Awal Mula Penyesatan bag. 1



Ketika aku berkata kepada seorang teman, senior sekaligus guru bahwa kini aku bekerja (untuk hidup)  bersama—untuk mudahnya sebuat saja—“Kaum Dakwah”, ia berkata enteng, “Itu bagus. Kau bisa mengenal dari dekat kultur yang selama ini kau tentang. Kau tidak hanya melihat dari jauh, membaca dari buku, artikel dsb. tapi kau hidup bersama mereka, melihat cara hidup mereka dan apa yang menjadi cita-cita mereka. Mengetahui cara berpikir mereka dan apa yang menjadikan mereka berpikir seperti itu adalah kesempatan langka.” 
Pada awalnya, ketika aku akhirnya menceritakan hal itu, aku yakin bahwa aku akan dicemooh, digojlok, atau dinyinyiri sebagai orang yang tidak setia pada idealisme. Tetapi itulah yang kudapat. Sebuah apresiasi positif yang sama sekali tidak kuduga. Meskipun aku tahu bahwa, sebagai orang yang dididik dalam lingkungan pesantren-NU, ia memiliki jiwa yang luas dan kaya perspektif, apresiasi positif itu tetaplah mengejutkan.
       Jiwa yang luas, yang mampu menampung segala hal, perspektif yang kaya, yang tidak pernah kehabisan jalan meski di hadapkan pada persoalan yang seolah-olah mentok hitam-putih, adalah dua hal yang tidak kutemui semenjak hidup di sini. 
       Di sekililingku adalah orang-orang yang mantap menghindari pergolakan pemikiran dan kegelisahan. Mereka adalah orang-orang yang takut bingung, takut terombang-ambing hingga memutuskan untuk mengambil satu “hal” lalu menutup pintu serapat-rapatnya dari keberadaan “hal” lain yang bersebrangan. Setiap hal yang bersebrangan adalah virus yang harus dimatikan. 
  Jangankan membiarkan hal yang bersebrangan itu berkembang sewajarnya, atau cukuplah membiarkan apa adanya, cukup membentengi diri dari yang bersebrangan itu, tetapi yang bersebrangan itu pun harus diberantas sampai ke akar. Harus habis. Harus sirna. Jika satu hal sudah diyakini benar, maka mereka tidak bisa lain memandang yang bersebrangan itu sebagai sesat. 
            Di lingkunganku yang dulu, kata “sesat” tak pernah diucapkan, kecuali hanya sebagai lelucon, di sini kata itu dikatakan dengan serius dan penuh keyakinan.
            Pada awalnya aku menganggap bahwa menghakimi yang bersebrangan sebagai sesat—dengan sendirinya “merasa paling benar”—adalah semata-mata problem “terlalu percaya diri”—jika tidak dikatakan arogan—yang ada pada seseorang. Akan tetapi, setelah mengenal mereka dari dekat, aku melihat bahwa bukan itu akar masalahnya. Sejauh ini, dari empat orang yang katakanlah aktif berdakwah, aku hanya baru menemukan seorang saja yang memang pada dasarnya memiliki rasa percara diri yang tinggi (dan mungkin karena pede-nya itu ia sering mendaku diri sebagai orang yang terbuka terhadap perbedaan karena, sebagaimana pengakuannya, ia adalah produk lingkungan yang “plural”; ia bertetangga dengan non-Islam, teman-teman masa kecilnya adalah pemadat dan pengedar, dan ia tetap menganggap mereka sebagai tetangga dan teman. Yang kutangkap dari apa yang ingin ia sampaikan adalah ia tidak kaku dan terbiasa bergaul dengan orang-orang yang secara keyakinan ataupun tindakan bertentangan dengannya). 
          Orang yang terlalu percaya diri ini hanya ia seorang. Adapun sisanya, setidaknya dari apa yang tampak, adalah orang-orang yang murah senyum dan suka mendengarkan. Dalam pergaulan sehari-hari, tiga orang ini berbicara dengan lembut dan sopan. Mereka mampu menimbang perasaan dan pandai memuji kebaikan orang yang ia kenal, singkatnya mereka adalah orang yang menyenangkan. Jika saja mereka tidak pernah diminta ceramah, mengisi pengajian atau khutbah Jum’ah, aku tidak melihat perbedaan mencolok antara mereka dengan orang-orang di lingkunganku dulu—kecuali bahwa mereka adalah orang-orang yang fasih membawa dzikir ke dalam percakapan sehari-hari. Sebab, ketika mengisi khutbah atau ceramah, nada bicara mereka menjadi galak, dan penuh api. Dan memang, pada saat inilah kata-kata sesat, kafir, neraka, dan lain-lain yang mengerikan itu biasanya berhamburan.
       Masalah murah senyum, lemah lembut (dalam pergaulan sehari-hari) atau terus-terusan metutut, barangkali hanya soal kepribadian. Di sini atau di lingkunganku dulu, pastilah ada orang-orang yang seperti itu—aku sendiri rasa-rasanya adalah orang yang jarang tersenyum. Akan tetapi, soal bagaimana sikap kita dalam menghadapi yang berbeda sumbernya ada pada pikiran. 
          Pikiran yang hanya tahu bahwa hidup ini adalah tempat bertumbuhnya dua kateogri saja; yakni benar atau salah saja, tanpa melihat orang murah senyum atau tidak, akan menjadi orang yang dengan penuh keyakinan menyebut orang lain sesat. Pikiran sederhana itu, benar atau salah itu, adalah pupuk yang paling bagus untuk menumbuhkan dan mengokohkan keyakinan, sehingga menyebut orang yang berbeda sebagai sesat adalah sesuatu yang ringan. Sebaliknya, orang yang paling metutut sekalipun, selama dalam pikirannya tersimpan banyak kategori; benar, baik, indah, benar tapi tidak baik, baik tapi tidak indah, dsb., dalam kemetututannya itu tersimpan penerimaan yang seluas-luasnya untuk setiap yang berbeda. Dan boleh jadi, bandul kehidupannya sudah tidak lagi mengayun dalam persoalan benar atau salah, akan tetapi indah atau tidak indah.
           Jika kita sepakat bahwa aktivitas penyesatan adalah penganiayaan non-fisik, dan garis pemisah antara penganiayaan ini dengan penganiayaan fisik hanya; “apakah tega (berani) melakukannya atau tidak”, yang pertama-tama harus mendapat perhatian agar keragaman tetap terawat dan tidak menjadi pemicu konflik adalah pikiran. Pertanyaannya, kenapa pikiran seseorang bisa semata-mata menyimpan dua kategori saja; hanya soal benar atau salah saja?    
                        
   
             
   



Komentar