Harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini
tidak lahir dari pikiran seorang intelektual. Dan jauh, jauh sekali dari
semacam buah pikiran kaum bangsawan di dunia pikiran. Itu jika menjadi
intelektual harus menapikan aspek emosional. Itu jika menjadi intelektual
berarti semata-mata menggunakan rasio. Memandang persoalan dengan dingin tanpa
rasa benci tanpa caci maki. Melihat apa yang terjadi dengan ketajaman akal dan
jauh dari libatan perasaan. Harus diterangkan pula bahwa tulisan ini tidak bisa
dipertanggung jawabkan di hadapan sidang ilmiah. Akan tetapi, tulisan ini
berani mengangkat muka di hadapan sidang rasa keadilan. Yang akhir-akhir ini
tercoreng, mungkin sengaja dicoreng, atau barangkali bagian dari usaha yang
(menurut KMP dan pendukungnya) sistematis dan massif dalam membawa negara ini
ke jurang kenistaan.
Jokowi. Nama ini
pernah menjadi harapan, menjadi simbol kesungguhan dari negeri yang sedang
berusaha bangkit. Jokowi ibarat udara segar. Aku sendiri bahkan sempat
mempercayainya, menilainya berbeda dari pemimpin kebanyakan yang hanya
mementingkan pencitraan. Seorang kawan—jurnalis politik—pernah menceritakan
bagaimana keseriusan Jokowi dalam bekerja. Waktu ia masih menjadi Gubernur di
Jakarta, ia sampai dini hari memantau pergerakan air di sungai Ciliwung. Ia
tidak disertai pengawal atau embel-embel kekuasaan macam pejabat biasanya. Ia hanya
bersama supir yang mungkin merangkap sebagai asisten pribadinya. Seorang
wartawan yang mengikuti kemana pun ia pergi, bahkan disuruh pulang. Si wartawan
menolak karena takut dimarahi atasannya. Dan Jokowi menelpon atasan si wartawan,
hanya untuk meminta izin agar ia memperbolehkan bawahannya pulang. Itu jokowi.
Aku pikir dia memiliki kepribadian yang luar biasa. Aku pikir, di zaman
sekarang ini, sulit, amat sulit—jika tidak dikatakan mustahil—menemukan pejabat
publik seperti dia. Jokowi yang tidak suka mendapat upacara penyambutan, Jokowi
yang tidak suka dilayani, hanya mau melayani. Dan semua itu dilakukan dengan
tulus (tampaknya begitu). Ia tidak mengundang wartawan saat ia melakukan
infeksi lapangan. Bahkan asisten pribadinya tidak tahu apa yang akan dilakukan
Jokowi hari ini. Dia hanya masuk ke mobil, berkata pada sopir, “ayo kita tinjau
pasar” misalnya begitu. Ia datang tanpa iring-iringan. Tanpa kegaduhan pengawal
motor. Jokowi hanya datang.
Hal inilah yang
membuatku menaruh harapan besar pada Jokowi. Dan bukan hanya aku, tapi juga
banyak orang lain--dari banyak kalangan yang sama-sama ingin perubahan--percaya
bahwa Jokowi adalah solusi. Jokowi berhasil memberi harapan pada orang-orang
yang memiliki tradisi golput. Seorang kawan yang sinis pada politik, yang malas
berpanas-panas, pemalas nomer wahid yang lebih baik menahan lapar menunggu
tukang nasi goreng lewat daripada pergi ke warteg, mau menempuh perjalanan
Depok-Sukabumi hanya untuk memilih Jokowi. Dari forum-forum marxis aku tahu
bahwa banyak penganut marxisme yang mengikuti Pemilu—padahal bagi kaum marxis,
pemilu adalah perangkat kaum borjuis untuk mengeruk dan menguasai sumber dan
alat produksi. Karena itulah bagi kaum Marxis hukum pemilu adalah haram. Dan tidak hanya memilih, kaum marxis itu juga bahkan banyak yang
menjadi relawan pemenangan Jokowi. Lelaki asal Solo ini berhasil menginspirasi (atau
mungkin menipu) banyak orang dari berbagai kalangan untuk bergerak dan
mewujudkan perubahan. Indonesia seperti disetrum. Kembali digelorakan poltik.
