Sebelum kekejaman hidup ditimpakan padanya, saat
ia mececap ilmu dan pengalaman di Gajah Mada, Widuri jatuh cinta pada seorang
laki-laki. Di matanya, laki-laki itu sangat istimewa, jarang bicara, dan selalu
tampak tenang. Matanya memang murung, menunjukkan kepekaan yang berlebih dalam
memandang kehidupan. Namun, sorot mata laki-laki itu adalah pancaran yang
tulus, jujur, dan kokoh. Mata itu adalah mata orang-orang yang rela membela
idealismenya mati-matian. Widuri mencintai laki-laki ini, tapi tidak berani
mengungkapkannya.
Adapun Tody, begitulah laki-laki itu dipanggil,
tidak lagi memiliki kulit yang bisa ditembus harapan berkasih-kasihan
sebagaimana lelaki pada umumnya. Kulitnya terlalu keras karena ditempa oleh
banyak percintaan yang gagal.
Kaum lelaki biasanya akan terbawa perasaan oleh
sedikit perhatian perempuan. Lelaki akan gampang menyangka bahwa dirinya
dilirik, dirinya disukai, dicintai. Lalu ketika laki-laki itu mengambil inisiatif
untuk berpacaran, perempuan yang disangka menyukainya itu menolaknya. Harapan
yang mengawang-awang di angkasa jatuhlah ke dasar tanah yang paling keras. Dan
laki-laki pada umumnya tak pernah mengambil pelajaran. Betapa pun seringnya
mereka jatuh, perasaan bodoh itu selalu muncul dan dituruti.
Tody berbeda. Ia kecewa beberapa kali, lalu memutuskan
untuk berhenti menduga disukai. Ia memandang tawar setiap perhatian perempuan
dan mengabaikan apa pun yang bisa menyebabkan hatinya salah paham. Di sinilah
kepekaannya terhadap sinyal-sinyal “mencurigakan“ dari lawan jenis pelan-pelan dibunuhnya.
Ia tidak bisa lagi menangkap isyarat, kasar atau halus, lalu memandang setiap
perempuan dengan pandangan yang sama; mereka hanya daging dan tulang yang tidak
memiliki perasaan apa pun padanya.
Padahal Widuri mencintainya, setulus sepenuh
perasaannya!
Tak ada lain, Widuri dan Tody, sekalipun mereka
sering berjumpa, bertegur sapa, dan bekerja di dalam ruangan yang sama, pada
hakikatnya adalah si buta dan si tuli. Si Buta tidak tahu rupa si tuli. Si tuli
tidak mengerti suara si buta.
Jarum jam, menit dan detik, adalah tiga buah
pedang yang siap mencacah tubuh Widuri kapan saja. Setiap gerakan ketiganya
adalah tatapan yang giris dari kismat yang tidak pernah memihak padanya. Tody,
sebab alasan yang tidak perlu diceritakan di sini, menikah dengan Irawati si
ular betina yang telah menistakan hidup Widuri. Tody lelaki yang dicintainya!
Tody lelaki yang dipuja dan didambanya. Lelaki yang ia harapkan menjadi ayah
dari anak-anaknya. Lelaki yang memiliki ruang tersendiri dalam setiap doanya!
Menikah dengan Irawati si Iblis.
Jika saja Widuri hidup baik-baik saja. Jika
saja ia diberkahi kebahagiaan oleh pernikahannya. Tak perlulah rasa kasihan
berlebihan terhadap nasibnya. Namun, Widuri mengetahui pernikahan Tody ketika
ia dalam keadaan hancur, remuk, putus asa. Perutnya semakin membuncit, ayahnya
berpulang, suaminya menginggalkannya!
Satu-satunya penyangga kehidupan Widuri adalah
anaknya. Anak ini pun, ketika Widuri mampu bangkit dan pindah ke Jakarta untuk bekerja,
dibunuh pula oleh Ashadi. Pengarang kejam ini mengirimkan seorang penunggang
motor yang gila-gilaan di lorong gang depan rumah Widuri. Anaknya, berusia 5
tahunan, berlari dari rumah ke tepi gang, dan, terjadilah apa yang seharusnya
terjadi menurut sang pengarang. Anak itu tertabrak, luka serius di kepala, lalu
meninggal di rumah sakit.
Ada yang bilang bahwa nasib buruk seperti hantu
yang mengincar siapa saja secara acak. Ia tak punya mata, hati ataupun
perangkat-perangkat lain yang bisa dijadikan pertimbangan olehnya sebelum
menghinggapi seseorang. Ia hanya memilih, lalu jadilah. Namun, di dunia Widuri,
sepertinya nasib buruk itu adalah hantu pengintai.
Komentar
Posting Komentar