Drama Anak

Menunggu Kartini
____________________________________________________________________________________________
Pemain: Nisa (manja—anak SD, kurang kasih sayang, emosi belum stabil).
Bu Guru (penyayang, sabar, murah senyum dan energik).
Bunda (perempuan aktif dan sebenarnya penyayang).
Fitri (selayaknya anak SD).
Murid I, Murid II, Murid III (agak suka usil, maklum anak SD)
beberapa murid lain (terlebih dulu lakukan koordinasi, agar mampu melibatkan penonton sebanyak mungkin).
Properti: perangkat ruang kelas, 3 buah boneka.  

(Sumber Lukisan: http://sdmuhcc-yogya.sch.id/)
_________________________________________________________________________________________________
Babak I:
Di sebuah ruang kelas Sekolah Dasar [untuk menyiasati ruang kelas, aktris-aktris yang berperan sebagai para murid—termasuk Nisa dan Fitri—berbaur dengan penonton. Bu Guru karenanya dapat menganggap penonton sebagai siswa-siswinya.

Bu Guru: [menutup pelajaran] Demikianlah anak-anak, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sangat kaya. Dan tentu saja sangat mudah hingga bisa digunakan siapa saja termasuk oleh kalian. Asalkan ,,, [bu guru mengambil jeda, tersenyum, ingin perkataannya dilanjutkan murid-muridnya], ayo, asalkan apa? Asalkan ,,,
Bu Guru dan Murid-murid: [kompak] mau berlatih dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bu Guru: Pintar … tapi harus diingat juga, agar kita tidak kekurangan perbendaharaan kata, kita harus … [bu guru mengambil jeda lagi]
Murid-murid: [kompak] rajin membaca!
Bu Guru: Pintar … [mengambil jeda]. Nah, sekarang, sebelum ibu tutup, ibu ingin bertanya tentang tugas minggu lalu, bagaimana, sudah selesai dikerjakan?
Anak-anak: [kompak] Sudah, Bu.
Bu Guru: bagus, ibu bangga dengan kalian. Sekarang … siapa yang ingin maju ke depan untuk membacakan karyanya?
[murid-murid diam]
Bu Guru: Ayo, siapa yang ingin karyanya didengar temen-temennya?
[murid-murid diam].
Bu Guru: Yang pasti, ibu sudah nyiapin hadiah buat dua orang yang mau membacakan karyanya.
[murid-murid diam]
Bu Guru: [mengeluarkan dua buah bros, lalu bertanya] Siapa yah, dua orang yang beruntung membawa pulang bros cantik ini?
Dua orang murid: [bareng] saya, Bu!
Bu Guru: ah, Nisa dan Fitri. Ayo sayang, maju ke depan.
[Nisa dan Fitri maju ke panggung—dari arah penonton].
Bu Guru: [Fitri dan Rina masih berjalan, belum sampai ke panggung] Duh, cantiknya anak-anak ibu.
[Rina dan Fitri sudah naik ke panggung].   
Bu Guru: [berlagak seperti MC], baiklah para hadirin, dengan bangga kami panggil saudari Safitri Sri Astuti, untuk membacakan karya puisinya, dengan judul; [bertanya pada Fitri]; judulnya apa sayang?
Fitri: Pada Hari Minggu, Bu.
Bu Guru: Dengan judul, Pada Hari Minggu. Selamat mendengarkan.
[Fitri berjalan beberapa langkah ke depan, lalu membacakan puisinya—untuk pembacaan puisi ini, aktris boleh sambil membaca naskah].
Pesan Ibu:
Teringat pesan ibu di hari minggu
Saat aku duduk di teras rumah
Menunggu ibu dari warung pak Karno.
Sayang, kamu ingin dimasakin apa?
Aku tidak menjawab, diam
Sayang, kamu mau apa?
Aku masih diam, tak menjawab
Dan ibu bosan bertanya
Saat duduk di teras rumah itu
Aku tak menjawab ingin sarapan apa
Aku hanya bicara pada ibu
Aku ingin belaian kasih sayang ibu
sepanjang waktu
Aku ingin belaian kasih sayang ibu
sampai Nenek menjemputku.
 