Para saksi sejarah masa revolusi, mungkin akan terkenang masa ideologi di zaman
Soekarno, mengingat gegap gempita pemilu 2014 yang luar biasa. Gegap gempita
itu, karena Jokowi. Antusiasme pemilih meningkat pesat karena orang ini. Entah
untuk mendukungnya, atau untuk menghadang jalannya.
Aku ingat tulisan Cak Nun tentang Jokowi di
harian Kompas. Cak Nun melihat fenomena Jokowi sebagai sosok yang mampu
membangkitkan kerinduan massal atas keterikatan pada yang purba, yang asal, dan
jauh dari kesan modern. Seperti kerinduan manusia untuk kembali kepada rahim
ibunya. Di sana manusia seperti menemukan tempat aman, tempat yang jauh dari
kegaduhan dan hingar bingar segala pencitraan politisi mainstream. Jokowi
berhasil membangkitkan hasrat itu, dengan gayanya yang sederhana, dengan
wajahnya yang seperti kebanyakan rakyat Indonesia, dengan gayanya yang spontan
dan jauh dari kesan setingan penyusun strategi kampanye. Jokowi, tak ubahnya
Obama yang dengan kharismanya berhasil menyedot simpati rakyat Amerika. Aku teringat celotehan Sarah Palin ketika bersanding dengan Mc Cain melawan Obama.
Dia melihat kerumunan pendukung Obama. Dia merasakan harapan besar kerumunan
itu pada Obama. Lalu Palin berkata pada tim suksesnya, “aku kira kita tidak
sedang melawan Nabi.” Dan begitu pun yang mungkin dialami Prabowo sekiranya ada
catatan tentang itu. Dia barangkali akan mengatakan hal yang sama terhadap
Jokowi lawannya.
Kedatangan Jokowi
memang pas dengan keinginan rakyat Indonesia yang sudah jenuh dengan sikap
kekanak-kanakan elit politik. Jokowi ibarat fajar yang muncul setelah malam
panjang yang gelap. Mungkin karena fajar itulah, ia tampak begitu indah. Tapi
karena fajar itu juga ia hanya sebentar. Sebab baru dua minggu menjabat sebagai
presiden, Jokowi sudah menunjukan sinyal ganjil dari langkah-langkah
kontroversial yang kemudian kerap ia lakukan.
Pertama, ia
membuat Kartu Indonesia Sehat secara tidak transparan. Program yang ia tawarkan
saat kampanye, rupanya ingin ia wujudkan secara cepat, tapi tidak mengikuti
prosedur kebijakan anggaran yang berlaku di Indonesia. Kartu sehat ia buat
tanpa ba bi bu. Seperti lahir dari tangan pesulap, kartu itu muncul begitu
saja. Muncul hanya dua minggu setelah ia dilantik. Banyak yang bertanya, dari
mana dana pembuatan kartu itu? Ada yang mengatakan dari CSR perusahaan, ada yang
mengatakan dari perubahan anggaran 2014. Tapi jika dari CSR perusahaan, apakah
itu dibenarkan? Jika dari APBN perubahan, apakah sudah sesuai prosedur dan
tidak termasuk penyelewengan? Banyak pemimpin-pemimpin daerah yang dijadikan
tersangka korupsi karena anggaran belanja tidak digunakan sesuai APBD yang
sudah disepakati dengan DPRD, bahkan dengan kenyataan bahwa uang itu tidak
diselewengken untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan.
Argumen-argumen
bermunculan untuk menutupi kejanggalan itu. Katanya, perubahan nama dari BPJS
ke KIS adalah wilayah teknis. Dan itu dibolehkan sesuai keputusan Mahkamah
Konstitusi. Hanya saja ada satu pertanyaan yang gagal dijawab oleh Jokowi dan
antek-anteknya. Kapan tender kartu itu dilangsungkan? Bukankah tender harus
diumumkan minimal selama 30 hari setelah proyek diputuskan? Bukankah uang
Negara yang banyak itu, yang digunakan untuk proyek itu, harus melalui tender?
