Memahami Aksi 4 November



Setidaknya ada beberapa elemen yang terlibat dalam aksi 4 November; Aktor intelektual, Penunggang, dan Massa. Para aktor intelektual ini jumlahnya sudah pasti sangat sedikit, tetapi jelas sangat berpengaruh. Bisa jadi, aktor intelektual itu ikut bersama massa. Ia terlihat, ia juga terdengar. Namun, tidak tertutup kemungkinan aktor intelektualnya sama sekali tidak menampakkan diri, tidak terlibat langsung dengan aksi, jauh dari kesan berangasan dan seolah tidak memiliki kepentingan terhadap aksi itu. Akan tetapi, ia dengan tangan-tangannya yang tidak terlihat, menggerakan dan mendanai massa.

Sementara itu, Penunggang jumlahnya bisa banyak, bisa pula sedikit. Tidak soal mengenai jumlah, yang pasti tujuannya jelas; memanfaatkan situasi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang ingin mereka capai. Tujuan itu bisa politik, bisa juga ekonomi. Mereka bisa ikut turun ke jalan, bisa juga, sebagaimana aktor intelektual, menjadi donor dan menyaksikan aksi dari kejauhan.

Adapun tulisan ini hanya akan membahas elemen yang ketiga; Massa (umat Islam yang terlibat). Siapakah mereka? Apa latar belakang mereka? Kenapa mereka mau turun ke jalan? Benarkah mereka sedang membela agama?

Jauh sebelum video Ahok di Pulau Seribu menjadi viral, sebetulnya sinyalemen kebencian kepada Ahok sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Kebencian itu pun disalurkan lewat berbagai isu, mulai dari pemugaran masjid Baitul Arif di Jatinegara, Masjid Amir Hamzah, pengangkatan lurah-lurah non-Muslim, dukungan Ahok terhadap penghapusan kolom agama pada KTP, dan masih banyak lagi. Bahkan, jauh sebelum muncul tiga pasang calon gubenur, gerakan Gubernur Muslim untuk Jakarta sudah digalang. Konvensi Calon Gubernur Muslim pun sudah diselenggarakan. "Siapa pun nama yang lolos seleksi awal tersebut akan dimintai komitmen untuk berjuang bersama mengusung satu gubernur Muslim untuk head to head dengan Ahok," demikian kata salah seorang penyelenggara konvensi.

Intinya, Ahok dipandang sebagai "musuh" sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Ahok dibenci bisa jadi karena sikapnya yang vulgar dan sombong dalam menyatakan apa yang menurutnya benar, karena kebijakan-kebijakannya, boleh jadi karena etnisnya, barangkali karena agamanya, mungkin juga karena gabungan unsur-unsur itu. Perlawanan terhadap Ahok tidak hanya didorong oleh Surah Al-Maidah ayat 51 tetapi oleh banyak hal. Adapun isu yang kini digelindingkan (baca; penistaan agama) hanyalah corong yang menjadi dalih untuk menarik solidaritas massa agar gerakan melawan Ahok dapat dilakukan semasif mungkin.

Dan memang, gerakan melawan Ahok itu dari hari ke hari kian massif, tidak hanya menjadi isu warga muslim Jakarta, tetapi juga daerah yang jauh dari Jakarta. Menjelang aksi 4 November, informasi tempat peristirahatan yang siap menampung demonstran dari daerah sudah disebar melalui WA. Banyak perusahaan yang mendukung, meliburkan, bahkan mewajibkan karyawannya untuk ikut aksi 4 November. Banyak pula karyawan yang meminta perusahaannya untuk mendukung aksi 4 November dengan meliburkan perusahaan.

Para karyawan ini, massa ini, adalah mereka yang sehari-hari dihimpit rutinitas. Mereka adalah orang yang sangat sibuk, dan hanya memiliki waktu luang yang sangat sedikit. Setiap harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat kerja, lalu pulang sore hari. Di jalanan, fisik dan mental mereka diuji kemacetan, atau berdesak-desakan di comuter line. Setiap hari, para karyawan ini menjalani kehidupan yang tidak pasti, keras dan penuh tekanan.

Lalu benarkah warga Jakarta (dan kota-kota penyangganya—kemudian disebut Jakarta saja untuk mempermudah) adalah masyarakat yang plural dan sudah terbiasa menyikapi perbedaan? Benarkah warga Jakarta adalah warga yang dewasa?  

Seseorang dapat menghargai perbedaan setelah mengalami “persentuhan-persentuhan” dengan perbedaan itu. Wujud dari persentuhan itu adalah dialog, baik verbal maupun non verbal. Dari dialog inilah muncul kesepahaman, atau setidaknya pengertian bahwa orang yang berbeda itu tidak sepenuhnya berbeda. Perbedaan itu memang ada, tetapi bersamaan dengan itu selalu ada yang sama.  Dialog itulah yang membuka dimensi-dimensi lain dari pihak yang berbeda. Bahwa ia mungkin memiliki agama yang berbeda, ras yang berbeda, akan tetapi ia toh hanya seorang bapak dari anak-anaknya, seorang suami dari istrinya, seorang anak dari bapaknya.  

Masalahnya, di tengah rutinitas yang padat itu, kapankah ruang terjadinya dialog? Seorang muslim bisa saja bertetangga dengan non-Muslim, tetapi dapatkah mereka bertegur sapa, bicara ngalor-ngidul, ngopi di pos ronda, saling mendalami permasalahan dan kekhawatiran masing-masing, padahal mereka nyaris tidak punya waktu senggang. Dan waktu senggang yang sedikit itu pun musti digunakan sebaik mungkin untuk keluarga dan tubuh karena besoknya harus kembali pada rutinitas. Lalu kapan bergaul dengan tentangga? Kapan bersentuhan dengan yang berbeda, kapan memahami yang berbeda?

Beban rutinitas, tekanan hidup dan ketidakpastian ini, masih juga ditambah dengan arus informasi yang setiap hari menggempur mereka. Informasi sangat mudah didapatkan, tetapi kemampuan mengklarifikasi informasi tidak mencukupi. Dalam keadaan ini, badai informasi justru menjadi beban yang kian menyiksa.

Lantas apa arti pluralitas? Apa makna keterbukaan informasi bagi kehidupan yang seperti ini? Pluralitas dan keterbukaan itu telah menjadi kerangkeng alih-alih komponen yang mencerahkan. Masyarakat yang plural dan sudah terbiasa menyikapi perbedaan itu tak lebih dari cerita-cerita di media. Karena fakta di lapangan lebih menunjukkan sebaliknya; masyarakat goa yang tertutup, yang tidak berani menengok dunia luar karena selamanya merasa takut.

Jika kamu ingin mengendalikan seseorang, berikanlah apa yang ia inginkan. Jika kamu ingin mengendalikan dua orang, jadilah seorang penengah. Dan jika kamu ingin mengendalikan banyak orang, buatlah mereka ketakutan. Tanamkan di jiwa mereka akan adanya sebuah bahaya yang mengancam. Masyarakat yang takut adalah bensin yang siap dibakar. Kamu hanya butuh pemantiknya, dan itu bernama agama.  


Komentar