Cinta selalu
punya cara untuk menunjukan dirinya, untuk dipahami sekaligus memahami.
Terkadang lewat cara-cara yang masuk akal, kerap kali dengan cara irasional.
Cinta itu sendiri irasional, bukan sejenis perhitungan dalam pikiran matematis.
Seseorang boleh menyukai kepintaran seorang lain, boleh menyenangi kebaikan dan
apapun keistimewaan yang membuat orang itu tampak sempurna. Dan mungkin, untuk
seorang tokoh pujaan, entah ilmuwan ataupun negarawan, itu lebih dari
cukup. Tapi untuk cinta, itu bukan
jaminan. Cinta lebih misterius dari apapun yang disangka orang sebagai
misterius. Hanya saja, selalu ada saat ketika semua yang irasional menjadi
jelas dan masuk akal. Tatkala cinta diakui, lantas dibenarkan, ia menjadi
penjelas yang lebih menjelaskan dari apapun yang disangka orang pandai memberi
penjelasan. Ada tanda titik yang tidak bisa diterobos ketika berbagai
pertanyaan tentang segala keanehan dan kegelisahan dikatakan, “... itu karena
cinta.”
Cinta selalu punya
cara untuk menunjukan dirinya, untuk dipahami sekaligus meahami. Bagi seorang
Jhon Nash, matematikawan jenius dalam film Beautiful Mind, cinta baru
dapat ia pahami setelah melalui pencarian panjang, melewati alam rasional,
metafisik, dan kegilaan. Setelah melampaui semua itu ia pada akhirnya percaya,
dan membenarkan bahwa ada yang tidak bisa dihitung, juga tidak bisa diprediksi,
tapi mampu memberikan ketenangan dan rasa aman melebihi apapun. Cinta. Dan
dengan satu kata ini, hanya satu kata ini, ia mendapat penjelasan gamblang.
Pencariannya pun seketika usai. Ia menerima cinta dengan segala
kemisteriusannya sekaligus kegamblangannya.
Akan halnya yang
terjadi pada Jhon Nash, Melvin Udall pun akhirnya mengakui dan membenarkan
cinta. Melvin Udall, seorang penulis yang mengidap Gangguan Obsesif Kompulsif
(Obsesif Compulsive Disorder), adalah monumen hidup kejengkelan orang-orang di
sekitarnya. Kecemasan berlebihan terhadap segala hal ditambah ketidakmampuannya
mengontrol dorongan-dorongan yang ada di kepalanya membuat setiap orang yang
ada di sekitarnya jengkel. Amat jengkel. Bahkan kepada penggemarnya, yang
jelas-jelas terinspirasi oleh karya-karyanya, ia tak kagok membuatnya patah. Si Penggemar yang perempuan itu
penasaran bagaimana Melvin bisa menggambarkan sosok perempuan dengan sangat
mengena. Begitu tepat hingga si Penggemar seolah bercermin dan dipahami oleh
orang yang belum sekalipun bertemu dengannya. Tapi Melvin, seolah terobsesi
untuk mematahkan hati setiap orang, berkata, “aku membayangkan laki-laki,
tapi menghilangkan akal dan tanggung jawabnya.” Lantas Melvin pergi begitu saja ke dalam lift
tanpa memedulikan reaksi si Penggemar. Begitulah Melvin.
Kenyataan bahwa
ia adalah raja untuk urusan menyakiti perasaan orang saja sebenarnya sudah
cukup untuk membuatnya dijauhi. Dan ini masih ditambah oleh kecemasannya yang
berlebihan. Ia mengunci pintu rumahnya, selalu, sebanyak empat kali. Dan ia
menghitungnya untuk memastikan, seolah takut dikhianati pikiran dan tangannya
sendiri. Ia mencuci tangannya dengan sabun, sekali cuci tangan ia menghabiskan
lebih dari empat sabun. Ia tidak masuk ke ruangan yang tidak dikenalnya. Ia
tidak keluar rumah, kecuali perlu-perlu amat. Karena dengan keluar rumah ia
akan melewati jalan yang tidak bisa dipastikan kesterilannya. Ia juga akan bertemu
orang-orang. Berpapasan dengan banyak orang. Lalu jika trotoar penuh, ia
mungkin akan bersenggolan dengan orang-orang. Dan itulah yang tidak ia
inginkan. Ia takut terkena kuman. Praktis, satu-satunya tempat yang membuatnya
nyaman hanya apartemennya. Dengan sendirinya ia tidak punya teman, bahkan
kenalan, di luar hubungan profesionalnya sebagai penulis dan klien psikiater.