Agar pengawasan dan permintaaan tanggung jawabnya jelas? Tidak jelas memang
berapa uang yang digunakan untuk pengadaan kartu itu. Tapi mengingat luasnya
cakupan kartu, patut diduga bahwa bukan lagi Milyar, tapi Triliun. Bayangkan,
uang sebanyak itu digunakan dengan gegabah! Jika bukan Presiden yang punya
hajat, KPK mungkin langsung sikat.
Blunder
kedua adalah Jokowi menaikan BBM tanpa
peduli dengan harga minyak dunia yang sedang turun. Alasannya, pengalihan
subsidi. Subsidi untuk minyak terlalu besar dan karena itu sayang jika uang 211,9
triliyun itu habis menjadi asap. Mungkin argument ini bisa diterima. Sehingga
menurutku, titik tolak pikiran kritis bukan kenapa BBM naik melainkan kepada
pengalihannya. Apa peningkatan di bidang kesehatan, apa peningkatan di bidang
pendidikan, di bidang pertanian, dan terutama infrastuktur? Jika point-point
ini nyata perubahannya, it’s oke.
Tapi jika tidak, lagi-lagi Jokowi sedang membuat tiang gantungannya sendiri.
Banyak analisis
terkait kenaikan BBM ini (meskipun akhirnya turun lagi). Bahwa dengan menarik
subsidi BBM, pemerintah sedang membiarkan Pertamina tersungkur di rumah sendiri
di hadapan pengusaha minyak dunia. Pertamina bertarung dengan Shell, Petronas,
dan sebagainya. Padahal untuk pertarungan itu BUMN ini belum punya kemampuan
cukup. Minyak yang dia jual, masih di bawah standar. Oleh karena itu, saat
harga yang ditetapkan pemerintah tidak jauh-jauh amat dengan produk luar, sudah
barang tentu masyarakat lebih memilih barang yang lebih bagus meski uang yang
dikeluarkan sedikit lebih banyak. Dan terutama, penaikan BBM ini ibarat membuka
terowongan besar, sebesar-besarnya, untuk pengusaha minyak global ikut
berjualan di Indonesia. Selama ini mereka tidak bisa (atau sulit) masuk karena
minyak Pertamina disubsidi. Biar produk mereka lebih bagus, tapi jika Pertamina
menjual bensin dengan harga yang jauh lebih murah, pengusaha minyak global ini
akan kalah juga. Dan puncak dari kegaduhan ini adalah Pertamina kalah saing,
bangkrut, lalu dijual ke pengusaha asing. Skenario ini bukan tanpa dasar
sejarah. Di masa PDIP berkuasa (Presiden Megawati) berkuasa, Indosat dijual. Dan Jokowi, meski di
masa kampanye berhasil meneguhkan diri tidak disetir Mega atau partai
pendukungnya, saat ia sudah menjadi presiden, sinyal itu bermunculan tanpa bisa
disumbat.
Yang paling kuingat dan kuharapkan dari salah
satu program Jokowi untuk membuat “Indonesia Hebat” adalah pemilihan pejabat
publik yang dilakukan melalui lelang. Program ini penting, mengingat di sanalah
kunci untuk membuat pemerintahan yang sehat. Di masa lalu, pejabat-pejabat ini
dibagi-bagi ke partai pendukung, atau orang dekat lingkaran kekuasaan. Jokowi
datang dan memprogramkan itu. Tak berlebihan jika kupikir Jokowi adalah si
penentang arus, Jokowi adalah jeda yang menghentikan tradisi politik yang tidak
beretika.
