Pertama-tama,
kita harus mengucapkan belasungkawa yang sebenar-benarnya kepada masyarakat di
enam provinsi (Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Selatan) yang oksigennya telah dirampas asap. Sungguh,
tanpa maksud membesar-besarkan masalah, kita semua sadar betul bahwa apa yang
menimpa jenengan semua adalah bencana besar. Karena udara, sebagaimana air,
makanan dan api, adalah unsur pokok dalam kehidupan. Bahkan dengan aroma sate
yang aduhai (sebentar lagi Idul Adha biasanya dapet daging buat nyate), asap
tetaplah asap. Ia membuat mata perih, nafas sesak dan pakaian dan badan menjadi
bau apek. Lebih-lebih asap yang meracuni enam provinsi ini bukan asap dari
kegiatan nyate.
Saya
sadar bahwa menulis hikmah di tengah bencana—seperti yang saya lakukan—adalah
perbuatan kasar. Terus terang, ini seperti anak-anak di Jakarta yang sedang
berenang di tengah banjir, terus diambil gambarnya sama fotografer pas ketawa,
dan orang-orang yang memiliki kebiasaan buruk berpikir linier, termasuk saya,
berkata, “Anak-anak itu senang-senang aja kok ama banjir!”. Dan busa itu
meloncat saja tanpa memperhitungkan kemungkinan adanya settingan terhadap
gambar yang diambil. Begitulah. Hanya karena melihat sesuatu yang (nampaknya)
memberi sedikit kesenangan, tampaknya secercah harapan, manusia lugu seperti
saya begitu saja menyebutnya hikmah. Ini tak ubahnya upaya menutupi dan
menghapus penderitaan para korban yang nyata adanya. Oleh karena itu, dari
level paling tersembunyi di hati saya, saya mohon maaf. Saya berharap tulisan
ini tidak mengurangi kemarahan para korban terhadap semua pelaku pembakaran,
kepada orang-orang di belakangnya, dan kepada pihak yang memberikan izin,
langsung atau tidak, untuk melakukannya.
Hikmah
Pertama; Yang Tidak Berbatas Hanya Tuhan
Kepercayaan
rakyat pada pemerintah (dan level selanjutnya kepercayaan kepada Negara) pada
akhirnya ditentukan rasa aman, tentram, hidup tercukupi dan variable-variabel
lain yang bisa diwakili oleh kata “Puas”. Kata ini memang mengesankan aktivitas
konsumsi, bahwa rakyat adalah konsumen dan pemerintah adalah produsen. Tapi tidak
bisa dipungkiri bahwa kepuasanlah inti kepercayaan sesungguhnya. Dari kepuasan pula
roda pemerintahan mendapat mandat untuk dijalankan. Benar bahwa kepuasan adalah
perkara abstrak, konsep yang gampang dimanipulasi. Akan tetapi, baik kepuasan
atau ketidakpuasan, keduanya diikat erat-erat oleh sebuah ungkapan yang berbunyi,
”Ada sebab ada akibat, ada api ada asap.”
Dan
tahun ini adalah perayaan ulang tahun ke 18 bencana asap. Asap dihadirkan
kembali—karena memang disengaja—dan dengan tingkat pencemaran yang kian
berbahaya (udara di Riau kandungan oksigennya kurang dari 5 %, normalnya 21 %).
Bahkan jika itu bukan asap, tapi berupa jus alpukat yang diminum selama 1
hingga 2 bulan penuh tiap tahun selama 18 tahun, pelan tapi pasti kepuasan
konsumen pada jus tersebut akan menurun, sebagaimana dikatakan hukum Gossen.
Itu berlaku buat jus alpukat yang menyehatkan banyak khasiat rasanya nikmat segar
dan pulen itu! Lalu bagaimana dengan asap pembakaran hutan? Silakan tanya
perokok karena para perokoklah yang lebih otoritatif dalam masalah asap. Kalau
perokok bilang asap pembakaran itu mengganggu, berarti itu memang benar-benar
mangganggu. Kalau perokok bilang asap kebakaran itu bikin batuk-batuk, berarti benar
bahwa asap itu menyiksa dan bikin batuk-batuk. Kalau para perokok saja
tersakiti dengan asap kebakaran itu, apalagi mereka yang kurang akrab dengan
asap.
