Terkait film, ada orang yang mengejar
“kebaruan”, sesuatu yang up date dan
senafas dengan zaman, tanpa peduli pada nilai dan makna yang dikandungnya, yang
dimungkinkan dihasilkan daripadanya. Aku tidak pernah mencari kebaruan dalam
film. Aku tidak peduli pada “kapan film itu dibuat?”, “masih tayang di bioskop
atau sudah ditayangkan di chanel televisi”. Juga aku tidak acuh pada bagaimana
kecanggihan animasi di dalam sebuah film. Aku tidak peduli dengan semua itu.
Aku tidak peduli dengan tahun produksi yang tahun 45, 80, atau jika
memungkinkan tahun 2013 ini, atau dengan animasi yang menghabiskan 2 tahun
pembuatan dan kocek bermilyar dollar. Tahun pembuatan, baru atau lama, itu
bukan soal, sebagaimana biaya dan lama pembuatan. Sebab dalam film, mungkin
juga karya-karya seni lain, yang kucari adalah “nilai klasik”.
Dan apa persisnya “nilai klasik” itu?
Nilai klasik yang kumaksud adalah ruh, nyawa, energi hidup yang menggerakan
sebuah film untuk tanpa henti mengecengkram emosi penonton, menggoda
intelektualitasnya, menghadirkan keindahan, inspirasi, daya hidup dan makna
yang terus bertambah saat potongan dialognya digali, atau sebuah scene
didalami. Dan itu tidak hanya berakhir saat layar menghitam dan credit title
ditampilkan pelan-pelan. Semua itu meninggalkan kesan yang lama, yang jika
melakukan sesuatu, atau melihat sesuatu, mengalami sesuatu yang kebetulan mirip
baik secara kejadian ataupun emosi, akan kembali mengigatkan kita pada film
itu. Singkat kata film yang tetap
diingat, tetap hidup dalam ingatan dan menjadi bagian kehidupan penonton.
Daya hidup itu bisa didapat melalui
kekuatan cerita, karakter tokoh yang unik dan kuat, serta dialog yang memberi
kedalaman kesan. Andi Dufrens (tokoh utama the shawsank redemption) misalnya,
seorang bankir pendiam dan jujur serta memiliki karakter kuat. Dia memberi
kesan sangat dalam, entah melalui tatapan matanya, bahasa tubuhnya, ataupun
dialognya, sekalipun tidak bertele-tele dan tidak menggunakan ungkapan-ungkapan
hiperbolik. Ceritanya pun sangat mencengangkan di mana keteguhan hati dan
tekadnya mampu menjebol dinding penjara yang amat tebal hanya oleh martil
kecil, martil yang biasa digunakan untuk mengukir batu menjadi pion catur. Dia
melubangi dinding itu setiap malam entah selama berapa belas tahun. Lalu bagaimana
dia mampu melewati sepiteng yang memanjang dari penjara ke sungai sejauh 500
yard, dua kali lapangan futbol, dengan merangkak. Merangkak. Hidungnya tak
berjarak dengan kotoran. Tangan, kaki dan seluruh badannya persis menjadi
kotoran itu sendiri. Tapi ia terus merangkak, terus merangkak, dan akhirnya
sampai di tepi sungai. Ini sebuah cerita yang luar biasa. Belum lagi cerita ini
didukung oleh kekayaan antropologis orang-orang kurungan yang melimpah.
Bagaimana seorang narapidana yang pada awalnya amat membenci sel tempat ia
ditahan, lantas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sel itu. Bagaimana
Brook, seorang narapidana tua yang dihukum 50 tahun, takut dengan kebebasannya.
Ia tak tahu harus melakukan apa saat bebas. Dunia yang dia tinggalkan
benar-benar berubah. Penjara telah membatasi dirinya untuk ikut bersama
perubahan itu. Dan dia tertinggal, merasa terasing, lalu melilitkan tali
dilehernya. Hal yang sama nyaris dialami Red, karib Andi di penjara. Tiga puluh
tahun di penjara, tiga puluh tahun pula ia harus meminta izin kepada penjaga
jika ingin buang air, dan semasa bebas pun ia tidak bisa kencing sebelum
meminta izin. Bagiamana penjara mengondisikan manusia dan kemanusiaannya,
benar-benar apik digambarkan oleh film itu.
Film-fim bernilai klasik bukan berarti
tidak didukung oleh pencahayaan dan ekstras yang menawan. Juga tidak berarti
mesti tanpa animasi dan efek visual. Life
of Pi memiliki efek visual yang unik, mencolok, penuh warna-warna
ajaib. Akan tetapi, tanpa faktor-faktor
itupun sebuah film bisa memiliki nilai klasik. Twelve Angry Man contohnya. Film yang diproduksi tahun 50-an, hitam
putih, dan 90 persen adegannya dilakukan di dalam satu ruangan. Film ini tidak
mungkin mampu dilihat lebih dari 5 menit oleh orang-orang yang senang dar der
dor, animasi, efek visual, pencahayaan
dan tipuan-tipuan lainnya. Bagi mereka film ini hanya akan ditonton jika
di dunia ini sudah tidak ada lagi film. Akan tetapi, menurutku, film ini
bernilai klasik oleh karena dialognya yang kuat dan menarik. Pada awal cerita
penonton akan merasa yakin bahwa si pemuda tanggung yang menjadi sumber
perdebatan dua belas orang di ruangan pengadilan adalah pembunuh ayahnya
sendiri. Akan tetapi, melalui dialog-dialog logis, detil dan tidak terpikirkan
karena begitu sepelenya, penonton akan pelan-pelan ragu dengan kesimpulannya,
lalu meragukan sama sekali, kemudian yakin bahwa si pemuda tidak bersalah. Kekuatan dialoglah yang menyulap film yang 90
persen adegannya di dalam sebuah ruangan itu menjadi menarik. Bayangkan saja
sebuah ruangan dengan meja pertemuan dan kursi yang melingkari meja itu. Sebuah
kipas angin di dinding dan jendela yang jarang disorot. Serta warna hitam
putih. Bayangkan kemiskinan imajinasi di dalamnya, ketiadaan daya tariknya,
kejenuhan dan membosankannya. Tapi itu hapus, sekali lagi hapus, oleh dialog
yang hebat.
