Manusia dan Semut

Sebetulnya tak ada yang salah dengan keberadaan semut. Di manapun mereka mau, di teras, di dinding, di halaman, di manapun, bukan persoalan. Saya, sebagaimana Rohim teman saya, yakin semut punya hak hidup. Kami rela berbagi tempat tinggal, sebab percaya mereka punya perasaan dan sudah pasti ingin hidup layak—dalam ukuran semut tentu saja. Seperti tukang bubur yang pagi itu menyusuri komplek perumahan, atau seperti kami yang setiap pagi menjadikan kopi sebagai sarapan.
Ketika itu pagi bersarung awan. Angin mengirim aroma bakpia dari rumah tetangga, mungkin rasa coklat.     
"Mereka seperti manusia juga, Kang, diberi AC minta angin betulan." Rohim teman saya kesal karena kopi yang belum dia seruput sudah jadi arena renang para semut. "Coba lihat," mengacungkan gelas yang dipenuhi semut, "Mereka mirip. Aku yakin mereka berkeluarga."
Televisi yang lupa kami matikan melaporkan berita pencurian. Dari rumah tetangga, mbak Yul dan mas Broery menyanyikan Rindu yang terlarang.
"Tentu saja mereka berkeluarga," saya menegaskan.
"Bagaimana kalau keluarga bahagia ini kita pindahkan ke tempat yang lebih nyaman, nyaman buat kita nyaman buat mereka."
"Aku setuju saja, tapi di manapun itu mereka tetap akan datang kalau kita bikin kopi."
"Pepatah itu (ada gula ada semut) rupanya telah berubah,“ Rohim, geleng-geleng kepala, “apa kita bereskan saja, Kang?" Rohim meletakan gelas berisi semut itu. Saya diam, tampak berpikir padahal lagi nyanyi bareng Broery. Meski begitu, saya paham apa yang dimaksud Rohim. Sebagai umumnya orang Jawa Timur ia terbiasa sigap, sebagai aktivis ia biasa taktis, dan gara-gara kopi pagi itu batal ia nikmati, ia menjadi keduanya.
"Jangan, kasihan. Lihat, mereka bahagia," saya bicara sekenanya, menunjuk gelas itu. Kami tengkurap menatap mereka.  Memang tampak kebahagiaan di tengah keluarga semut. Yang agak besar terlihat berjoget-joget, yang agak kecil bergulingan di dekat permukaan kopi. Melihat bagaimana mereka bahagia, apalagi Broery masih bernyanyi, saya terharu.
"Kebahagiaan yang terlarang.” Rohim menimpali, entah mengejek entah dia sendiri ikut bernyanyi.
"Bagaimanapun kita harus cari cara yang lebih terpuji."
"Seperti apa?"
"Belum terpikir, tapi seharusnya ada." Sepeda motor melintas di jalanan. Angin berembus menggerakan abu rokok yang tercecer di lantai. Bau bakpia rasa coklat, mungkin rasa coklat, kian menyengat. Pagi kian gelap. Hujan bersiap-siap. Televisi menyiarkan pawai kaum buruh.
Rohim teman saya ikut berpikir juga. Tapi sementara kami berpikir, rombongan keluarga semut kian menyemut,  berbondong-bondong mengerubungi kopi kami. Lantai di sekitar gelas plastik kami kian jejal oleh semut. Saya tak tahu apa yang mereka rencanakan, tapi Rohim punya sedikit pandangan.
"Mereka mau mencurinya, Kang, lihat!"
"Mereka tak mungkin mampu."
"Mereka cukup banyak, maksudku, sangat banyak."
"Barangkali mereka hanya pengen megang."
"Cara mereka megang berlebihan, mereka mau mencurinya!"
Tentu saja Rohim terdengar sinting, tapi siapapun yang melihat kejadian itu tak bisa berpikir lain. Semut yang paling besar memberi arahan, menyuruh kawan-kawannya berbaris dan menjalankan strategi yang tampaknya sudah dilatih berulang-ulang. Di bayangan kami, si Besar itu pasti berteriak-teriak, menunjuk-nunjuk, memotivasi, mungkin sedikit memaki semut yang tidak mendengar perintahnya. Adapun semut-semut lain yang banyaknya bukan main itu, berteriak riuh, terutama saat si Besar meneriakkan kata-kata heroik. Di beberapa sudut ada kelompok semut perempuan yang terus memberi semangat, bersama semut kakek-kakek mereka bernyanyi Kereta Malam, tapi tanpa goyang oplosan.
Kami terpana menyaksikan ketangkasan mereka. Bukan saja kami tidak bergerak, tapi sebisa mungkin tidak bernafas. Prosesi pencurian itu terlalu dahsyat buat akal sehat kami. Terlalu edan. Kami bahkan tak sempat membuat teori apapun yang bisa menjelaskan motivasi mereka melakukan pencurian itu. Kami takjub. Rohim melap keringat di dahinya, begitu juga saya. Entah bagaimana, semut-semut itu  yang melakukan pencurian, tapi kami yang berdebar-debar.  
