Di Balik Aksi Bela Islam


Meski agak terlihat lusuh, wajahnya terlihat tenang. Bibirnya seperti tersenyum ketika sedang berbicara. Dan suaranya seperti tersangkut sesuatu, dalam, dan keluar sediki demi sedikit dari mulutnya. Sorot matanya selalu terlihat khusuk. Gerak-geriknya menandakan bahwa ia adalah orang yang tulus.
Siang itu, 3 November 2016, selepas jam istirahat kantor, ia bertanya kepada saya, “Besok ikut turun?” Maksudnya, aksi 4 November. “Sepertinya tidak.” Jawab saya sambil tersenyum. “Di akhirat nanti, bagaimana jika ditanya, ‘ke mana engkau saat saudara-saudaramu membela agamamu?’” Dari sorot matanya, juga bibirnya yang tampak tersenyum, saya tahu bahwa ia bertanya  tanpa ada maksud menggugat, lebih-lebih menghujat. “Saya sedang membela anak-istri saya.” Jawab saya dengan ringan. Dan kami tertawa.
Sementara itu, di hari yang sama, seorang kawan yang lain sibuk menulis di atas form cuti karyawan. “Cuti, bang?” Tanya seorang kawan lain sebatas bertanya. “Harus. Wajib. Setiap orang Islam akan merasa terpanggil untuk aksi. Kalau pun tidak diberi, paling dianggap tidak masuk. Tidak masuk sekali, masa sih gak naik kelas.” Kawan saya yang satu ini memang selalu terlihat yakin. Di masa SMA-nya dia pernah menjadi ketua rohis sekolah. Dia juga pernah jadi aktivis partai. Rajin ikut liqo’ dan kajian keagamaan khas kader. Pernah suatu hari ia bilang kepada saya soal proses ta`arrufnya dengan seorang akhwat, “Murabbi-nya adalah adik kelas ane. Makanya waktu ta`arruf dia agak segan, karena untuk sekelas ane sudah seharusnya memimpin sebuah liqo’.”
Siang itu, aksi 4 November-lah menjadi pusat obrolan. Seorang teman berkata bahwa perusahaan kawannya diliburkan, dan semua karyawan wajib ikut aksi. Kawan yang lain menimpali dengan informasi yang sama. “Tempat temen ane juga begitu. Mereka absennya pindah di Istiqlal. Yang gak ikut dianggap gak masuk.”  “Seharusnya, perusahaan ini juga libur.” Kata seorang teman. “Apalagi perusahaan ini perusahaan Islam.” Ketika itu, saya hanya menjadi pendengar. Batin saya cuma bertanya-tanya, “Sejak kapan perusahaan punya agama?!”
Sehari sebelumnya, sore setelah jam kantor, beberapa karyawan dikumpulkan di ruang rapat. Dari luar, tampak salah seorang direktur memberi arahan. Dalam kesehariannya di kantor, direktur ini adalah orang yang paling rajin mengajak bawahannya shalat berjamaah. Namun, kata orang-orang yang tahu kesehariannya, di luar kantor, Tuan Direktur selalu datang shalat Maghrib, Isya dan Shubuh, pada rakaat kedua. Saya maklum, karena setiap orang, tentu saja butuh kehidupan yang berbeda.
Apa yang disampaikan di ruang rapat itu baru saya ketahui besoknya dari cerita salah seorang karyawan yang mengikutinya; konsolidasi aksi 4 November. 
Hari yang membuat penasaran itu pun tiba. Jum’at, 4 November 2016, muncul dengan sedikit redup. Cahaya matahari seperti jatuh ke bumi setelah melewati filter tak kasat mata. Ia baru benar-benar terang setelah melewati pukul 09.00. Bagi sebagian orang, tanggal ini mungkin akan dianggap sebagai tanggal bersejarah; hari ketika umat Islam di seluruh Indonesia menunjukkan kekuatannya kepada dunia! Bagi sebagian yang lain, tanggal ini mungkin biasa saja; berangkat ke kantor, macet, desak-desakan di commuter line, bertemu selingkuhan, jualan nasi uduk, dan entah apa lagi. Bagi sebagian yang lain lagi, tanggal ini membuat merinding oleh sebab banyaknya kekhawatiran yang mungkin terjadi; kerusuhan, penjarahan, pembersihan etnis, dan lain-lain yang mengerikan.
Sementara bagi saya, Jum’at 4 November ini adalah hari yang lenggang. Kantor sepi dan akivitas, entah kenapa, menjadi lebih santai. Sesekali ngobrol dengan kawan-kawan yang tersisa tanpa merasa bersalah. Mereka yang tidak berangkat, pun terbagi dua; ada yang memang tidak mau berangkat, tetapi ada juga yang sebenarnya ingin aksi tetapi kantor tidak memberi izin karena tugasnya tidak ada yang dapat menggantikan. “Kalau dalam situasi seperti ini tidak ikut, serasa jadi munafik, Bang.” Begitu kata seorang teman yang sangat berhasrat pergi tetapi tidak direstui perusahaan. Saya hanya tersenyum tanpa memberikan tanggapan apa pun.
Harus diakui, massa, umat Islam yang terlibat itu, turun ke jalan dengan keyakinan membela Islam. Mereka yakin bahwa Islam telah dihina, Al-Qur’an telah dinistakan. Mereka merasa terpanggil, benar-benar merasa terpanggil. Aksi 4 November bagi mereka adalah jihad. Mereka tahu dan yakin, aksi itu adalah untuk membela Islam. Dan itulah yang mereka tahu. Itulah yang mereka yakini. Mereka tidak peduli dengan kemungkinan aksi mereka ditunggangi kelompok pemancing di air keruh untuk agenda-agenda tertentu. Mereka juga tidak mau tahu dengan agenda bersama yang jelas, yang lebih substansial tinimbang memenjarakan Ahok. Ini adalah jihad. Cukup sudah.
Kita boleh tidak sepakat dengan aksi mereka. Kita juga boleh tidak sepakat dengan gerakan mereka yang reaksioner. Namun, mereka yang turun ke jalan itu, massa itu, adalah juga rakyat kecil yang sama dengan rakyat kecil yang tidak sepakat dengan aksi mereka. Rakyat kecil yang sama dengan polisi-polisi yang menjaga mereka. Rakyat kecil yang sama dengan jurnalis di lapangan yang meliput aksi mereka, rakyat kecil yang sama dengan petani, buruh, tukang gali tambang, pedagang bakso, guru, pak ogah, dan rakyat kecil lain di seluruh Indonesia.   


Komentar