
Adapun Tody, begitulah laki-laki itu dipanggil,
tidak lagi memiliki kulit yang bisa ditembus harapan berkasih-kasihan
sebagaimana lelaki pada umumnya. Kulitnya terlalu keras karena ditempa oleh
banyak percintaan yang gagal.
Kaum lelaki biasanya akan terbawa perasaan oleh
sedikit perhatian perempuan. Lelaki akan gampang menyangka bahwa dirinya
dilirik, dirinya disukai, dicintai. Lalu ketika laki-laki itu mengambil inisiatif
untuk berpacaran, perempuan yang disangka menyukainya itu menolaknya. Harapan
yang mengawang-awang di angkasa jatuhlah ke dasar tanah yang paling keras. Dan
laki-laki pada umumnya tak pernah mengambil pelajaran. Betapa pun seringnya
mereka jatuh, perasaan bodoh itu selalu muncul dan dituruti.
Tody berbeda. Ia kecewa beberapa kali, lalu memutuskan
untuk berhenti menduga disukai. Ia memandang tawar setiap perhatian perempuan
dan mengabaikan apa pun yang bisa menyebabkan hatinya salah paham. Di sinilah
kepekaannya terhadap sinyal-sinyal “mencurigakan“ dari lawan jenis pelan-pelan dibunuhnya.
Ia tidak bisa lagi menangkap isyarat, kasar atau halus, lalu memandang setiap
perempuan dengan pandangan yang sama; mereka hanya daging dan tulang yang tidak
memiliki perasaan apa pun padanya.
Padahal Widuri mencintainya, setulus sepenuh
perasaannya!
Tak ada lain, Widuri dan Tody, sekalipun mereka
sering berjumpa, bertegur sapa, dan bekerja di dalam ruangan yang sama, pada
hakikatnya adalah si buta dan si tuli. Si Buta tidak tahu rupa si tuli. Si tuli
tidak mengerti suara si buta.

Jika saja Widuri hidup baik-baik saja. Jika
saja ia diberkahi kebahagiaan oleh pernikahannya. Tak perlulah rasa kasihan
berlebihan terhadap nasibnya. Namun, Widuri mengetahui pernikahan Tody ketika
ia dalam keadaan hancur, remuk, putus asa. Perutnya semakin membuncit, ayahnya
berpulang, suaminya menginggalkannya!
Satu-satunya penyangga kehidupan Widuri adalah
anaknya. Anak ini pun, ketika Widuri mampu bangkit dan pindah ke Jakarta untuk bekerja,
dibunuh pula oleh Ashadi. Pengarang kejam ini mengirimkan seorang penunggang
motor yang gila-gilaan di lorong gang depan rumah Widuri. Anaknya, berusia 5
tahunan, berlari dari rumah ke tepi gang, dan, terjadilah apa yang seharusnya
terjadi menurut sang pengarang. Anak itu tertabrak, luka serius di kepala, lalu
meninggal di rumah sakit.
Ada yang bilang bahwa nasib buruk seperti hantu
yang mengincar siapa saja secara acak. Ia tak punya mata, hati ataupun
perangkat-perangkat lain yang bisa dijadikan pertimbangan olehnya sebelum
menghinggapi seseorang. Ia hanya memilih, lalu jadilah. Namun, di dunia Widuri,
sepertinya nasib buruk itu adalah hantu pengintai.
Komentar
Posting Komentar