Bu Guru: Bagus sekali, bagus sekali, ayo, tepuk tangan buat Fitri.
[murid-murid tepuk tangan].
Bu Guru: [setelah tepuk tangan berhenti, bu guru berlagak menjadi MC lagi]. Demikianlah penampilan yang bagus dari saudari Safitri Sri Astuti. Adapun penampilan berikutnya akan dipersilakan kepada Annisa Munawarah dengan puisi berjudul “Ibuku” [ketika Fitri membaca puisinya, Bu guru memperlihatkan gerak-gerak menanyakan judul puisi yang dibuat Annisa]. Selamat mendengarkan.
Ibuku
Ibuku wanita hebat
Setiap pagi ibu pergi ke kantor untuk mencari uang
Setiap berangkat
Ibu selalu bilang
Nduk, kamu mau dibawain oleh-oleh apa?
Dan aku meminta sebuah boneka kucing
warnanya belang-belang
Besoknya Ibu bilang lagi
nduk, kamu mau oleh-oleh apa?
Dan aku meminta boneka Barbie
bajunya berwarna merah muda
boneka itu cantik sekali, seperti ibu
dan hari berikutnya ibu bilang lagi
Nduk, kamu mau dibawain apa hari ini?
Dan aku meminta Spongebob—entah kenapa aku suka Spongebob
Setiap hari ibu bertanya dibawain apa
Setiap hari pula aku mendapatkan boneka
Kadang-kadang baju baru
Kadang-kadang sepeda
Kadang-kadang rumah-rumahan
Apapun yang kuminta
Selalu dibawakan ibu
Selalu kulihat ketika bangun pagi
Kadang sudah ada di atas kasur
Kadang diantarkan Mbok Darmi pembantu kami.

(Sumber Lukisan: http://sdmuhcc-yogya.sch.id/)
Bu Guru: [bicara pada Nisa] Puisimu bagus sekali, Sayang … [bicara pada penonton]. Tepuk tangan buat Nisa.
[murid-murid tepuk tangan. Nisa dan Fitri masih berdiri di depan. Setelah tepuk tangan mereda … ]
Bu Guru: Nah, kalau tugas minggu lalu membuat puisi bertema ibu, buat minggu depan, ibu menugaskan kalian untuk membuat puisi bertemakan Ibu Kartini. Ada yang tahu siapa Ibu Kartini?
Murid I (sebaiknya murid laki-laki): Saya Bu !! [nada mengejek] Ibu Kartini itu kan ibunya Nisa. Cantik dan menor, lho, hahahaha … [murid-murid lain ikut tertawa. Nisa langsung tertunduk]
Bu Guru: Riko sayang [kalau aktornya perempuan, namanya disesuaikan], ucapan seperti itu tak pantas diucapkan anak seumuranmu. Jangan diulangi, ya.
Murid II: [langsung menimpali] Tapi bener kok, Bu … Tante Kartini itu cantik dan menor seperti yang Riko bilang. Saya sering melihat Tante Kar di rumah saya. Tante teman arisan ibu saya.
Murid III: [langsung menimpali]. Iya benar …
Murid murid lain: (riuh, saling berbisik pada teman di sampingnya.) “benar ya”, “benar kok”, “benar”, “benar”.
Murid III: Saya pernah bertemu Tante Kar di jalan waktu … [langsung dipotong Bu Guru]      
Bu Guru: Sudah-sudah … Ibu tak ingin mendengar kata-kata seperti itu lagi di kelas ini. Kejadian ini harus menjadi yang pertama dan terakhir … Bagaimana, apakah kalian sependapat dengan ibu?
Murid-murid: [serempak] iya, Bu. 
Bu Guru: Baguslah, sekarang akan Ibu beritahukan siapa ibu Kartini. Kalian semua dengarkan ibu baik-baik, ya … ibu Kartini adalah pejuang perempuan. Ia seorang pahlawan. Ibu bisa bertemu kalian di kelas ini, mengajari kalian Bahasa Indonesia, salah satunya karena jasa Beliau. Jasa-jasanya bagi bangsa ini sangat besar, terutama buat kaum perempuan. Perempuan di masa kini, belum tentu bisa menikmati pendidikan seperti sekarang kalau tidak ada Ibu Kartini. Apa kalian paham?
Murid-murid: paham, bu.
Bu Guru: Bagus (mengambil jeda). Sementara ini, itu saja yang perlu kalian ketahui. Pada intinya, Ibu Kartini adalah perempuan yang sangat berjasa. Dan minggu depan, Ibu ingin agar kalian membuat puisi tentang Ibu Kartini. Karena waktu telah habis, sekarang, mari kita tutup pertemuan hari ini dengan do’a bersama-sama.
(Fitri kembali ke tempat duduknya untuk kemudian pulang. Nisa terlihat sedih. Ia hendak pulang—berjalan ke arah penonton—tapi dipanggil bu guru).
Bu Guru: Nis
Nisa: Iya, Bu.
Bu Guru: Kamu gak apa-apa kan, Sayang?
Nisa: enggak, Bu. Nisa gak apa-apa.
Bu Guru: Salam buat Bunda, ya.
Nisa: iya, Bu, nanti kalau ketemu Nisa sampaikan.
Bu Guru: kok kalau ketemu, sayang?
Nisa: Anu, Bu … maksud Nisa, kalau Bunda sudah pulang dari kantor dan Nisa belum bobok.
Bu Guru: Oh, begitu. [paham situasi Nisa, bernada sedih]. Ya sudah, hati-hati di jalan, ya kalau pulang.
Nisa: Iya, Bu.
[Bu Guru dan Nisa meninggalkan panggung, lampu panggung mati—kalo bisa, kalo gak bisa gak soal].