Salah satu
keadaan yang memakasanya keluar rumah adalah makan di restoran yang tidak jauh
dari apartemennya. Bukan karena menunya cocok, enak ataupun suasananya, tapi
karena ia senang dilayani oleh pramusaji bernama Carol. Hanya Carol. Ia bahkan
mau menunggu duduk sekian lama hanya untuk dilayani perempuan itu. Carol yang
tahu bahwa Melvin menjengkelkan, tentu saja memperlakukannya dengan buruk. Ia
menjadikannya sebagai pelanggan yang terakhir dilayani. Ketika pesanan siap,
tak jarang Carol menahannya terlebih dulu dan baru mengantarkannya ketika sudah
dingin. Tapi Melvin, tanpa tahu alasan persisnya, selalu percaya pada Carol. Ia
hanya makan jika Carol yang mengantarkan. Meski tentu saja ia cemas dengan
kebersihan sendok dan garpu restoran, hingga selalu membawa sendok garpu
sendiri yang terbuat dari plastik.
Bahkan untuk
orang seperti Melvin cinta menunjukan dirinya, meski, tentu saja, direspon
olehnya dengan cara yang tidak wajar. Ketika ia akhirnya mendapatkan momentum makan
malam dengan Carol di sebuah tempat yang mengharuskan pengunjung memakai jas
dan dasi, kalimat pertama yang ia ucapkan saat berhadapan dengan Carol adalah,
“Tempat ini aneh. Mereka memaksaku membeli jas dan dasi, tapi membiarkanmu
memakai pakaian rumahan.” Ia tidak memuji Carol layaknya pasangan berkencan.
Padahal untuk duduk di tempat itu ia terlebih dulu harus mencari toko pakaian
untuk membeli jas dan dasi. Ia mengeluarkan uang banyak. Meski restoran itu
menyediakan jas dan dasi untuk konsumen yang tidak memenuhi syarat penampilan, tapi
tentu saja Melvin ogah. Seperti biasanya, Melvin cemas dengan kuman.
Ketidakwajaran
tampak lagi dalam cara Melvin memuji Carol. Katanya, “Dokter terapisku
memberiku pil yang katanya bisa menyembuhkan penyakitku. Tapi aku tidak
meminumnya. Aku benci pil. Aku benci. Tapi setelah kau datang malam itu,
berkata, ‘takkan pernah, aku takkan pernah ... (baca; berhubungan sex denganmu;
Malvin),’ pagi hari setelah aku bangun, aku minum pil itu.” Carol heran,
“Apakah menurutmu itu pujian untukku?” “Kau membuatku ingin
menjadi orang yang lebih baik,” jawab Melvin.
Di luar Gangguan
Obsesif Kompulsif, Melvin barangkali hanyalah orang yang kaku dan tidak tahu
adat pergaulan. Hanya itu. Ia tidak memiliki benih jahat. Sebaliknya, jauh di
dalam dirinya ada cinta yang mengilat-ngilat seperti permata yang mengagumkan.
Melvin sedih bukan kepalang gara-gara anjing yang dititipkan tetangganya selama
berminggu-minggu diambil oleh si empunya. Dia terlanjur dekat dengan anjing
itu. Dia juga membiayai pengobatan Spencer, anak Carol, yang sakit asma. Dan
itu ia lakukan, pada awalnya, hanya agar Carol kembali bekerja dan mengantarkan
pesanannya di restoran. Ia pun membantu Simon tetangganya yang gay dan pelukis
yang seolah dibencinya itu saat si tetangga brangkut dan terluka secara fisik.
Ia mengatar Simon ke Baltimor, menemui orang tuanya. Ia membagi apartemennya,
dan bahkan menyelamatkan karya-karya lukisan Simon.
Jack Nicholson,
aktor yang memerankan Melvin, sudah barang tentu amat pas secara penampilan untuk
memerankan orang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif. Ia mempunyai suara
berat, tatapan mata dan senyum sinis, serta gerak responsif yang unik. Boleh
jadi itu akibat penjiwaan, tapi jika melihat karakter-karakter lain yang
dibintangi Jack Nicholson, barangkali, hal itu lebih dari sekadar penjiwaan.
Memang, karena Jack Nicholson inilah cerita cinta yang rawan terjatuh pada
klise itu menjadi istimewa. Kian sempurna ketika Jack diduetkan dengan Helen
Hunt, aktris senior yang memiliki bakat alami. Keduanya berhasil saling
mengisi, saling melengkapi. Wajar jika
dalam film ini Jack dan Helent menyabet piala Oscar untuk kategori aktor dan
aktris utama terbaik.
Data Film:
Title: As Good as It Gets (1997)
Director: James L. Brooks
Writers: Mark Andrus (story)
Rating Imdb:7.8
Komentar
Posting Komentar