Awal Mula Penyesatan bag. 2


“Emang, Syiah yang BENER tuh Syiah yang kayak apa, sih?!” Inilah pertanyaan seorang teman yang berasal dari kalangan dakwah beberapa waktu yang lalu di grup WA. Ia mempertanyakan itu setelah sebelumnya saya mengupload berita yang memuat pesan-pesan Grand Syaikh al-Azhar Mesir Syaikh Ahmad ath-Thayyib saat berkunjung ke MUI. (baca: http://www.muslimedianews.com/2016/02/lima-pesan-penting-grand-syaikh-al.html )  Inti dari berita itu adalah seruan untuk menjaga kedamaian dan tidak tersulut oleh provokasi-provokasi yang mengadu domba Sunni  - Syiah. Sebab,  Syiah dan Sunni adalah saudara, keduanya lahir dari rahim yang sama, yaitu Islam.
Pertanyaan kawan saya tersebut tentu saja tidak lahir dari rasa ingin tahu dan keterbukaan diri untuk menerima suatu informasi baru. Sebab, dalam era informasi sebagai sekarang ini, informasi baru itu sendiri layaknya mitos. Informasi baru boleh dikata nyaris tidak ada lagi karena asal kita mau kita bisa mendapat informasi apa pun termasuk masalah Syiah. Di zaman sekarang menyebut sesuatu sebagai “informasi baru” tidak lagi relevan. Yang relevan adalah ketinggalan, malas atau sengaja menutup diri. Tak ada orang yang tidak tahu, yang ada adalah orang yang malas mencari tahu. Dan betul saja, tak berapa lama kemudian, ia pun mengunggah foto shalat berjamaah yang diambil saat Syiah dan Sunni melakukan suatu konferensi. Syi`ah membentuk jamaah sendiri, Sunni pun berjamaah dengan kalangannya sendiri. Tak lupa ia menulis dengan gagah ; “Katanya bersatu, tapi kok shalatnya misah-misah yah?”  Begitulah, ketika Anda menghadapi kalangan ini, Anda harus sabar.
Satu perekat yang menyambungkan segala hal terkait kalangan ini adalah upaya mereka untuk meringkas kehidupan ke dalam dua kategori; salah dan benar. Kalau Anda bergaul cukup dekat dengan kalangan ini, Anda akan tahu bahwa dua kategori itu tidak hanya diterapkan dalam soal serius, tetapi juga dalam soal kecil. Seperti kata teman saya itu suatu hari saat ia mengomentari sebuah akun FB. “Akhwat yang BENER, ya kayak begini. Gak masang foto sendiri buat foto profil.” Begitulah, “benar atau salah” sudah mendarah daging sedemikian rupa sehingga apa pun akan dinilai dengan kategori itu.
Bagi Anda yang memiliki banyak kategori dalam menilai, cara berpikir seperti itu tentulah sangat aneh. Sebab, Anda tahu bahwa balam beberapa hal, kategori benar – salah bisa diterapkan, tetapi dalam banyak hal lain menggunakan kategori itu adalah sikap yang tidak proporsional. Dalam kasus di atas contohnya. Menilai golongan lain dengan kategori benar atau salah tak lebih dari tindakan konyol. Kenapa konyol, karena kita tidak bisa menilai golongan lain sebagai benar atau salah sementara standar penilaian yang digunakan adalah nilai-nilai yang diyakini si penilai. Apakah adil menilai Syiah dengan nilai-nilai yang diyakini Sunni? Jelas tidak adil. Oleh karena itu, ketika teman saya itu meminta jawaban saya, saya jawab, “Daripada membicarakan Syiah itu salah atau bener, gw lebih suka ngomongin Syiah toleran dan Syiah yang intoleran. Faktanya, tidak sedikit Syiah yang intoleran, tetapi banyak juga yang toleran. Sunni pun begitu.” Yup, bagi kalangan ini, kategori Syiah toleran dan Syiah intoleran adalah perkara yang tidak terpikirkan, sesuatu yang out of range! Pertanyaannya sekarang adalah; kenapa pikiran seseorang bisa semata-mata menyimpan dua kategori saja; hanya soal benar atau salah saja? Dalam hal ini, menurut hemat saya, setidaknya hal itu dilatarbelakangi oleh beberapa hal;

