Seperti Dendam Rindu Harus Disate


Seperti rindu dendam harus dibayar tuntas, kata Eka Kurniawan. Sayangnya, pemenuhan dendam tidak pernah menemukan kata puas. Sekalipun itu sudah lunas.

Setidaknya, itulah yang kuhadapi dengan dendamku pada sate kambing. Ya, sate kambing. Daging kambing kecil-kecil yang ditusuk kemudian dibakar itu. Aku tidak pernah puas dengan sate kambing. Jika tidak ada ketakutan pada kolesterol yang ditandai dengan sensasi kleyeng-kleyeng, setiap hari mungkin aku memakannya.

Orang-orang boleh mengejar imajinasinya tentang makanan enak berdasarkan situasiya. Mereka bisa bilang bahwa karena hari ini gerimis, enaknya makan mie ayam. Karena sekarang panas cocoknya makan stik. Karena hujan deras nikmatnya makan sop iga. Orang boleh mengikuti imajinasinya sampai mana pun. 

Sementara aku, hanya sate kambing. Satu-satunya makanan yang mewakili definisi “makan enak” dalam pandanganku. Tidak ada lain. Hujan, gerimis, panas, siang ataupun malam, ketika muncul pembahasan mengenai apa itu makan enak, satu-satunya jawaban yang kumiliki karena hanya itu yang pantas adalah sate kambing.

Kenapa sate kambing begitu istimewa? Sudah pasti karena rasanya memang enak. Namun, ini tidak hanya soal rasa. Sebab kalau semata soal rasa bakso juga enak, stik tak kalah enak, seafood begitu juga. Enak semua. Lalu kenapa? Begini ceritanya.

Pada suatu hari saat masih tinggal di basecamp komunitas bersama seorang kawan, aku dan kawanku tidak punya uang sama sekali. Uang terakhir kami tandas buat sarapan dua biji roti dan rokok surya 6 batang. Biasanya, dalam keadaan terbokek sekalipun, selalu saja ada rezeki tak terduga. Ada kawan lain yang tiba-tiba berkunjung misalnya. Atau ada kawan yang menghubungi dan mengajak ketemu di warung kopi. Ketemu di warung kopi artinya rokok-kopi-makan—minimal camilan—gratis.

Namun hari itu tidak ada apa-apa. Tidak ada ajakan. Tidak ada kawan yang tiba-tiba berkunjung. Perut karenanya betul-betul kosong melompong. Isinya hanya air putih dan kopi karena bolak balik diisi minuman itu melulu. Azan duhur sudah lewat. Rokok sudah pasti habis. Terang di langit tidak sejalan dengan gelapnya perut kami.

Saat Asar lewat, kami tahu bahwa harapan pada saat itu adalah barang berbahaya. Telat makan membuat lambungmu terluka, jangan sampai coba-coba bikin hatimu terluka juga dengan berharap. Maka, tidak sedikit pun kami berharap tenggorokan kami dilewati makanan di hari itu.

Namun, harapan untuk itu tidak bisa kami lawan lagi, dan kami tidak peduli lagi. Kami rengkuh harapan itu kuat-kuat. Kami sesap sari-sarinya dalam-dalam. Kami tak mampu lagi mengubur harapan ketika pintu basecamp diketuk setelah sebelumnya terdengar bunyi sepeda motor yang diparkir di halaman. Lalu sosok yang diharapkan menjadi malaikat itu menyapa kami sewajarnya. Dia adalah senior kami, dan karena dia perempuan, pastilah dia memiliki kemampuan mengatur keuangan yang jauh lebih bijaksana dari kami. Dia mesti selalu memegang uang biar pun sedikit. Aku dan kawanku memang tidak terlalu dekat dengan senior yang ini. Tapi, dalam keadaan seperti itu, orang yang tidak begitu dekat pun layak diharapkan.

Basecamp itu memang tempat segala macam. Kadang orang dari komunitas kami datang untuk sekadar tidur, ada juga yang datang untuk cari suasana baru saat bikin skripsi. Tidak melulu harus melakukan kegiatan yang berkaitan dengan komunitas. Maka, ketika malaikat penyelamat kami langsung ndeprok di lantai khusuk dengan laptopnya alih-alih menanyakan kabar kami, itu merupakan hal yang normal. Waktunya akan tiba, kataku dalam hati—aku yakin kawanku itu juga berfikir sama.

Lalu datanglah waktu magrib. Perut kami masih melompong. Namun rasa lapar yang menagih-nagih makanan sepertinya sudah naik level menjadi kelewat lapar. Kami merasakan rasa lapar yang aneh. Mungkin bukan lapar juga tapi entah apa. Yang pasti badan kami tidak bertenaga. Tidak ada mood buat mengerjakan apa pun. Bibir kami rasanya pahit. Kami tersenyum saat senior kami bertanya sesuatu, seolah semua baik-baik saja.

Puncak harapan kami terjadi setelah salat maghrib. Lewatlah di depan basecamp kami pedagang sate ayam. Senior kami menghentikan tukang sate itu. Bukan main senangnya hati kami saat melihat peristiwa tersebut. Waktunya tiba! Saatnya buka puasa!! Inilah saatnya! Pekik hatiku, dan aku yakin demikian halnya kawanku.

Senior kami memesan sate. Lalu dia bertanya kepada kami sudah pada makan atau belum. Kami menjawab mendekati geremeng karena bercampurnya situasi cengengesan malu-malu dan memelas. Namun, paduan dari semua itu sejelas bulan purnama sebetulnya, bahwa kami belum makan, sangat lapar, begitu laparnya hingga kami malu mengakuinya.

Aroma sate memenuhi hidung kami. Bunyi kipas bambu berkibar-kibar terdengar begitu merdu. Lalu asap membubung membentuk siluet putih seperti kain menggantung tertiup angin. Bara yang terbakar memberi nuansa merah di malam yang bertambah gelap.

Lihat, kataku dalam hati. Kesabaran selalu menuai hasil. Dari pagi sampai detik ini aku mengalami tanjakan, dan di depan, sekejap lagi, akan kutemukan turunan. Begitulah kehidupan. Begitulah harga yang harus dibayar untuk suatu kenikmatan. Kau tidak akan menghargai sesuatu yang kau dapat dengan mudah. Sate ini datang pada waktunya, sebagai balasan untukmu yang telah mengalami hari yang berat.

Namun, terjadilah hal yang tidak bisa dijelaskan itu. Hal yang di luar nalar itu. Hal yang tidak kami duga. Sama sekali tidak kami duga. Sate yang diantarkan si tukang sate hanya satu porsi. Senior kami hanya memesan sate untuk dirinya sendiri!!

Langit harapan kami runtuh tiba-tiba.

Kami menelan ludah. Dan entah kenapa suasana antara Magrib dan Isya ketika itu begitu sunyi. Tidak ada kendaraan yang lewat. Tidak ada hiruk pikuk di jalanan. Sunyi sepi begitu rupa. Maka aku bisa mendengar bunyi gerakan mulut seniorku saat giginya berusaha mencabik-cabik daging sate. Di sela-selanya bahkan terdengar bunyi “clep…clep..clep”.

Maka sejak saat itu aku dendam dengan sate. Ketika aku punya uang, aku beli sate. Ketika ingin makan enak, aku beli sate. Meskipun pada mulanya hanya sate ayam. Lalu ketika suatu hari aku mencoba sate kambing, yang ternyata rasanya jauh-jauh lebih dahsyat dari pada sate ayam, dan didukung oleh keadaan ekonomiku yang membaik, jadilah sate kambing sebagai puncak makanan ternikmat menurutku.

Komentar