Berubah atau Tenggelam

Bagi sebagian orang mungkin aneh, tapi bagiku, pikiran itu adalah sebutir air yang terjatuh di daun talas. Tsss, dan meluncur tanpa meninggalkan bekas.  Tentu saja ada  pikiran-pikiran yang kuat, yang tangguh merawat ingatan sekian tahun tanpa terombang-ambing oleh anasir yang membikin lupa. Tapi itu milik orang di luar sana, yang entah menjalani hidup bagaimana, atau diturunkan dari siapa, atau mungkin hanya sekadar hadiah dari Tuhan, baik dengan alasan maupun tanpa alasan. Katakan saja, tiba-tiba pikiran itu ada di sana dah! Jika saja aku dianugerahi pikiran semacam itu, tentulah aku hepi bukan kepalang. Tentulah pula aku akan ingat, bahwa pada suatu hari di tahun 2008, ketika itu baru kuliah semester 3 (penyakitku ini memang keterlaluan. Aku kuliah tahun 2005, dan tahun 2008 aku masih semester 3??!) aku pernah menulis soal reklamasi pantai kapuk Jakarta. Dan reklamasi itu,  upaya perusakan lingkungan atas nama pertumbuhan ekonomi itu, kini berulang.
Baiklah, aku kopikan saja tulisan itu di sini:

 

Menjelang reklamasi untuk pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta Utara, Suswanto Rasidi, seorang ahli ekologi dari Universitas Indonesia, pernah dimintai pendapat mengenai reklamasi tersebut. Ia pun memperingatkan bahwa reklamasi tersebut berpotensi mendatangkan banjir. Tapi rupanya, bagi pengembang, banjir hanyalah perkara kecil. Lalu, proyek dipaksakan setelah sebelumnya mendapat restu dari pemerintah. Dan meski Suswanto merekomendasikan dibuat buffer zone berupa vegetasi bakau dan tanaman lainnya di kawasan pesisir, dalam dokumen amdal, rekomendasinya tidak dimasukan.
Fragmen di tahun 1980-an diatas hanyalah sedikit bukti betapa pembangunan di Indonesia tidak bervisi lingkungan. Sebaliknya, pembangunan itu hanya berkutat dalam hal bagaimana menekan ongkos produksi agar modal berlipat dan mendapat keuntungan besar. Tidak soal cara itu merusak lingkungan. Dan dengan demikian, 70 persen lebih kerusakan hutan bakau di pesisir seluruh garis pantai Indonesia yang dewasa ini terjadi, adalah wajar.
Kerusakan ini akan terus menanjak jika pembangunan yang dilakukan tetap berlandaskan logika ekonomi. Dan seiring dengan menanjaknya kerusakan, meningkat pula akibat yang akan ditimbulkan. Jika sekarang Indonesia dikejutkan oleh gelombang pasang yang meredam beberapa kota pesisir, bukan tidak mungkin pada 1-10 tahun kedepan sebagian besar wilayah indonesia akan hilang. Dan seiring dengan meningkatnya pemanasan global, dalam jangka waktu yang lebih panjang lagi, Indonesia akan menjadi negara pertama yang menghilang dari peta dunia. Dilahap permukaan air laut yang terus meninggi, sebagai akibat dari mencairnya gunung es di Antartika.
Oleh karena itu, yang pertama kali harus dilakukan adalah menghentikan eksploitasi daerah pesisir dengan rakus. Baik pemodal ataupun pemerintah harus sadar, bahwa lingkungan lebih berharga dari sekedar keuntungan yang di hasilkan dari hasil eksploitasi tersebut. Selain dari pada itu, keuntungan yang terbesar dari setiap eksploitasi hanyalah dinikmati oleh segelintir pemodal. Adapun rakyat kecil, hanya mengaisi sisa-sisa ampasnya. Lalu ketika terjadi bencana akibat kerusakan lingkungan, justru rakyat kecil yang menjadi korban. Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan pemerintah adalah, "satu-satunya yang pantas untuk dijadikan orientasi pembangunan adalah kesejahteraan rakyat." Tanpa ini, pembangunan dengan model apapun tidak akan membawa pencerahan. Adapun untuk langkah selanjutnya adalah secepat mungkin membuat hutan bakau buatan.
Oleh karena setiap pembangunan harus berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, maka langkah konyol Pemprov dan DPRD DKI, yang bekerja sama dengan sembilan pengembang untuk merealisasikan proyek mercusuar pantai utara Jakarta, harus segera dihentikan. Karena dampak dari kerusakan lingkungan yang akan terjadi, pada akhirnya nanti akan tetap menjadikan rakyat sebagai korban.
Pemprov ataupun DPRD DKI, mungkin, adalah prototipe dari tata pemerintahan Indonesia yang jinak. Yang tidak berdaya mengambil sikap ketika dihadapkan dengan gergasi modal yang berlimpah, terlebih ketika hal itu didorong oleh obsesi untuk bergegas dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Namun tetap saja, lingkungan terlalu berharga untuk dikorbankan. Karena tatkala lingkungan menjadi korban, bukan hanya ekonomi yang dipertaruhkan, melainkan eksistensi manusia itu sendiri, baik sebagai warga indonesia ataupun sebagai bagian dari dunia global.
Dan kita tidak usah menyalahkan iklim, apalagi Tuhan, ketika di beberapa daerah pesisir direndam laut pasang. Lalu jeritan 16.000 warga yang kesulitan mendapat makanan dan minuman, lalu ratusan rumah rusak, tambak, atau ancaman kematian dari wabah penyakit. Kini bagi kita hanya tersisa satu pilihan, berubah atau tenggelam!

Komentar