Pertama; Enggan berpikir lebih jauh. Sebetulnya, kategori benar – salah itu pun menyimpan keluasannya sendiri, tidak cupet-cepet amat. Sebab, bagi Anda yang senang menjelajahi kemungkinan-kemungkinan lahirnya perspektif baru, kata “benar atau salah” itu bukan sesuatu yang final. Kongkorongok adalah bunyi kokok ayam jantan yang benar, misalnya. Ini belum selesai, karena pertanyaan selanjutnya adalah, “Benar menurut siapa?” “Benar menurut orang Sunda.” “Orang Sunda mana?” “Orang Ciamis.” Pertanyaan terus berlanjut sampai pada suatu kesadaran bahwa “yang benar” rupanya terpancar dari banyak hal, dari kongkorongok, dari kongkorongkong, kukkurunnuk, dari kukkuryyuk dll.  Adapun kalangan dakwah ini, suka sekali memberi titik dengan tergesa-gesa, dan mengatakan bahwa Ini BENAR. TITIK. Itu SALAH. TITIK.  
Tidak semua orang memiliki daya tahan dalam menghadapi kebingungan (Daya tahan ini bisa tumbuh karena banyak hal; terbiasa bertukar pikiran dengan orang yang bertentangan, bisa juga karena empati, bisa juga karena sering membaca karya-karya sastra bermutu seperti yang dipaparkan tulisan Aan Mansyur berikut:  http://www.qureta.com/post/sastra-dan-pikiran-tertutup). Orang yang memiliki daya tahan, selalu siap berpikir panjang meski untuk itu ia diterkam kebingungan, dan situasi yang penuh ketidakpastian. Namun, orang yang tidak memiliki daya tahan akan tergesa-gesa untuk sampai di titik kepastian, meloncat ke dalam kesimpulan, berhenti di titik itu lalu memegang kesimpulan yang ia punya seerat mungkin, dan ketika melihat yang berbeda dengan penuh keyakinan mereka menyebutnya sebagai sesat.     
Kedua; ide persatuan Islam. Ide persatuan ini, atau khayalan tingkat dewa ini, menyebabkan orang menafikan keragaman dalam Islam. “Agar umat tidak bingung” (yup, lagi-lagi tidak tahan dengan kebingungan) seringkali menjadi alasan bagi ambisi penyeragaman ini. Kalau tidak begitu, biasanya alasan yang muncul adalah  untuk “menutup pintu fitnah” yang potensial terjadi sebab diumbarnya perbedaan dalam Islam. Jadi, perbedaan itu harus ditutupi serapat mungkin, kalau tidak dihilangkan sama sekali, karena perbedaan adalah perpecahan. Ambisi persatuan, penyeragaman, dengan sendirinya menafikan fakta yang sesungguhnya; beragamnya aliran dalam Islam. Padahal, harga menghargai diawali oleh pengakuan terhadap adanya perbedaan itu sendiri. Tanpa adanya pengakuan, mustahil orang bisa menghargai orang lain. Dan cara menutup perbedaan dalam Islam adalah dengan “mengeluarkan yang berbeda” dari Islam.            
Ketiga; kurang perspektif. Dari mana perspektif muncul? Perspektif lahir karena banyak membaca. Apakah kalangan ini malas membaca? Sayangnya, iya. Itu sejauh yang saya tahu dari hasil pantauan saya dari dekat selama ini. Mungkin ada yang rajin membaca, tetapi bacaannya dibatasi terhadap yang satu suara saja, atau membaca tutorial-tutorial, atau tips ini itu, dan ini yang paling banyak; motivasi berdakwah. Perspektif mereka pun sering mentok ketika berhadapan dengan hal-hal pelik, dan karenanya mereka tidak mampu melihat kemungkinan lain selain benar-atau-salah itu. Kurang perspektif ini pula yang membuat mereka tidak mampu memperkirakan akibat dari apa-apa yang mereka katakan terkait orang lain. Mereka, dalam kehidupan sehari-hari, adalah orang yang santun dan ramah. Tetapi bersamaan dengan itu, mereka ringan menghukumi sesat orang lain. Saya menduga, mereka tidak tahu apa akibat pernyataan mereka terhadap orang lain itu. Mereka hanya melihat satu kenyataan yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini lalu mereka menyebutnya sebagai sesat. Hanya itu. Persoalan penghakiman sesat itu dapat menyebabkan orang lain mudah menyakiti “si sesat” secara fisik, asal ada yang mengkompori, mereka tidak tahu, mereka tidak berpikir sampai ke sana. Ya, karena kurang perspektif itu.     
    Pikiran manusia tidak seperti mesin yang merekam banyak data secara persis. Ribuan bahkan mungkin jutaan pengetahuan masuk ke dalam pikiran manusia, sadar atau tidak, lalu pengetahuan-pengetahuan itu seperti menguap dari kepala karena entah bagaimana kita tidak lagi ingat, atau ingat tetapi tidak persis. Kita lupa atau ingat sebagian dengan pelajaran waktu SD, SMP, kuliah, atau bahkan buku yang baru saja kita baca. Namun, informasi-informasi yang masuk ke dalam pikiran manusia itu rupanya tidak hanya diolah secara kognitif, akan tetapi membentuk sikap kita, membentuk cara berpikir kita dalam melihat sesuatu. Boleh jadi kita lupa, sebagai pameo “semakin banyak membaca semakin banyak lupa” itu. Akan tetapi, bersamaan dengan lupa itu, entah bagaimana kita masih saja mau membaca, mau belajar. Kita pun entah bagaimana menjadi terbuka terhadap hal-hal baru, dan mau menerima yang berbeda apa adanya meskipun kita tidak tahu (secara kognitif) seperti apa sesungguhnya si pihak yang berbeda itu. Kita, singkat kata, menjadi orang yang tidak hanya dibentuk satu buku. Kita menjadi orang yang, meminjam istilah Gadamer, ter-bildung-kan. Jika kalangan dakwah ini dapat di-bildung-kan, (saya yakin) mereka dengan sendirinya akan meninggalkan kebiasaan melihat yang lain dengan hanya kacamata benar – salah seperti sekarang. 

Komentar