Widuri di Tangan Ashadi (bag 2)

Sebelum kekejaman hidup ditimpakan padanya, saat ia mececap ilmu dan pengalaman di Gajah Mada, Widuri jatuh cinta pada seorang laki-laki. Di matanya, laki-laki itu sangat istimewa, jarang bicara, dan selalu tampak tenang. Matanya memang murung, menunjukkan kepekaan yang berlebih dalam memandang kehidupan. Namun, sorot mata laki-laki itu adalah pancaran yang tulus, jujur, dan kokoh. Mata itu adalah mata orang-orang yang rela membela idealismenya mati-matian. Widuri mencintai laki-laki ini, tapi tidak berani mengungkapkannya.

Adapun Tody, begitulah laki-laki itu dipanggil, tidak lagi memiliki kulit yang bisa ditembus harapan berkasih-kasihan sebagaimana lelaki pada umumnya. Kulitnya terlalu keras karena ditempa oleh banyak percintaan yang gagal.

Kaum lelaki biasanya akan terbawa perasaan oleh sedikit perhatian perempuan. Lelaki akan gampang menyangka bahwa dirinya dilirik, dirinya disukai, dicintai. Lalu ketika laki-laki itu mengambil inisiatif untuk berpacaran, perempuan yang disangka menyukainya itu menolaknya. Harapan yang mengawang-awang di angkasa jatuhlah ke dasar tanah yang paling keras. Dan laki-laki pada umumnya tak pernah mengambil pelajaran. Betapa pun seringnya mereka jatuh, perasaan bodoh itu selalu muncul dan dituruti.

Tody berbeda. Ia kecewa beberapa kali, lalu memutuskan untuk berhenti menduga disukai. Ia memandang tawar setiap perhatian perempuan dan mengabaikan apa pun yang bisa menyebabkan hatinya salah paham. Di sinilah kepekaannya terhadap sinyal-sinyal “mencurigakan“ dari lawan jenis pelan-pelan dibunuhnya. Ia tidak bisa lagi menangkap isyarat, kasar atau halus, lalu memandang setiap perempuan dengan pandangan yang sama; mereka hanya daging dan tulang yang tidak memiliki perasaan apa pun padanya.  

Padahal Widuri mencintainya, setulus sepenuh perasaannya!

Tak ada lain, Widuri dan Tody, sekalipun mereka sering berjumpa, bertegur sapa, dan bekerja di dalam ruangan yang sama, pada hakikatnya adalah si buta dan si tuli. Si Buta tidak tahu rupa si tuli. Si tuli tidak mengerti suara si buta.

Jarum jam, menit dan detik, adalah tiga buah pedang yang siap mencacah tubuh Widuri kapan saja. Setiap gerakan ketiganya adalah tatapan yang giris dari kismat yang tidak pernah memihak padanya. Tody, sebab alasan yang tidak perlu diceritakan di sini, menikah dengan Irawati si ular betina yang telah menistakan hidup Widuri. Tody lelaki yang dicintainya! Tody lelaki yang dipuja dan didambanya. Lelaki yang ia harapkan menjadi ayah dari anak-anaknya. Lelaki yang memiliki ruang tersendiri dalam setiap doanya! Menikah dengan Irawati si Iblis.

Jika saja Widuri hidup baik-baik saja. Jika saja ia diberkahi kebahagiaan oleh pernikahannya. Tak perlulah rasa kasihan berlebihan terhadap nasibnya. Namun, Widuri mengetahui pernikahan Tody ketika ia dalam keadaan hancur, remuk, putus asa. Perutnya semakin membuncit, ayahnya berpulang, suaminya menginggalkannya!

Satu-satunya penyangga kehidupan Widuri adalah anaknya. Anak ini pun, ketika Widuri mampu bangkit dan pindah ke Jakarta untuk bekerja, dibunuh pula oleh Ashadi. Pengarang kejam ini mengirimkan seorang penunggang motor yang gila-gilaan di lorong gang depan rumah Widuri. Anaknya, berusia 5 tahunan, berlari dari rumah ke tepi gang, dan, terjadilah apa yang seharusnya terjadi menurut sang pengarang. Anak itu tertabrak, luka serius di kepala, lalu meninggal di rumah sakit.  

Ada yang bilang bahwa nasib buruk seperti hantu yang mengincar siapa saja secara acak. Ia tak punya mata, hati ataupun perangkat-perangkat lain yang bisa dijadikan pertimbangan olehnya sebelum menghinggapi seseorang. Ia hanya memilih, lalu jadilah. Namun, di dunia Widuri, sepertinya nasib buruk itu adalah hantu pengintai. 

Komentar