Yang Fantastis dari "Captain Fantastic"



Judul Film : Captain Fantastic (2016)
Director     : Matt Ross
Writer        : Matt Ross
Stars   : Viggo Mortensen, George MacKay, Samantha Isler, etc.

Imdb   : 8,0

Dapatkah kita menjalani kehidupan yang kita mau? Kehidupan yang tidak perlu memikirkan pendapat orang, kehidupan yang berada di luar apa yang dikonstruksikan? Kehidupan yang murni, jujur, dan tulus. Kehidupan yang tidak diributi aturan-aturan, tertulis ataupun tidak, yang dijalankan demi menciptakan harmoni. Yang dijalankan tanpa pertanyaan, hanya dilaksanakan begitu saja. Yang begitu karena begitu. Di mana pun itu, keluarga ataupun masyarakat.

Jika kita ingin telanjang, maka telanjanglah kita tanpa peduli dengan norma dan adat. Sebab, kau tahu bahwa dunia penis adalah dunia konstruksi, kau tahu bahwa setiap laki-laki (kecuali yang dikebiri) pasti punya satu penis, lalu apa anehnya?! Jika kita berjalan-jalan tanpa sehelai benang, lalu si burung yang kedinginan itu gundal-gandul disaksikan orang, apa masalahnya? Kau punya, dia punya, mereka punya. Sama seperti kau punya mata punya telinga. Apa karena penis bentuknya menjijikkan hingga ia harus ditutupi, lalu bagaimana dengan hidung yang sepesek dan sejelek apa pun bentuknya selalu dibiarkan terbuka?

Dunia ini adalah hasil konstruksi, bukan? Karenanya warna memiliki makna, lalu ada warna-warna tertentu yang tidak boleh dipakai pada moment-moment tertentu, yang sekaligus menandaskan ada warna yang lebih pantas digunakan pada moment tertentu itu. Saudaramu, kakakmu, tetanggamu, kawanmu, atau siapa pun yang meninggal, kau tidak diperkenankan mengenakan baju warna cerah di upacara pemakaman. Karena kematian itu menyedihkan, kematian itu membawa luka, dan tidak ada luka yang patut dirayakan dengan riang. Jadi, pakailah kemeja warna hitam, celana hitam, kaca mata hitam, dan kuku tanganmu, wahai perempuan, kutek warna cetarnya itu gantilah dengan warna hitam. Warna hitam adalah cara untuk menunjukan kepada orang di luar dirimu, bahwa kau merasa sedih dan kehilangan. Jika kau hidup berdua saja dengan istrimu, atau hanya dengan keluargamu, lalu istri atau keluargamu itu meninggal, maka kau merasa sedih, merasa pilu dan itu cukup. Namun, kau hidup bermasyarakat, kau bertemu orang, kau hidup di dalam aturan. Maka sedih tidak bisa dikunyah sendirian. Seperti halnya bahagia, sedih itu pun harus kau tunjukkan ke sebanyak mungkin orang.

Jadi, dapatkah kita hidup di luar garis itu?

Ben bersama Leslie istrinya mencoba membuat kehidupan “di luar garis” itu, atau apa yang mereka sebut sebagai “Surga Republik-nya Plato.” Bersama keenam anaknya, mereka tinggal di hutan—mungkin karena konsep itu mustahil dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat kekinian. Membuat rumah dan makan dari apa yang dapat ditemukan di hutan. Ben dan Leslie membuat aturan dan kehidupan sendiri untuk anak-anaknya. Akan halnya Republik Plato, bagi mereka pun otot dan otak (dan penyebutan ini bukan skala prioritas) adalah dua hal yang berjalan seiringan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka menerapkan latihan-latihan fisik yang, dalam pandangan orang kebanyakan, di luar kewajaran untuk anak-anak seusia Zaja dan Rellian. Pun tidak mengherankan jika anak seusia Zaja, si bungsu berusia 8 tahun, sudah mahir menjelaskan struktur tulang. Mereka melatih otot. Mereka melatih otak. Dan keenam anak mereka tumbuh dengan sangat mengesankan.