Babak II.
Di atas panggung (rumah Nisa), Nisa sedang bermain dengan dua bonekanya. Dia melakonkan dua boneka itu, seakan-akan menjadi dua wayang.
 (Sumber Lukisan: http://sdmuhcc-yogya.sch.id/)
Boneka I—di tangan kiri Nisa: Nama kamu siapa?
Boneka II—di tangan kanan Nisa: Namaku Momo (nama bisa disesuaikan), kamu?
Boneka I: Namaku Dino. Kamu terlihat sedih, kenapa?
Boneka II: Mbok Darmi sedang pergi ke pasar, di rumah gak ada orang.
Boneka I: Kamu mau kutemani?
Boneka II: Kamu mau jadi temanku?
Boneka I: he’em … aku mau jadi temanmu.
Boneka II: Asyik, aku punya teman.
[setelah itu, Bu Kartini naik ke panggung—dengan pakaian kantor. Ia membawa boneka baru buat Nisa, memperhatikan tingkah laku putrinya tapi Nisa tetap sibuk dengan dua bonekanya].
Boneka I: Kalau kita teman, enaknya main apa, ya?
Boneka II: Bagaimana kalau main tebak-tebakan?
Boneka I: Ayo! Tapi kamu duluan, ya ...
Boneka II: Iya dah … begini, nanti sore Mbok Darmi masak apa?
Boneka I: Masak sayur bayam sama telur dadar.
Boneka II: Wah, pinter.
Boneka I: Sekarang gantian aku. Kira-kira, hari ini Bunda pulang jam berapa?
Boneka II: Pertanyaanmu susah sekali. Ganti pertanyaan lain deh …
[Ibu Kartini yang sejak tadi memperhatikan, langsung menimpali)
Bunda: Bunda sudah pulang, sayang … nih, Bunda bawain boneka baru, baguskan?!
Nisa: [melepaskan dua bonekanya, langsung memeluk Bunda). Bunda …
Bunda: Kamu suka bonekanya Sayang?
Nisa: [masih berpelukan, Nisa menjawab agak ketus] Suka, bonekanya bagus.
Bunda: Hari ini Bunda sengaja pulang cepat buat kamu. Bunda ingin masak makanan yang enak buat kamu.
Nisa: [girang, melepaskan pelukan] Benarkah?
Bunda: iya Sayang.
Nisa: Asyik, Masak apa, Bun?
Bunda: Rahasia, yang jelas enak.
Nisa: Ah, Bunda … [Bunda hanya senyum]. Apakah ayah ikut makan bersama kita?
Bunda: Tidak, Sayang, Ayah kan masih di luar kota. Tapi kamu gak usah sedih, di sini ada Bunda. [Bunda mengalihkan pembicaraan] Oh, ya, bagaimana sekolah kamu? Baik-baik saja kan?
[Nisa langsung cemberut, roman mukanya berubah drastis]
Nisa: teman-teman Nisa jahat.
Bunda: Jahat kenapa Sayang?
Nisa: Nisa diolok-olok.
Bunda: diolok-olok bagaimana?
Nisa: Nisa diolok-olok karena Bunda bernama Kartini.
Bunda: [jeda sejenak, meski bingung dengan apa yang terjadi tapi Bunda berusaha menenangkan Nisa] hal seperti itu tak perlu diperhatikan, Sayang. Itu tandanya, teman-temanmu suka sama kamu. Makanya mereka menggoda kamu.
Nisa: [kesal] Tapi kenapa juga Bunda harus bernama Kartini? Kenapa gak pakai nama-nama yang lain? Kalau Bunda bukan Kartini, mungkin Nisa gak bakal disoraki temen-temen. 
Bunda:  Sayang , , , kamu mungkin terlalu capek, istrahat dulu, yah …
Nisa: Gak mau, Bunda harus ceritakan dulu kenapa Bunda bernama Kartini.
Bunda: Baiklah, akan Bunda ceritakan … tapi habis ini kamu bobok siang, ya …(Nisa hanya mengangguk. Bunda mengambil jeda) … Nama Kartini yang Bunda pakai ini wasiat dari buyutmu, Sayang … Dulu, buyutmu itu teman seperjuangan Ibu Kartini. Pejuang perempuan itu, lho. Ia sangat mengaguminya. Ia ingin agar keturunannya bisa mengikuti jejak Kartini, menjadi seorang Kartini. Oleh karena itu ia berpesan pada kakekmu untuk menamakan anak perempuannnya dengan nama Kartini. Kebetulan, Bunda ini anak perempuan kakekmu satu-satunya.
Nisa: Apakah sekarang Bunda sudah menjadi Kartini?
Bunda: Menurutmu bagaimana?
Nisa: Nisa gak tahu, Bun …
[keduanya diam, hening]
Nisa:Tapi.
Bunda: Tapi apa, Sayang?
Nisa: kalau menjadi Kartini berarti Bunda harus pulang ke rumah ketika Nisa sudah bobok, Nisa gak mau Bunda menjadi Kartini, Nisa ingin sering bersama Bunda. Nisa bosen main sama boneka, Nisa ingin main sama Bunda.
[keduanya diam lagi, hening lagi, sibuk dengan pikiran masing-masing].
Tak lama kemudian, Ponsel di dalam tas Bunda berbunyi. Bunda mengangkatnya, pergi mengambil jarak dari Nisa.
Bunda: [bicara di ponsel] “iya, Pak … iya … data-data transaksi terbaru memang saya yang bawa, Iya, pak … iya … saya ke kantor sekarang.
[Bunda bingung bagaimana memberi penjelasan pada Nisa)
Nisa: Bunda pergi lagi?
Bunda: Iya, Sayang … maafkan Bunda ya, tapi Bunda janji, setelah rapat di kantor selesai, Bunda langsung pulang. Sekarang Nisa Bobok, ya … ayo, Bunda antar ke kamar.
[Keduanya meninggalkan panggung—lampu padam]

