Bolehkah Merasa Iri kepada Linda Christanty?


Setelah membaca masa kecil Linda Chirstanty, aku merasa hopeless, tapi juga iri, dan kemudian mafhum bagaimana di umur 19 tahun dia sudah bisa menjadi pemenang lomba cerpen Kompas. Namanya bersanding dengan Bre Redana, Putu Wijaya dan Satyagraha Hoerip, dan ia sembilas tahun! Pada usia yang sama, aku baru saja lulus MAN dan luntang-lantung karena tidak langsung kuliah. Ikut SPMB gagal. Daftar ke LIPIA juga gagal (Aku belum tahu apa sebetulnya LIPIA saat itu. Daftar ke sana karena orang tuaku mendapat saran dari tetangga. Katanya; bisa dapat beasiswa ke Mesir!). 

Pada usia 19 tahun itu, aku tinggal di rumah, kadang membantu orang tua mengerjakan sawah, kadang, ketika hari beranjak siang aku pergi ke hutan untuk mencari "kirinyuh", sejenis rumput liar, yang disenangi ikan gurame yang kupelihara di kolam belakang rumah. Berusia 19 tahun artinya aku sudah hidup di bumi selama 19 tahun, dan 19 tahun itu kuhabiskan (nyaris) tanpa membaca. 

Kampungku tidak bisa dikatakan tertinggal, sebaliknya bahkan terlihat sejahtera. Listrik sudah masuk sejak tahun 1982, dan jika kalian berkunjung untuk melihat-lihat rumah-rumahnya, tampaklah dari sana kesejahteraan yang merata di kampungku. Arsitektur rumah-rumahnya memang biasa saja, gaya kampung, tidak ada yang mencolok, tetapi penampakannya menunjukan bahwa rumah-rumah itu selalu diperhatikan. Tidak ada rumah panggung. Tidak ada rumah yang belum selesai diplester kemudian ditempati. Tidak ada rumah yang tidak dicat. Atau langit-langit yang jebol lalu tidak diperbaiki. Dan ketika lebaran tiba, khususnya rumah-rumah yang berada di pinggir jalan selalu dicat ulang, dinding ataupun pagarnya.   

Ketika kusebut kesejahteraan di kampungku merata, maksudku adalah orang miskinnya tidak miskin-miskin amat, tidak pernah kelaparan dan selalu punya cadangan beras. Dan orang kayanya pun tidak kaya-kaya amat, dan gaya hidupnya tidak seperti orang kaya. Hanya besar-kecil rumah dan luas sawah saja yang menjadi pembeda antara seorang kaya dan miskin. Orang yang paling kaya memang punya Honda CRV, tapi ia tidak menyengaja berlibur bersama keluarganya seperti layaknya orang-orang kaya, ia juga tidak pergi ke restoran berbintang untuk menegaskan status sosialnya. Orang kaya di kampungku tidak begitu. Makanan mereka sama dengan orang-orang miskinnya, paling bagus daging ayam-sapi-kambing, dan itu pun jenis-jenis masakan rumahan, biasanya berjenis rendang, sate, opor, cuma itu.  

Meski kampungku terlihat sejahtera tetapi ada satu hal yang sepertinya tidak pernah menjadi bahan pikiran orang-orangnya; bahan bacaan, buku, majalah, koran. Menemukannya, wabil khusus buku, sangat sulit. Aku tidak ingat apakah di rumahku pernah ada buku ketika itu, satu saja. Bukan LKS, bukan buku pegangan mata pelajaran sekolah, tetapi buku yang sebenarnya. Satu buku saja aku lupa apakah pernah ada. Dan harap diingat, jika dibanding keluarga lain di kampungku, bapak ibuku termasuk orang yang sangat peduli dengan pendidikan. Mereka tidak kaya tapi berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana. Di kampungku tidak ada yang begitu, kecuali orang yang benar-benar punya uang saja. Bahkan, salah satu orang kaya di kampungku menyekolahkan anaknya hanya sampai SMA. Padahal jika ia mau, sampai S3 saja aku yakin ia mampu. Artinya, meski kampungku bukan kampung tertinggal, dan aku lahir di keluarga yang peduli pada pendidikan, buku tetap saja merupakan benda yang sulit ditemukan. Dan jika di tengah keluarga yang peduli pada pendidikan saja tidak ada, apalagi di keluarga yang tidak peduli. Karena itulah aku yakin, hanya satu dua orang saja di kampungku yang punya buku ketika itu. 