Semua hal yang membebaskan berpangkal pada kebebasan. Dari kebebasan itulah muncul kebebasan lain; bebas untuk menerapkan aturan sendiri, cara hidup sendiri, pendidikan sendiri, menerapkan segala hal yang dipandang baik tanpa peduli dengan kehendak zaman. Ben adalah sang kapten, tetapi dia tidak bisa bersikap sewenang-wenang. Setiap orang bebas menyetujui atau tidak setuju dengan suatu aturan. Akan tetapi, baik si penerima maupun si penolak harus mampu mengutarakan alasan-alasan rasional atas pilihannya. Mereka menolak alasan-alasan seperti "menarik/tidak menarik", "lumayan/tidak lumayan", "menyenangkan/tidak menyenangkan", juga kata-kata lain yang tidak bisa ditemukan alur logikanya. Dan ini berlaku untuk setiap anggota keluarga, dari Ben hingga Zaja. Jika Rellian menolak perayaan hari kelahiran Noam Chomsky dan memilih merayakan natal misalnya, ia harus menjelaskan alasan penolakannya. Dan alasan itu bukan karena perayaan Noam Chomsky tidak wajar, memalukan, tidak menarik atau sesuatu yang seperti itu. Rellian harus bisa menjelaskan kenapa ia “lebih memilih merayakan dongeng sihir elf daripada sejarah kemanusiaan.”

Hidup yang bebas, yang berada di luar garis, dipraktekkan secara konsisten oleh Ben. Ia percaya betul bahwa dari kondisi itulah “manusia yang seharusnya”, yakni manusia yang memiliki keterpaduan otot dan otak secara sempurna, dapat terbentuk. Otot dan otak bersama-sama mencapai level tertinggi yang bisa dicapai keduanya. Maka Ben pun sudah pasti keluar jauh dari garis dalam cara mendidik anak-anaknya. 

Rellian (kurang lebih 12 tahun) pada suatu latihan panjat tebing memegang tepi batu yang salah. Dan ia seketika saja ditarik gravitasi. Ia jatuh meluncur dalam kecepatan tinggi, lalu melenting dan tali carmentel membantingnya ke muka tebing. Tangan Rellian patah. Ia tergantung di ketinggian seperti lampu bohlam. Kakinya menginjak udara, tangannya berpegang pada awang-awang, ia keluar dari trek dan kesakitan. "Aku tidak bisa (melanjutkan). Tanganku (patah)!” Teriaknya kepada Ben yang juga sedang memanjat. Rell berkata sambil meringis, dan ia menatap Ben seperti kucing yang meminta dikasihani. Dan Ben, sang ayah, menjawab dengan dingin, "Tidak ada penyelamat. Tidak ada seorang pun yang akan tiba-tiba muncul dan akhirnya menyelematkanmu." Dan memang, tidak ada pertolongan untuk Rellian.

Kielyr dan Vespyr diadu dalam sebuah latihan berkelahi. Dan apa yang disebut berlatih adalah Vespyr menyerang dengan pisau betulan, sementara Kielyr yang tidak bersenjata berusaha melindungi dirinya. Vespyr pun mendapat arahan sebelum menyerang, bahwa ia harus menyerang titik-titik mematikan yang efektif membunuh lawan. Maka ginjal, ulu hati, plus jantung—atas saran dari Zaja, dijadikan target serangan Vespyr. Gadis ini pun menyerang Kielyr dengan ganas, pisau betulan itu disabet-sabetkannya tanpa iba. Ben menonton perkelahian itu dengan dingin. Ketika tangan Kielyr terluka karena hendak melindungi ginjalnya, barulah Ben menghentikan perkelahian itu. “Bagus,” ucap Ben tanpa emosi. “Apanya yang bagus, dia hampir membunuhku?!” Kielyr protes. Ben, seperti biasa, bertindak seolah itu bukan bahaya, santai sekali ia berkata, “Itulah kenapa kau harus melindungi dirimu.”