Babak III.
Di ruang kelas lagi. [ketika lampu terang, Bu Guru langsung berbicara—kalau tidak memungkinkan gak apa-apa].

Bu Guru: Fitri sudah dapat komik, Ani sudah dapat bolpen, Riko [nama-nama ini bisa disesuaikan] sudah dapat kaos kaki bergambar kelinci, tapi ibu masih punya satu hadiah lagi. Dan hadiah ini sangat bagus. Ada yang mau? Ada yang ingin membacakan puisinya lagi? Nisa, kamu mau membacakan puisimu, Sayang?
[Nisa agak ragu, menoleh kanan kiri].
Bu Guru: Sayang, kamu mau membacakan puisimu?                 
Nisa: [tidak bersemangat] Baik, Bu.
Bu Guru: Nah, itu baru anak ibu yang cantik.
[Nisa naik ke panggung]
Bu Guru: [berlagak seperti MC] Hadirin yang terhormat, dengan bangga kami persembahkan sebuah pementasan puisi karya Annisa Munawarah, dengan judul … [bertanya pada Nisa], judulnya apa sayang?
Nisa: Menunggu Ibu Kartini, Bu.
Bu Guru: … dengan judul, “Menunggu Ibu Kartini” selamat menyaksikan.

Menunggu Kartini
Karena Aku menunggu Ibu Kartini
Aku akan tetap di sini;
 Ibu Kartini belum pulang
Tapi sebentar lagi ia pasti datang

Karena aku menunggu Ibu Kartini
Aku tak akan tertidur lagi
Sebab aku ditemani Momo dan Dino
Dan Mbok Darmi membuatkan nasi, sayur bayam
Dan dadar telur
enak sekali dadar telur itu
nikmat sekali sayur bayam itu

karena aku menunggu Ibu Kartini
aku menulis puisi ini
sebab ia telah berjanji
untuk pulang secepat pergi.   
  

        SELESAI.
      
                        
      

                                           




      
     
           
      

Komentar