Tentang Mimpi dan Bacot yang Tak Perlu


Mimpi besar atau kecil pada akhirnya sama saja, keduanya ditentukan oleh sejauh mana pengetahuanmu tentang jalan/cara menggapainya. Banyuwangi dari Jakarta mungkin terasa jauh, tetapi jika kita hafal jalannya, lika-liku tikungannya, naik turun tanjakannya, kita punya bayangan tentang apa yang akan terjadi di perjalanan. Dan  bayangan atau pengetahuan itu adalah kekuatan yang merapatkan jarak. Sebaliknya, membuat layang-layang, bagi otak dan pikiran sebesar upil, akan menjadi pekerjaan yang menyulitkan. Pikiran segede upil itu tidak dapat membayangkan bagaimana sebetulnya tahapan-tahapan membuat layang-layang. Di pikiran segede upil itu hanya ada tulisan "Layang-layang", selebihnya gelap. 

Jadi, tidak ada mimpi besar jika tahu cara mencapainya, sebaliknya tidak ada mimpi kecil jika kita tidak tahu cara mencapainya. 

Aku tidak tahu apakah mimpiku menjadi novelis ini termasuk mimpi besar atau kecil. Hanya saja, ketika aku berusaha mencapainya, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Ya, sepertinya, membuat novel, buatku, adalah mimpi besar. Sepertinya, isi kepalaku hanya segede upil saja. Ruangnya terlalu sempit. Saringannya terlalu rapat dan karenanya hanya bisa diisi soal kecil-kecil seperti ukuran bokong dan payudara. Sepertinya memang begitu. 

Ingat, sodara. Di sini aku tidak bicara menjadi penulis besar, tidak Pram, tidak Idrus, tidak pula Eka Kurniawan--aku menganggap Eka penulis besar. Di sini aku hanya bicara soal menulis novel, membuat cerita dan tokoh yang ideal menurutku, merampungkannya, lalu menerbitkannya dengan uangku sendiri. Tak peduli dibaca orang atau tidak, tak peduli orang mengenalku sebagai novelis atau tidak. Aku hanya ingin menyelesaikan sesuatu setelah memulainya dari nol. Jadi, apakah menulis novel ini adalah mimpi besar? Celakanya memang begitu.

Sebetulnya, proyek pribadi ini sudah kumulai sejak sebualan yang lalu. Namun, ketika menulis, sialnya aku tidak mampu menahan diri untuk membaca tulisanku padahal baru sehalaman, aku lantas menghapusnya karena itu bukan sesuatu yang ideal menurutku. Itu bukan tulisan yang aku inginkan. Bukan karakter yang ingin aku ciptakan. Aku merasa, jika seumur hidupku aku hanya mampu membuat satu novel, paling tidak, ya, paling tidak, novel itu haruslah menjadi karya yang benar-benar aku inginkan. Oleh karena itu, ketika aku membaca tulisan yang baru sehalaman itu, lalu aku menemukan sesuatu yang tidak kuharapkan, aku segera menghapusnya. Sialnya, semakin dibaca ulang, semakin aku merasa tulisanku muncul dari septiteng, yang bau dan menjijikkan. Ya, aku menghapusnya. Dan, ya, i'm going back to the start!

Katanya, menulis harus dibedakan dengan menyunting. Tulis setengah jam, lalu edit seharian, begitulah kurang lebih. Maksudnya, saat menulis biarkan saja tulisan itu terus mengalir. Tak perlu pemikiran panjang, atau yang njelimet-njelimet. Biar mengalir seperti sungai. Dan setelah itu, ketika sudah selesai, barulah kau habisi tulisanmu sendiri dengan menyuntingnya habis-hibisan. 

Suwer!! Aku ingin sekali mencobanya. Aku ingin membiarkan pikiranku mengalir dalam tulisan yang juga mengalir. Mengikutinya kemana pun ia pergi. Aku ingin menjadi semacam ayah yang bijak yang selalu mengikuti anaknya, tidak mengekangnya, membebaskannya dan mengulurkan tangan hanya ketika ia terjatuh. Namun, pengalaman indah itu tidak pernah kualami. "Sifat editor"ku yang degil selalu membuat pantatku gatal untuk mengintip, lalu melihat, lalu memikirkan, apa yang sudah kutulis di halaman sebelumnya. Dan harus kuakui, aku tidak bisa menahan rasa gatal. Rasa gatal ini, tanpa kuketahui di mana atau kapan mencapai klimaks, orgasme, selalu saja kuikuti, dan ya, pikiranku semakin ruwet, dan akhirnya mentok, lalu mendekam di gua kemalasan seperti beruang di musim dingin. Aku sempat berpikir, mungkin aku harus berhenti ngedit tulisan, lalu mencoba membuat kebiasaan baru dari awal. Seolah menjadi anak kecil yang pelan-pelan membangun pola keseharian. Namun tetap saja usaha itu gagal. Lagi-lagi aku melihat ke belakang, lagi-lagi aku melihat ke belakang. Aku tetap saja menjadi si gatal yang senang memperuwet pikiranku sendiri. 

Katanya, menulis itu adalah kegiatan spiritual--mungkin tidak keseluruhannya tapi sebagian prosesnya. Semacam hasil dari meditasi di dalam keheningan, atau sari-sari pikiran yang melayang dari ubun-ubun. Proses keluarnya sari-sari ini lebih sering merupakan proses yang tidak bisa dinalar. Ini seperti bercakap-cakap dengan dengan tuhan ketika kehidupan dan segala yang bising mengendap dalam kegelapan. Layaknya percakapan, ada saling kesepahaman yang dihasilkan darinya, ada sesuatu yang bisa dipetik, ada mutiara, ada berlian, atau apapun yang penting hasil. Buah atau hasil itulah sari-sari yang melayang dari ubun-ubun. Terus terang, membayangkan menulis, atau sebagian prosesnya, sebagai kegiatan spiritual, aku merasa bahwa menulis adalah pekerjaan serius. Kegiatan yang jika perlu seluruh kulit kepalaku terlipat-lipat sebagai ombak. Dahi yang terlipat saja hanya menunjukan kegiatan yang seperenam kurang serius. Adapun keseriusan yang total melipat seluruhnya.

Apakah selama ini aku terlalu serius?! Sepertinya, iya.    

Katanya, (lagi) menulis tidak bisa tidak harus memiliki hasrat bermain-main. Sebab, dengan hasrat inilah segala bentuk baru dapat ditemukan. Segala kebakuan, pikiran tentang ragam, corak, tipe, ataupun yang semua itu memasukkan tulisan ke dalam kotak yang sudah ada, adalah bentuk lain dari pemasungan kreativitas. Membayangkan kotak (entah itu realis, surealis, karakter bulat, tokoh yang terkonsep) sama halnya membatasi segala kemungkinan yang bisa saja muncul di tengah perjalanan menulis. Kemungkinan-kemungkinan terbukannya jalan baru, kotak baru yang sama sekali baru, yang segar, yang jauh berbeda dari kotak-kotak sebelumnya. Hasrat bermain-main pula yang membedakan kerja robotik dengan kerja manusia. Hasrat bermain itulah energi kehidupan. Energi yang mengubah. Lokomotif yang menggerakkan!  

Jadi, sudahkah hasrat bermain-main itu kau miliki? Sepertinya belum, dan layak dicoba. Tapi lagi-lagi, sepertinya, jika kubayangkan, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Ah, banyak bacot lu!

Komentar