Bagaimana dengan taman baca atau perpustakaan desa? Bukankah di desa ada sekolah, dan di sekolah seharusnya ada perpustakaan? Dengan berat hati aku jawab; tidak ada taman baca, tidak ada perpustakaan desa, dan seingatku perpustakaan sekolah hanya diisi buku-buku pelajaran saja, itu pun hanya satu rak, di ruang kepala sekolah. Siapa yang mau baca? 

Pengalaman pertamaku membaca cerpen adalah saat bermain ke rumah bibiku. Anak sulungnya sudah SMA, dan aku ketika itu awal masuk SMP. Di rumahnyalah aku menemukan buku antologi cerpen dan majalah bekas yang ada rubrik cerpennya. Mungkin majalah Anida atau apa entahlah aku lupa. Tetapi yang jelas cerpen-cerpen yang kubaca pertama kali itu adalah karya-karya Pipit Senja, Golagong, dan Helvi Tyana Rossa. Ketika itu aku boro-boro ngerti soal Komunitas Lingkar Pena, kultur Islam kota, KAMI, PK dan kontestasi-kontestasi yang semacam itu. Yang kuingat adalah cerpen-cerpennya selalu membicarakan Islam, dan aku tidak memedulikan karakter-karakternya, yang biasanya muslimah cantik berkerudung besar berkacamata hitam dan mengendarai mobil dan bukan main takwanya, bukan jenis ibu atau tetanggaku yang dampal kakinya pecah-pecah karena sering ke sawah. Aku hanya membaca saja, mengikuti alur cerita dan itu terasa menyenangkan.         

Jadi, ketika Linda Christanty kecil berusia 8 tahun itu berdiri menatap laut dari balik jendela rumah kakeknya sambil membayangkan dirinya menjadi Victor Hugo, karena ia sejak kecil sudah membaca karya-karya sastra klasik, aku pada umur yang sama (itu berarti kelas 2 SD) entah sedang membayangkan apa. Ketika aku melihat padi hijau, Gunung Syawal dan Gunung Galunggung, mungkin aku hanya mengagumi itu sebagai padi dan gunung, atau bahkan tidak kagum sama sekali. Intinya, aku tidak ingat pernah membayangkan apa, aku juga tidak tahu apa itu imajinasi. Aku hanya ingat, bahwa pada suatu pagi ketika berjalan bersama teman-teman ke sekolah, aku mendapat kabar dari temanku bahwa wali kelasku diganti guru baru perempuan yang galak. Hari sebelumnya, aku memang tidak masuk karena sakit. Lalu kataku, "Lihat, lihat, inilah yang kulakukan kalau dia marah-marah." Sambil menungging. Lalu kami tertawa. 

Bagaimana Linda bisa menjadi penulis? Bagaimana aku bisa menjadi penulis?! Pertanyaan pertama adalah narasi tentang serangkaian kehidupan yang cemerlang. Lingkungan keluarga yang senang membaca, kakek yang mantan anggota PNI dan bekas ketua organisasi buruh, yang selalu membicarakan hal-hal menarik dengannya, entah tentang politik luar negeri ataupun dalam negeri. Kehidupan masa kecil yang tidak kekurangan buku, tidak kekurangan hasrat dan motivasi untuk lahap membaca. Kakeknya senang membaca, ibunya berlangganan majalah Femina, dan di masa ingusan ia bahkan memiliki komunitas pembaca. Wawasannya sudah terkembang sejak kecil, figurnya sudah terbentuk, lingkungannya luar biasa suportif. Lalu apalagi?  Seolah tuhan menuliskan jari-Nya di genting rumah Linda; beginilah rumah calon penulis hebat! Adapun pertanyaan yang kedua di atas lebih merupakan wujud keputus-asaan, puncak ratapan atas kurangan diri sekian lamanya, yang jika dibutuhkan, suatu saat nanti narasinya bisa menjadi apologi untuk kegagalan.

Jadi, tidak bolehkah aku merasa iri?  

Komentar