Tapi
siapa sangka, provinsi-provinsi yang ikhlas, kaya nan dermawan itu, ternyata
juga sabar. Ada yang bahkan berani menunggu 18 tahun untuk menggugat, untuk
ngamuk. Bayangkan, 18 tahun, itu bukan waktu yang singkat. Singa saja, makhluk
gagah dan imut itu, paling lama hidup 15 tahun untuk kemudian mati tua setelah
kesepian bertahun-tahun dan diejek buruannya karena staminanya sudah menurun.
Tapi provinsi-provinsi hebat ini, dengan segala sumbangsihnya, dengan segala
kedermawanannya, butuh 18 tahun untuk berteriak. Setidaknya itu suara yang
muncul dari ketua Lembaga Adat Melayu Riau;
"Kami selalu terancam asap. Kami di Riau sadar akan hak-hak
konstitusional dilindungi negara. Tapi kalau negara tidak bisa melindungi.
Pilihan ada dua, pertama, merdekakan Riau dari Asap atau merdekakan
Riau dari negara yang tidak mampu mengatasi asap!!" 18 tahun! Betapa
sabarnya.
Amat
sangat pentinglah kiranya pemerintah menyikapi kemarahan ini secara lebar dan
jauh. Sebab, siapa yang bisa jamin dua atau tiga tahun lagi Jakarta bilang;
“Merdekakan Jakarta dari banjir atau merdekakan Jakarta dari Negara yang tidak
bisa mengatasi banjir!” Lalu Jawa Barat bilang, “Merdekakan Jawa Barat dari kemiskinan
atau merdekakan Jawa Barat dari Negara yang tidak bisa mengatasi kemiskinan! Jawa
Timur berkata sama, Jawa tengah begitu juga, Kalimantan podo bae, dst. dari
ujung barat sampai ujung timur. Pemerintah harus ingat bahwa yang tidak berbatas
itu semata-mata hanya Tuhan, bukan kesabaran.
Hikmah
kedua; Asap yang melahirkan manusia
Kalau
Anda mengendarai sepeda motor yang sehat jasmani rohaninya, sepeda motor itu
akan menjadi bagian dari diri Anda. Sepeda motor dan Anda menjadi satu
kesatuan, tidak ada dualitas. Hingga sedikit banyak bisalah dikatakan bahwa
Anda bersetubuh dengan sepeda motor yang Anda kendarai. Tapi ketika sepeda
motor itu bannya gembes, mesinnya ngadat atau habis bensin, singkatnya motor yang
Anda tunggangi bermasalah, sadarlah Anda bahwa Anda adalah Anda, dan Anda bukan
sepeda motor Anda. Ketika ada yang tidak beres itulah Anda kembali kepada diri
Anda, yang manusia, yang berfikir, yang berjuang, yang bersusah payah mencari
kebahagiaan.
Hutan
di Indonesia dibakar, asapnya sampai ke Malasyia dan Singapura, dan mereka
sungguh-sungguh bertermakasih. Lho, rumangsamu ngomong matur suwun tenan po?!
Kalau
judi tidak dilarang MUI, saya berani bertaruh bahwa ucapan terimakasih itu muncul
dari hati mereka yang terdalam. Manusia di dua negeri ini mengalami hidup yang
amat tertata, aman, terjamin, tentram, mapan dan sejahtera. Benar semua itu bagus buat warga Negara, tapi buruk buat “manusia”. Di
balik ketertiban itu jiwa manusia mereka pelan-pelan sedang digerus. Mereka
lupa bagaimana rasanya berjuang. Mereka lupa rasanya terancam dan hidup dalam
ketakutan. Mereka rapuh dan keropos. Hingga kekuatan terbesar yang seharusnya
ada dalam jiwa mereka absen diam-diam lalu mengundurkan diri; kekuatan untuk
bertahan hidup. Oleh karena itulah, asap yang dikirim dari Indonesia
menyadarkan mereka bahwa mereka masih manusia. Asap itu telah mengancam
kesehatan mereka, mengusik rutinitas nyaman mereka, menarik mereka dari titik
aman, memaksa mereka untuk kembali berjuang.
Itulah
sebabnya warga Malasyia dan Singapura berterimakasih kepada Indonesia.
Berterimakasih karena sudah membuat hari-hari mereka penuh kabut. Berterimakasih
karena Indonesia sudah memberikan pemandangan musim salju. Berterimakasih
karena Indonesia telah membantu mereka untuk kembali menjadi manusia.
Komentar
Posting Komentar