Dear:
Tanah
airku pernah digemparkan peristiwa
tertangkap tangannya Akil Mochtar, ketua MK, saat hendak melakukan transaksi
suap di rumah dinasnya. Peristiwa ini menggemparkan karena MK, selain menjadi
pintu terakhir hukum di Indonesia, terlanjur dipercayai sebagai lembaga
peradilan yang bersih. Jika ada contoh baik tentang bagaimana sebuah lembaga
peradilan dijalankan, dibangun dan dibesarkan, setiap pengajar di negeri ini,
entah guru entah dosen, pasti akan mencontohkan MK. Lembaga ini adalah harapan.
Oase di lautan padang pasir sinisme masyarakat terhadap lembaga peradilan di
Indonesia. Dan kini MK runtuh. Harapan itu tertiup angin.
Berita-berita tentang MK dikupas di
sana-sini, sejak suap hingga ganja,
bahkan
sidang majelis kehormatannya dilangsungkan secara terbuka, live, ekslusif
disiarkan ke seluruh penjuru Indonesia! MK menjadi tranding topik. Masyarakat
tertarik mengetahui setiap detail yang terjadi, menyimak setiap opini, mengutip
pendapat para ahli saat memperbincangkannya dan sebagainya. Semua seolah
peduli, harus peduli, atau dituntut menularkan kepedulian kepada orang yang
belum peduli.
Tapi kita tahu sampai kapan cerita MK ini menjadi
berlian. Sudah tidak asing di negeriku tercinta ini, berlian cepat muncul
cepat pula sirna.
Apa yang menjadi berlian hari ini, tiba-tiba menjadi kotoran esok hari. Tinggal
menunggu satu peristiwa lain untuk menggantikan MK sebagai primadona. Dan
peristiwa itu, lucunya, tak perlu segempar, atau semencengangkan peristiwa
sebelumnya. Terutama saat penonton bosan sebab tiap hari dijejali berita yang
sama, bahkan peristiwa seorang megalomania
macam Vicki saja bisa menjadi berlian media. Dan penonton selamanya kerbau yang
dikocok hidungnya. Luar biasa!
Padahal siapa Vicki, apa untungnya tahu dia, apa
ruginya jika tidak tahu. Tapi mereka ikut kemanapun media
mengarahkannya. Mereka sedih dengan apa yang dikonstruksi sebagai peristiwa sedih
oleh media. Mereka haru jika media mengatakannya
sebagai peristiwa haru. Demikian seterusnya. Apapun bentuknya, MK ketika itu
akan basi, bau, dan dijauhi, tak ingin diketahui lagi, hanya cerita kemarin
yang tak menarik lagi.
Menarik atau tidak menarik, itu
intinya. Bukan apa yang penting diketahui dan apa yang tidak penting diketahui.
“Menarik”, kata ini berkait
berkelindan dengan peristiwa menyenangkan. Di sana ada unsur hiburan, ada
dramatisasi, sesuatu yang ingin dinikmati di waktu jeda, untuk melepas penatlah. Hingga tak perlu
pemikiran pelik untuk memahami kenapa seorang Vicki dengan racauannya mampu
menyedot perhatian publik ketimbang kasus impor daging. Atau Eyang Subur vs Adi
Bing Slamet mengalahkan
kasus Century, dan Arya Wiguna dengan teriakan “demi tuhan”nya tentu saja.
Karena Menarik itu tak perlu penting, tak perlu berbobot, tak perlu kebenaran.
Untuk menarik hanya perlu tim kreatif. Yang berbobot bahkan haram ditampilkan
ke media, sebab siapa yang menonton? Siapa yang mau pusing, jika penonton
pusing, siapa yang mau nitip iklan? Yang berbobot menjenuhkan. Dari pada
pusing mending goyang oplosan!
Dear, kau mungkin berpikir bahwa
bangsaku adalah bangsa yang ganjil, semacam kurang obatlah. Itu juga yang
kupikirkan. Sebab luar biasa aneh jika peristiwa-peristiwa penting dilupakan
begitu saja, peristiwa yang menyangkut hajat hidup mereka sebagai manusia,
peristiwa yang mampu menjadikan nasib mereka lebih mendingan atau lebih jatuh
tersungkur ke dasar comberan. Mereka mudah disentuh, perasaan mereka mudah dipermainkan, hingga pada suatu
waktu engkau akan merasa bahwa bangsaku ini adalah bangsa yang paling sadar akan
harkat derajat kemanusiaan,
tapi dalam sekejap tiba-tiba mereka berubah, menjadi tidak peduli, lupa dengan apa yang
sedetik lalu menyentuh sisi kemanusiaan mereka.
Dear, kau tahu apa yang terjadi jika bangsa seperti ini diberi kekuasaan memilih? Terakhir kali berita kubaca Aceng
Fikri melenggang ke senayan, si Aceng Fikri itu! Bukankah itu jiancuk, Dear?!
Komentar
Posting Komentar