Abe Lucas, Dosen filsafat,
pengajar baru di Braylin College, datang ke kampus itu “dengan terlambat.” Reputasinya
di bidang filsafat sudah mendahuluinya di kampus itu. Tulisan-tulisannya yang
cemerlang dan original membuat Abe tidak hanya disegani oleh calon koleganya di
Braylin, tetapi juga oleh calon mahasiswa-mahasiswinya. Braylin seolah tak
sabar menunggu Abe. Dan pada hari yang ditentukan, Abe memasuki ruang dekanat
dengan setengah sadar. Ya, Abe, sebagaimana reputasi baiknya dalam bidang filsafat,
memiliki reputasi lain yang juga tidak luput dari pembicaraan; ia adalah
seorang pemabuk yang tidak diragukan.
Abe dikekang oleh idenya sendiri
tentang eksistensialisme, bahwa keberadaan hidupnya harus berarti, dan
keberartian ini hanya bisa dicapai dengan kerja-kerja heroik tentang bagaimana
mengubah kehidupan di dunia menjadi lebih baik. Abe terpenjara oleh sebuah
pikiran besar tentang kehidupan itu. Mungkin karena dia seorang intelektual,
mungkin pula karena ia seorang pemimpi yang naif, barangkali karena kesatuan
alasan itu, Abe tidak pernah menyadari bahwa menjadi berarti dapat juga dicapai
dengan menjadi suami yang baik, misalnya, atau dosen filsafat yang bisa
diandalkan, atau sahabat yang dipercaya, atau lain-lain hal yang masuk akal
untuk dikerjakan. Abe memandang dirinya hanya sebagai manusia yang tanpa peran-peran
sosial, dan oleh karena itu, satu-satunya hal yang berarti untuknya adalah jika
dia mampu mengubah dunia dan manusia pada umumnya menjadi lebih baik. Tetapi
apa lebih baik itu? Lebih baik menurut Abe berarti tidak ada kejahatan, tidak
ada genocida, juga tidak ada pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Mungkin karena itu Abe pergi ke
daerah-daerah konflik untuk melihat langsung kenyataan dan terutama membuat
perbedaan untuk manusia seluruhnya. Filsuf sejati tidak merumuskan kenyataan,
tetapi mengubahnya. Begitulah kira-kira jalan pikiran Abe. Namun, sebuah
pekerjaan besar membutuhkan jiwa yang juga besar, dan di sinilah kelemahan Abe.
Ia patah menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya terbunuh di Irak. Teman sepermainannya
sejak kecil itu, dalam sebuah peliputan jurnalistik, menginjak ranjau darat.
Tidak diceritakan bagaimana tulang-belulang
dan darah dan daging di tubuh temannya itu hancur dilantak bom, tidak pula
diceritakan bagaimana kesedihan keluarga yang ditinggalkan temannya. Yang
diceritakan hanyalah bagaimana Abe, setelah kematian temannya itu, tidak lagi
menjadi seorang manusia seutuhnya. Ia jatuh ke derajat paling pesimis dalam
kehidupan manusia, menjadi seorang sinis akut, tidak memiliki tujuan hidup,
tidak lagi memiliki gairah untuk hidup. Yang tersisa dari Abe hanya tulang yang
diselubungi daging dan darah.
Belenggu keputus-asaan Abe telah
menariknya masuk jauh ke dalam jurang penderitaan. Rasa pahit di dalam dirinya menjadi
semacam penyakit yang merusak fungsi tubuhnya. Ia tidak lagi mendengar suara
burung dan suara musik. Ia tidak lagi merasakan nikmatnya makanan atau minuman.
Ia tidak bisa bercinta meskipun sangat menginginkannya karena penisnya impoten.
Ia menjadi makhluk yang menyedihkan. Segala daya kecapnya pada yang indah-indah
pupus sudah. Sangat menakjubkan bahwa pada titik itu ia belum juga mengambil
keputusan drastis untuk mengakhiri hidupnya.
Sampai pada suatu hari di sebuah
restoran, ketika Abe sedang makan siang dengan mahasiswi yang mengaguminya,
bernama Jill. Di siang yang biasa-biasa itu, muncullah satu peristiwa yang
kemudian mengubah hidup Abe. Jill tanpa sengaja mendengar percakapan keluarga
yang duduk di bangku yang dibelakanginya. Jill memanggil Abe untuk duduk di
sampingnya, dan ikut memperhatikan (menguping) pembicaraan keluarga itu. Setelah
menguping itulah, Abe seolah-olah menemukan kembali semangat hidupnya. Di hadapannya
tiba-tiba tergambar tujuan yang ingin ia capai, gambar yang amat jelas, yang
bisa ia bedakan komposisi warnanya, bisa ia cium aroma dan merasakan emosinya.
Di tengah keluarga asing itu,
seorang perempuan berbicara tentang hak asuh anak yang terancam direbut
suaminya. Ia perempuan baik dan dapat diandalkan untuk anaknya, berbeda jauh
dengan suaminya yang tidak bertanggung jawab. Fakta persidangan menunjukan,
setidaknya menurut pengakuan si perempuan, bahwa hak asuh anak seharusnya
diberikan kepadanya. Sambil terisak perempuan itu berkata, “Tapi pengacara
mantan suaminya dekat dengan hakim. Sprangler—nama si hakim—melirik dan tersenyum
kepada pengacara itu!”
Berperkara di pengadilan tidak
gratis, dan perempuan itu tidak lagi mampu membayar pengacara. Satu-satunya
kesempatan yang dimilikinya untuk mendapatkan hak asuh hanyalah jika persidangannya
diputuskan oleh hakim Iain, yakni jika hakim Sprangler diganti—yang mana itu
mustahil, atau Sprangler mati. Dengan kesal yang sudah kelewat batas, ia
berkata sungguh-sungguh, “Semoga hakim itu cepat mati, kena kanker!” Di
sinilah, Abe, yang diam-diam menguping pembicaraan keluarga asing itu,
menemukan tujuan hidupnya. “Aku akan dengan senang hati membunuh hakim itu. Aku
tidak kenal mereka. Mereka tidak kenal aku. Aku tidak memiliki kaitan apa pun
yang dapat menghubungkanku dengan mereka. Ini sempurna, kejahatan sebagai karya
seni yang tanpa cela.”
Gagasan membunuh hakim terus dia
olah di dalam pikirannya. Bahwa cara itulah langkah yang paling konkrit. Ia,
pada titik ini, menyadari bahwa tak ada gunanya menulis sebuah esai filsafat
hukum untuk mengkritik kenyataan hukum yang ada. Tak ada gunanya protes, tak
ada gunanya segala langkah intelektual yang mungkin dilakukan demi mengubah
hakim dan menolong perempuan itu. Ia percaya bahwa cara satu-satunya untuk mengubah
keadaan adalah dengan melenyapkan kanker yang ada di dunia hukum; membunuh
hakim Sprangler. Dunia akan menjadi lebih baik dengan matinya Sprangler.
Ide membunuh hakim Sprangler, bagi Abe, bukan perkara
melenyapkan nyawa seorang manusia melainkan cara mengubah dunia, untuk
memberikan manfaat kepada orang lain, untuk memberikan kebahagiaan terhadap
seorang ibu yang dengan cara-cara zalim dipisahkan dari anaknya. Dengan cara
itu ia merasa berarti. Dengan cara itu pula, bagian melompong di dalam dirinya
seketika terisi. Abe merasa menjadi manusia seutuhnya. Ia merasa itulah tujuan
hidupnya.
Komentar
Posting Komentar