Novel Pikiran dan Novel Perasaan

Sekian lama tidak membaca novel yang mampu mengaduk-aduk perasaan, aku menemukan Trilogi Cintaku di Kampus Biru. Kecewa, marah, getir, gemas, takut, was-was, sayang, kocak, adalah eksponen perasaan yang hadir secara insten saat membaca karya Ashadi Siregar ini.  Tidak bermaksud berlebihan, tapi begitulah adanya.


Dan menurutku, aku beruntung sekaligus merasa malu dan bodoh ketika menemukan lalu membaca novel ini. Bodoh karena sebetulnya pengarang Ashadi Siregar dan karyanya sudah kudengar dari dulu, tapi kenapa baru dibaca sekarang? Karena hal ini aku merasa seperti orang pedalaman yang jauh dari akses-akses kebudayaan. Aku merasa bodoh dan malu. Namun, aku juga merasa beruntung karena di tengah pusaran novel-novel yang memanjakan pikiran, aku masih bisa membaca novel yang mengaduk perasaan.

Dewasa ini, ada semacam kredo bahwa novel yang bagus adalah novel yang mampu menghadirkan data-data secara persis—entah itu data sejarah, data geografis, ataupun data-data lain yang bersifat ilmiah—,dan ditullis dengan gaya thriller.


Misteri dimunculkan, lalu dibuka pelan-pelan agar ketegangan dirasakan secara intens oleh pembaca, dan rasa penasaran tetap terjaga dari awal sampai akhir cerita.  Novel ini menawan pikiran, dan membuat penasaran. Novel-novel Dan Brown adalah contoh paling nyata dari novel-novel semacam ini. Novel-novelnya tentu saja sangat bagus, layak dibaca, dan terakhir membaca Inferno saya jadi ingin jalan-jalan ke Florenc, Venesia, dan Turki. Saya ingin jalan-jalan di kota tua, merasakan aura Aya Shopia, ataupun Basilica Santo Markus.  

Akan tetapi, novel-novel yang mampu menggali sisi kemanusiaan sampai yang paling dalam dan rahasia, pun tak kalah bagus. Novel-novel ini membuat kita bercermin, lalu memikirkan kembali hakikat kemanusiaan kita.


Hal-hal yang ditulis, memang yang “remeh temeh” saja; cinta, kecewa, sakit hati, harapan, putus asa, tapi selamanya semua itu tetap penting dan relevan. Cerita-cerita ini memunculkan wajah kemanusiaan. Kita bukan tidak mungkin akan lebih mengenal diri kita setelah membaca novel-novel semacam ini. 

Dua jenis novel ini (sebut saja novel pikiran dan novel perasaan) bukan sesuatu yang harus dipertentangkan, sebab keduanya punya keindahan dan daya tarik tersendiri. Sebagai halnya keindahan bunga mawar dan bunga melati yang tidak bisa dibandingkan. Keduanya hanya bisa disebut Indah.

Komentar