Paul, telah gagal memanfaatkan modal yang dimilikinya.


Kita tidak bicara soal penghayaan aktor terhadap karakter yang dibawakannya. Kita juga tidak membahas properti, kostum, dan detil yang mendukung film ini menjadi tampak nyata. Kita bicara tentang akal sehat—bahkan yang dimiliki seorang awam terhadap dunia militer—yang menemukan banyaknya hal yang tidak perlu, namun disajikan berulang-ulang di film ini.

Adegan film dimulai dengan penampakan pasukan pemberontak Suriah yang akan mengeksekusi beberapa tawanan orang Amerika. Pasukan yang hanya berjumlah 15 – 20 orang ini, menaiki 3 motor boat. Mereka melaju di atas sungai. Di atas boat itu, para tawanan menggunakan baju kuning, seperti kader golkar.

Amerika memiliki setelit dan alat pengintai yang canggih. Dari kamera yang dipasangkan pada sebuah Drone, para pemberontak dan tawanan, jumlah dan setiap gerak-geriknya, bahkan bisa diawasi dengan jelas dari pos komando. Lokasi eksekusi sudah diketahui. Di beberapa titik di sekitar lokasi itu, tim sniper sudah berjaga-jaga, siap menunggu perintah untuk melumpuhkan seluruh pasukan pemberontak.

Para tawanan dijejerkan. Tangan mereka diikat ke belakang. Mereka berlutut diselimuti rasa takut, gentar berhadap-hadapan dengan maut. Seorang algojo mengambil golok dan menyerahkannya kepada seorang bocah 10 tahunan untuk memenggal para tawanan. Tentu saja, untuk menggambarkan karakter teroris, eksekusi itu direkam, seorang di antaranya memberikan sepatah dua patah kata untuk menyatakan tujuan dari apa yang akan mereka lakukan.

Di beberapa sudut di balik semak-semak, pada jarak yang bisa dijangkau senjata penembak gelap, tim penembak memperhatikan gerak-gerik pemberontak lewat teropong senapan. Telinga mereka dipasang alat komunikasi. Komunikasi mereka lancar, selancar orang pacaran. Namun, pada saat-saat menentukan, sniper yang mendapat perintah menembak si eksekutor ragu untuk menembak. Brandon Backet, nama sniper itu, bimbang karena si pemegang golok yang mengkilat itu adalah bocah 10 tahunan.

Tentu saja kita bisa paham dengan gejolak batin si Brandon. Ia terjebak dalam keragu-raguan yang hebat antara segera menarik pelatuk atau mengunggu. Siapa tahu anak itu tidak memiliki nyali untuk menebaskan golok yang ada di tangannya. Siapa tahu anak itu menangis. Siapa tahu anak itu, karena marah dengan situasi yang dipaksakan padanya, malah menebaskan golok itu kepada si pemberontak yang menyuruhnya. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Brandon ragu, Brandon menunggu, sementara itu perintah dari atasannya terus menerus menghujam telinganya. “Tembak, tembak, tembak!”


Dalam situasi menegangkan seperti itu, setiap gerak-gerik mencurigakan bisa disalah-artikan. Oleh karena itu, tatkala tangan si bocah gemetar sehingga golok yang ada di genggamannya terlepas jatuh ke permukaan tanah, gerakan itu dianggap sebagai upaya untuk mengeksekusi tawanan. Bocah itu menunduk hendak mengambil golok yang terjatuh, dan bersamaan dengan itu, Brandon menarik pelatuk. Kepala si bocah lolos dari terjangan peluru.

Dengan kesigapan seorang ahli, pemberontak itu lekas-lekas mengambil golok yang tergeletak. Dan sepersekian detik berikutnya, ia menempelkan golok itu di leher salah seorang tawanan, lalu menggoroknya. Darah muncrat. Peluru berdesing dari kejauhan. Baku tembak pun terjadilah.

Di sinilah awal mula kejanggalan terjadi. Kita bisa memahami jika si Brandon mengalami keragu-raguan. Itu normal karena bagaimanapun nurani tetaplah nurani. Manusia tetaplah manusia meskipun ia digembleng sedemikian rupa untuk membekukan sisi kemanusiaannya. Namun, yang tidak bisa dipahami adalah, hanya untuk melumpuhkan seregu pemberontak, pasukan Amerika yang terlatih itu harus dibantu dengan helicopter tempur dan drone yang dipersenjatai rudal.

Pasukan-pasukan terlatih itu adalah para penembak jitu. Mereka sudah dalam posisinya, tersembunyi dan aman. Mereka bisa menembak tanpa mendapatkan serangan balasan, sehingga para  pemberontak itu sudah seharusnya dapat dilumpuhkan tanpa hujan peluru dan ledakan.