Tapi belum ada setengah tahun memprogramkan itu. Jokowi mengangkat
Prasetyo sebagai Jaksa Agung (20 November 2014). Orang yang tidak memiliki prestasi yang menonjol
di kejaksaan. Memang pernah menjadi Jaksa Muda Pidana Umum, tapi biasa-biasa
aja. Dan yang lebih menyakiti perasaan, Prasetyo adalah politisi Nasdem, salah
satu partai yang menyokong Jokowi habis-habisan lewat media nasional yang
dimiliki ketua umum Nasdem Surya Paloh. Sulit untuk tidak menduga bahwa
pemilihan Jaksa Agung ini adalah titipan. Karena itu juga tak bisa dibantah
kenyataan bahwa Jokowi adalah pemimpin biasa, yang disetir, dikendalikan dan
boneka.
Tentu saja, system demokrasi mau tidak mau memang
begitu. “bagi bagi kue” adalah wajar sebab menjadi akibat dari kelaziman
lobi-lobi politik yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Akan tetapi, di masa
lalu, bagi-bagi jatah ini diberikan diam-diam, elegan, dan tidak begitu
menyakiti perasaan. Bahkan SBY, yang dinilai gagal dan buruk dalam memerintah,
sangat hati-hati dan selektif dalam memilih Jaksa Agung. Di era Jokowi,
bagi-bagi kekuasaan itu terkesan brutal dan terang-terangan. Dan parahnya itu
dilakukan setelah ia, dengan segala cara, meyakinkan relawan dan simpatisan
untuk “tidak akan melakukan bagi-bagi kekuasaan”. Menurutnya, ekses sistem
demokrasi itu tidak etis, harus diubah sebab akan memenjara siapapun yang
menduduki posisi tertinggi di pemerintahan. Dan yang paling fatal, bagi-bagi
kue itu akan memunculkan berbagai kebijakan yang mengabdi pada partai dan
golongan, dan tidak berpihak pada rakyat.
Masalah Jaksa Agung belum reda, tapi kebrutalan
seolah mesti jalan terus! Kali ini tentang Kapolri. Proses pemilihan ketua kapolri yang dilakuan Jokowi tidak transparan
dan kuat terkesan pesanan Mega, bukan atas dasar prestasi. Bukan atas dasar integritas
si calon. Budi Gunawan, meski Jokowi sudah mendapat peringatan dari PPATK sebab
memiliki potensi korup, tetap dicalonkan oleh Jokowi! Orang yang konon berupaya
mewujudkan good governance itu. Alhasil Jokowi ditampar—mungkin diludahi—oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehari setelah nama BG diberikan ke DPR untuk
dilakukan fit and proper test, calon
tunggal Kapolri usungan Jokowi itu dijadikan tersangka kasus suap oleh KPK. Dan
KPK, sekali menjadikan seseorang sebagai tersangka, tidak akan melepas orang
itu. Artinya, status itu diberikan kepada siapapun, selalu dan selalu, setelah
KPK menemukan dua bukti kuat. KPK tidak sembarangan. Karena itulah,
orang yang menjadi tersangka, seolah sudah pasti akan menjadi terdakwa dan
terpidana. Penetapan status tersangka itu mungkin tidak pada moment yang tepat.
Mungkin terkesan buru-buru dan kejar tayang hingga diasumsikan memiliki tujuan
politis. Akan tetapi, apa yang public tahu, apa yang publik rasakan terlanjur
diketahui dan dirasakan. Rasa kecewa itu bukan alang kepalang. Dan politik
selamanya tentang persepsi publik. Jokowi menjadi presiden sekarang pun
sejatinya karena persepsi itu.
Saat Jokowi menaikan BBM ketika harga minyak dunia
mengalami penurunan, aku masih memiliki ruang prasangka baik. Mungkin dia melakukan itu benar-benar untuk kemajuan negeri; untuk pendidikan, kesehatan dan infrastrukur.Tapi saat
pemilihan orang-orang no 1 di kejaksaan dan kepolisian begitu brutal, aku tidak
punya lagi ruang itu. Ini jelas tidak benar. Aku telah mendukung dan berharap
pada orang yang salah!
"Hi!..
BalasHapusGreetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Aktual
sama-sama sob ..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMas..tulisannya bagus, mungkin perlu di update dengan situasi terkini
BalasHapusMas..tulisannya bagus, mungkin perlu di update dengan situasi terkini
BalasHapus