+++

Kita tidak tahu siapa Ben sebenarnya, apa latar belakang keluarganya, apa pendidikannya. Yang kita tahu, Ben sudah ada di sana, hidup dan berjuang untuk mewujudkan konsep hidupnya yang adi luhung untuk dirinya, juga keluarganya. Gaya hidup asketik, keberpihakan kepada alam dan kemanusiaan, kemampuan fisik yang sempurna, pengetahuan mendalam terhadap segala hal yang dimiliki olehnya dan yang berhasil diterapkan kepada anak-anaknya, amat pantas membuat Ben berkata, “Untuk apa sekolah formal jika tidak mencerdaskan, jika hanya menjadikan anak sebagai mesin industri, berkepribadian hedonis dan matrealistik?” Zaja yang berumur 8 tahun, di bawah didikannya, sudah bisa memahami dan memahamkan orang lain soal Bill of Right. Sementara dua keponakannya yang sekolah formal dan satu di antaranya sudah SMA, ketika ditanyakan soal yang sama, hanya bisa planga-plongo.

Tidak dibukanya latar belakang Sang Kapten agaknya untuk menunjukkan bahwa Ben hidup dalam ide, atau bahkan ide itu sendiri. Keputusan drastis yang diambil Ben itu pun karenanya mesti dipahami sebagai ejawantah dari ide, bukan hasil benturannya dengan kenyataan, keputus-asaan, juga kekecewaan. Mungkin karena itulah kita bisa memahami kenapa konsep itu luluh dengan gampangnya saat dihadapkan pada kenyataan.

Bo, yang didaftarkan ibunya sewaktu masih hidup, rupanya diterima oleh kampus-kampus ternama di Amerika. Ia ingin kuliah tapi yakin bahwa Ben tidak akan mengizinkannya. Dan benar saja. “Kampus-kampus itu tidak akan mengajarkan apa-apa padamu, Bo. Matematikamu hebat, fisikamu oke, kimia, sejarah, antropologi, apalagi? Kau sudah tahu segalanya, Bo,” kata Ben. Di luar dugaan, Bo menjawab sengit  “Tidak, aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya tahu dari buku-buku yang kubaca.” Ya, kenyataan selalu keras kepala kata Marx. Dan kekeraskepalaannya itu membuat Ben merasa gagal.

Perasaan itu mencapai puncaknya saat ia dengan mata kepala sendiri menyaksikan Kielyr terjatuh dari atap  saat hendak membujuk Rellian untuk pulang bersama mereka. Rellian tidak mau kembali ke hutan dan memilih tinggal bersama kakeknya. Ben memaksanya, gagal. Karena tidak ingin diketahui mertuanya, kakek anak-anaknya, mungkin juga Ben melihatnya sebagai kesempatan berlatih—seperti ketika mencuri di swalayan, Ben meminta Kielyr untuk naik ke atap rumah kakeknya dan membujuk Rell di kamar yang ditinggalinya. Malang, Kielyr menumpukan tangannya pada genting yang rapuh, dan dia terjatuh. Terluka cukup parah.

Setelah kecelakaan itu, Ben memikirkan semuanya, apa-apa yang sudah ia lakukan kepada anak-anaknya, termasuk semua latihan fisik, dan kehidupan yang diberikan kepada mereka. Ben selama ini merasa berhasil, merasa telah menciptakan sejarah kemanusiaan. Namun, kenyataan yang terjadi telah mengganti perasaan itu dengan keterpurukan dan kegagalan. “Ternyata selama ini kamu salah, Ben! Kamu sudah berlebihan.”

Dan ia meminta anak-anaknya untuk tinggal bersama kakeknya. Dan ia mencukur brewoknya di tengah perjalanan yang tidak diketahui tujuannya. Kehidupan seperti habis buat Ben. Tatapannya yang nyalang, yang penuh gairah terhadap segala hal, berganti dengan sorot takut dan redup.


Anak-anak Ben tidak tinggal bersama kakeknya dan memilih untuk melanjutkan hidup bersama Ben—kecuali Bo yang sudah kuliah. Namun, setelah benturan itu tampaknya tidak ada yang sama lagi. Mereka keluar dari hutan, tinggal di pedesaan, berdamai dengan kenyataan. Dan steve, bis tua yang menjadi perpustakaan sekaligus alat transportasi mereka, menjadi kandang ayam. Di akhir cerita, Ben bersama anak-anaknya duduk di meja makan untuk menikmati sarapan. Tetapi Ben seperti tidak ada di sana. Ia memandang ke luar melalui jendela. Entah apa di balik jendela itu, mungkin kehidupannya di hutan, mungkin juga penyesalan.

Komentar