Namun, di film ini, yang terjadi tidak demikian. Helicopter tempur tak berhenti menembaki para pemberontak. Sniper pun menembaki mereka. Tetapi tetap saja, mereka tampak kesulitan. Ketika dua atau tiga orang pemberontak berhasil melarikan diri dengan sebuah jeep, sniper berhasil membunuh mereka dari kejauhan.  Mobil yang mereka tumpangi terguling, mereka tidak mungkin kabur lagi. Akan tetapi, para pemberontak itu belum dinilai kalah. Drone, entah untuk tujuan apa, menembak jeep yang sudah terguling itu dengan rudal.

Ini aneh! Pasukan terlatih dan hebat itu tidak bertempur dengan taktik dan strategi. Alat komunikasi yang canggih itu tidak digunakan untuk koordinasi yang rapih, sehingga langkah-langkah militer yang dilakukan lebih proporsional. Dari sudut pandang ekonomi, menembakan rudal itu, helikopter dan setiap peluru yang dimuntahkannya itu, adalah pemborosan.

Banyak kejanggalan lain yang ditunjukan oleh film ini. Ada sebuah adegan di Turki yang menyampaikan bahwa Backet diincar oleh seorang sniper yang mengikutinya dari Syiria. Sniper itu keburu dibunuh sebelum berhasil dibunuh. Lalu di sana dikatakan bahwa kepala Brandon (atau Gunny) disayembarakan seharga 150 ribu dollar. Anehnya, kita tidak diberitahu kenapa Backet diburu? Kenapa sniper peragu seperti Brandon bisa dihargai semahal itu? Tetapi jangankan penjelasan, petunjuk pun tidak ada. Apa-apaan ini?!


Ada juga keanehan yang diperagakan seorang wanita seksi dan cantik di sebuah dermaga. Wanita ini ditunjukan sekilas dalam ekstras sedang membungkuk cenderung menungging dengan kedua tangan yang bertumpu pada pagar dermaga. Wanita cantik yang kemudian diketahui berpangkat kolonel ini  (atasan Brandon) seperti ingin diperhatikan oleh sisi kelelakian Brandon. Memancing-mancing saja kerjanya. Saat umpannya dimakakan si ikan, ia kemudian berjalan dengan memberi isyarat halus kepada Brandon untuk mengikutinya. Lelaki itu pun mengikutinya menuju tempat terbuka, masih di dermaga. Di tempat itulah Brandon dibidik oleh sniper yang mengejarnya dari Syiria itu. Dari cerita selanjutnya diketahui bahwa si kolonel bukan pengkhianat yang ingin membunuh anak buahnya. Jadi, ia menggoda, kemudian membawa Brandon ke tempat terbuka dan secara kebetulan ada seorang sniper yang membidiknya, tidak diketahui untuk tujuan apa. Apa kolonel itu hanya perempuan centil?    

Kejanggalan itu belum termasuk yang kecil-kecil seperti adegan di sebuah kapal feri ketika Brandon membalikan badan setelah berbicara dengan kolonel cantik sambil memutar-mutarkan telunjuknya, sejajar dengan telinganya. Jika di darat, itu seperti intruksi kepada supir untuk berputar arah, tetapi ini di atas air. Apa maksdumu Brandon, apakah kau menyuruh nahkoda untuk memutar perahunya? Betul kau kemudian masuk ke mobil, teman-temanmu juga sudah menunggu di mobil, tapi kapal feri belum berlabuh, apakah kau tidak tahu bahwa kapal masih mengapung di lautan? Apakah kau ingin terlihat keren di depan kolonel cantik? Brandon, kau tidak hanya peragu, kau juga ganjen!

Alhasil, Sniper; Ghost Shooter adalah representasi total dari kesia-siaan. Film ini tidak mendasarkan diri pada logika, dialognya dangkal, dan berhasil membuat jarak yang sangat jauh dari dunia-lahir-batin cerita yang diangkatnya, dengan apa yang ditunjukkannya. Dalam bahasa yang lebih ringkas, film ini adalah lelucon yang, ah … sudahlah.

Komentar

  1. Menurutku juga gitu om, barusan nnton di trans tv, yg paling aneh menurutku emng yg di dermaga sama yg pas brandon mutar2 telunjuknya.. entah kenapa gw jijik malah liatnya..

    BalasHapus
  2. Keren gan tulisannya. Film ini jadi salah satu film sniper terbaik yang pernah ane tonton, tapi emang gak sebagus American Sniper hehe.

    BalasHapus

Posting Komentar