Konon, Einsten suka nongkrong di warung kopi.
Gus Dur ketika di Mesir lebih sering menghabiskan waktunya di warung kopi, ke
kampus hanya pelesir. Sastrawan Gabriel Garcia Marquez mengutil agar bisa pergi
ke warung kopi, lalu dengan berbekal hanya (!) secangkir kopi dia membaca di
sana sampai terdengar bunyi tarhim. Dan bagi Naguib Mahfoez, warung kopi adalah
tempat menggali inspirasi.
(Orang perancis bilang, “satu kata cukup buat
orang pintar.” Kalau di sini saya memberi empat nama, bukan berarti saya
mengganggap pembaca kurang pintar. Tiga selebihnya adalah sedekah yang
pahalanya ditujukan buat almarhumah ibu saya).
Begini, kalau nama-nama di atas adalah manusia-manusia
genius yang bisa melahirkan karya-karya hebat, dan mereka suka warung kopi,
patutlah dicurigai bahwa ada korelasi antara warung kopi dengan kejeniusan. Sekecil
apa pun korelasi itu, tetap saja ini tak beda dengan adanya korelasi antara
merokok dengan pikiran-pikiran kritis, yang itu bahkan bersifat aksiomatik dan
tak bisa diganggu gugat. Kalau mengganggu percintaan Totti dengan AS Roma saja
mustahil, maka memutus pertunangan rokok dengan pikiran berbahaya lebih
mustahil lagi.
Jika hubungan rokok dan pikiran kritis adalah
demikian adanya, bagaimana hubungan warung kopi dengan kejeniusan?
Kurang lebih begini uraiannya;
Yogyakarta, wabilkhusus di sekitar
Universitas Islam Nusantara, telah menjadi lahan subur buat pertumbuhan warung kopi.
Majelis kongkow ini hadir di pinggir jalan, di area persawahan, di pinggir kali,
di lingkungan kost-kostan, bahkan di sebrang kuburan. Dan warung-warung kopi
yang demikian rapat itu, tak sepi-sepi. Kebanyakan konsumennya, mendekati 93.5
%, adalah mahasiswa. Sebagian besar dari 93.5% itu, kira-kira 80 %-nya, tak
punya penghasilan selain dari kiriman orang tua. Dan dari 80% itu,
mayoritasnya, yaa sekitar 55 sampai 60%-lah, rela tidak sarapan, rela tidak
makan siang dan makan malam, asal bisa ziarah ke warung kopi langganan.
Sekalipun duduk berjam-jam di bangku warung kopi itu dengan menanggung malu
karena sekian jam yang dipesan cuma kopi secangkir satu-satunya. Oh, ya, jangan
tanya saya dapat data ini dari mana. Silakan cek sendiri kalau gak percaya.
Kalau sudah cek dan masih gak percaya, saya rela disebut pendusta.
Masing-masing warung kopi punya pelanggan fanatik.
Karena mereka amat setia, hanya peristiwa khawariqul adat saja yang bisa
menggerakkan mereka untuk berpindah ke warung kopi lain. Tentu saja, atas nama
variasi, sesekali mereka berkunjung juga ke warung kopi yang bukan langganannya.
Tetapi pada akhirnya mereka selalu kembali ke fitrah, ke asal mula perjalanan,
yakni warung kopi langganan. Oleh karena itu, jangan takjub jika penghuni “warung
kopi sana” adalah orang itu-itu juga, penghuni “warung kopi sono” wong kui kui juga,
sebagaimana “warung kopi sini” yang itu-itu juga. Sehingga dengan sendirinya
ada label-label tak resmi buat masing-masing warung kopi dengan didasarkan pada
mayoritas pelanggan fanatiknya; ini warung kopi aktivis, itu warung kopi anak alay,
ini warung kopi gamer, itu warung kopi orang pacaran, warung kopi jomblo, dst.
Di sinilah orang-orang yang berpikiran
pragmatis kecele dengan pikirannya yang hanya sejengkal. Orang pragmatis akan
menduga bahwa para pecinta warung kopi itu mencari keasyikan, melepas penat
atau setiap tujuan yang mengandaikan adanya manfaat langsung. Padahal fakta-fakta
di atas membuktikan bahwa para konsumen itu datang bukan sekedar mencari
kafein, hiburan, apalagi ketenangan.
Kalau hanya mencari kafein, ngopi di kotsan
aja bisa. Kalau hanya mencari hiburan, hiburan opo wong pemandangane kui-kui
tok. Kalau mencari ketenangan, piye iso tenang di tempat ramai koyok ngono. Walhasil,
para konsumen itu datang demi mengejar sesuatu yang jauh lebih besar, yang tidak
tersentuh dan niskala, yakni berkah kejeniusan sebagaimana yang digapai oleh
nama-nama besar yang sudah saya sebutkan. Dan please, ini bukan
takhayul.
Memang, kesungguhan, disiplin dan istiqamah
untuk terus ke warung kopi demi tercapainya berkah kejeniusan membutuhkan iman
yang kuat di samping kesabaran yang kokoh. Ini hanya bisa dipahami oleh kaum
ideologis. Orang pragmatis tidak bakal paham!
Kaum ideologis adalah mereka yang meyakini
sesuatu sebelum hal itu tampak akan benar-benar terjadi. Sekilas memang seperti
pelaku pesugihan yang meyakini bakal kaya meskipun tanda-tandanya amat gelap
dan lelakunya dibimbing oleh dukun melarat. Akan tetapi, pelaku pesugihan didorong
oleh keputus-asaan menghadapi masa depan, dan ruwet dan suram di masa kini dan
masa silam. Beda dong dengan kaum ideologis. Bagi kaum ini masa lalu dan masa
kini sudah tuntas, sehingga yang ada di setiap lirikan matanya adalah masa
depan. Lalu adakah kelompok yang lebih memikirkan masa depan, yang bersamaan
dengan itu masa kini dan masa lalunya sudah selesai (kecuali terhadap mantan)
selain mahasiswa??
Siapa yang turun ke jalan itu, yang menjungkirkan
Orla dan Orba, yang demo BBM, demo sistem pendidikan, demo melawan kapitalisme,
melawan pelanggar HAM, menuntut pemberantasan korupsi, dan demo-demo luhur lain
demi ideologi dan masa depan bangsa dan Negara? Siapa lagi kalau bukan mahasiswa,
Sang ején of cueng?
Karena terbiasa berpikir jauh itulah mereka
mampu melihat permata di warung kopi. Ini soal kecanggihan perangkat, soal
kemampuan untuk mengakses sinyal tuhan yang tidak bisa ditangkap oleh perangkat
kuno macam logika sebab akibat. Betul skripsi gak selesai-selasai, IP di bawah
1.5, dan beban SKS masih menggunung. Tapi apalah arti skripsi yang cuma jiplak
sana jiplak sini? Ngapain ikut perkuliahan kalau cuma dijadiin patung oleh
dosen? Apalah arti IP jika untuk mendapatkannya cukup dengan hadir, duduk, diam
dan ngerjain tugas? Baik skripsi maupun IP, keduanya hanya ilusi
intelektualitas. Intelektualitas sebenarnya ada di warung kopi, Mas!
Komentar
Posting Komentar