Film, sebagaimana dikatakan kawan yang seorang
sineas, adalah seni menipu, memperdaya penonton, membuat penonton percaya
terhadap cerita yang disajikan sekalipun tidak masuk akal dan penuh kebetulan.
Kebetulan yang mengubah cerita adalah cacat, tanda kelemahan seorang sutradara.
Di sana tampak betul bagaimana seorang sutradara kesulitan menyajikan
alasan-alasan masuk akal untuk menciptakan situasi yang diinginkannya.
Sutradara kehabisan akal. Dan untuk mengatasinya dipilihlah jalan pintas,
“kebetulan” itu.
Film yang bagus (dalam bahasaku bernilai
klasik) adalah juga film yang mampu mengelola kebetulan-kebetulan itu menjadi
sebuah rangkaian peristiwa yang tidak menyediakan ruang untuk dipertanyakan,
dan karenanya, menjelma keajaiban yang dihadirkan dengan cara meyakinkan. Film
yang dengan cakap menggambarkan keajaiban itu adalah “Forest Gump”. Bercerita
tentang seorang laki-laki bernama Forest Gump. Waktu kecil dia memiliki kaki
yang lemah, yang agar mampu berjalan ia membutuhkan penguat yang dililitkan
pada dua kakinya. Dia tidak diterima di sekolah umum, disarankan masuk SLB,
sebab IQ-nya di bawah rata-rata—akhirnya dapat masuk sekolah umum setelah sang
ibu bercinta dengan kepala sekolah. Dia menjadi bahan cemoohan, bahkan
penyiksaan. Tapi saat itulah keajaiban terjadi. Saat dia dikejar-kejar anak
nakal, dia berlari sempoyongan, menggusur kaki yang satu saat satu kakinya
terpancang, dua kakinya yang lemah itu
tiba-tiba seperti disusupi kekuatan. Ia seperti memiliki kaki baru yang
dianugerahkan tuhan untuk mengubah jalan hidupnya. Penguat kakinya lepas, ia
berlari secepat kilat. Dan setelah itu hidupnya memang berubah. Ia gila lari,
selalu berlari kemanapun ia pergi. Ia masuk sekolah SMA, berkesempatan kuliah
dan menjadi sarjana, dengan hanya berlari sebagai atlet futbol. Dia menjadi
marinir, diterjunkan ke Vietnam, dan saat banyak kawan-kawannya meninggal, atau
setidaknya terluka parah oleh karena serangan mendadak pasukan Vietkong, Forest
selamat. Ia selamat karena berlari. Hanya berlari. Ia mendapat penghargaaan
sebagai pahlawan amerika karena berlari pontang-ponting membopong
teman-temannya yang masih selamat ke luar garis peperangan. Selesai
menyelematkan satu orang, ia berlari ke hutan, menerobos peluru dan artileri. Dan
masih dengan belari ia membopong seorang lagi, dua orang lagi, lalu menyelamatkan
seorang lagi dua orang lagi. Ia terus berlari meski sebutir peluru menembus
bokongnya.
Keajaiban Forest tidak berakhir di situ.
Setelah bokongnya tertembak ia menghabiskan hidupnya di rumah sakit militer
untuk mendapat perawatan. Di sanalah ia berkenalan dengan permainan tenis meja.
Yang dia lakukan hanya tenis meja dan tenis meja. Dia mendengarkan petunjuk
orang yang telah lebih dulu bermain ping pong dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh.
Ia menjadi pemain hebat. Ia menjadi duta marinir amerika dalam kejuaran
pingpong antar angkatan milite sedunia. Ia bahkan bertanding dengan pemain
China, ping pong yang tidak sekedar pertandingan tapi diplomasi perdamaian. Dia
kemudian membeli perahu, menjadi penangkap udang sebagimana rencanya saat masih
di Vietnam. Dan jadilah dia pengusaha udang tersukses. Film ini tentang
keajaiban. Tentang kehidupan yang sudah ditakdirkan, digariskan, diatur sedemikian rupa dengan prinsip
kausalitasnya, atau kehidupan yang melayang-layang, tanpa skenario dan
garis-garis yang mudah ditebak, kehidupan yang ibarat menggigit sebatang
coklat, sebab “kau tidak pernah tahu apa yang akan kau dapat”.
Ya, setidaknya itulah
kategori film yang bernilai klasik menurutku. Tentu saja, ada banyak kategori
lain yang, karena keterbatasan waktu penulisan, tidak terbahas di sini. Dan
Anda boleh tidak setuju.
Komentar
Posting Komentar