"Katakan kalau ini hanya mimpi, Kang," getar Rohim, tanpa melepaskan pandangannnya dari semut-semut itu.
Ketika itu, ribuan—mungkin puluh Ribuan—semut sudah memenuhi salah satu tepi gelas kami. Gelas plastik itu mulai bergoyang-goyang, seperti berusaha mencari keseimbangan, kami terpana. Goyangannnya semakin keras, kami kian terpana. Jika tadi semut-semut itu masih terlihat sungkan melihat sosok manusia, kini mereka tampak lebih enjoy. Kami, mahluk berjuta kali lipat lebih besar dari mereka, dianggap batu yang tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka ada yang melewati jari tangan kami. Bahkan ada yang lebih tidak sopan, masuk ke celana Rohim. "Kurang ajar!" Umpat Rohim reflek, "Kupikir ini saatnya, Kang."
"Jangan dulu, tunggu sebentar, lihatlah dulu."
Dan pelan tapi nyata tepi gelas mulai berjinjit. Terlihat sekitar satu atau dua senti jarak menganga antara dasar gelas dengan lantai. Gelas itu kini tampak jinjit. Dan mukjizat kembali terjadi. Di luar dugaan, semut-semut itu saling menaiki temannya. Saya seperti melihat aksi chearleader dalam bentuk paling edan. Mereka tidak menari, juga tidak melompat, tapi merayap saja membuat formasi tumpukan empat susun, lima susun, enam, tujuh dan entah sampai berapa. Dan ini kolosal! Entah berapa ribu yang terlibat dalam aksi ini. Entah berapa lama waktu yang dihabiskan untuk melatih formasi ini. Yang jelas, semut-semut edan itu berhasil mengangkat gelas semakin tinggi, miring, membentuk sudut 70 derajat, 50 drajat, 45, dan ... kopi kami yang hanya segelas itu tumpah!
Kopi meluber di permukaan lantai. Beberapa puluh semut terbawa arus kopi, terseret ke bawah lemari. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka kemudian. Tapi para semut tahu kemenangan yang mereka capai terlampau besar, tidak sebanding dengan nyawa semut yang hanya segelitir. Dan sorak sorai pun menggelegar. Tidak kami dengar tapi bisa kami rasakan. Semut-semut itu terlihat bahagia. Berjapin ria, jingkrak-jingkrak hip-hip hura. Kami menduga di sana ada terompet pula, dan petasan tentunya.    
"Ini sudah keterlaluan," Rohim bangkit dan, ini yang saya tidak paham, berdiri menantang. Saya yang berada persis di belakang Rohim hanya melihat bagaimana tangannya tergesa-gesa mengotak-atik bagian depan celananya.
"Kalian telah menumpahkan kopi kami, merampok pagi kami. Kalau kalian suka kopi, mestinya kalian suka ini!"
Ketika itulah saya baru sadar apa yang hendak diperbuatnya. Tapi belum sempat mulut saya membujuk Rohim untuk kembali memikirkan jalan yang lebih maslahat, air kencingnya keburu tumpah. Jelas sekali Rohim mendorongnya sekuat daya, karena ketika air itu dihentakan ke arah kerumunan semut, tempiasnya berhamburan seperti kembang api. Spektrum warna yang dihasilkan dari tempias itu pun seperti pelangi. Dan mungkin karena hawa dingin, ada asap halus yang naik lambat-lambat untuk kemudian hilang dan membuat spektrum warna itu seperti kelap-kelip. Sungguh, jika bukan karena aromanya, saya pasti sudah mengira itu betul-betul kembang api!
Apa arti air itu buat mereka saya tidak tahu—mungkin banjir bandang mungkin juga tembakan water cannon. Yang pasti, mendapat serangan cepat dan tak terduga semacam itu para semut kalang kabut. Gelas plastik yang sudah berhasil mereka bawa dilepaskan begitu saja. Sebagian ada yang terseret derasnya air kencing, sebagian berlari ke segala arah secepat mereka bisa. Mungkin di antara mereka ada yang saling menyikut cari selamat, ada yang terinjak dan berteriak minta tolong, mungkin ada juga yang mengingatkan temannya untuk terus berlari menghindari terjangan air. Saya tidak tahu persis bagaimana mereka saat itu, lebih-lebih perasaan mereka, tapi patut diduga dalam situasi sekalut itu rasa kesemutan mereka sudah hilang. Bagaimanapun, semut juga ingin berumur panjang.

 "Seharusnya mereka kapok," Kata Rohim sambil membetulkan celananya. Aneh, saya mendengar suaranya bergetar. "Kupikir juga begitu." Saya berucap datar. Entah pada Rohim entah pada hiruk pikuk yang saya dengar dari televisi. Ketika itu langit pagi masih bersarung awan, dan tidak seperti Rohim, ia menjatuhkan air pelan-pelan. 

Komentar