Gotti dan Ekspektasi yang Sebaiknya Dibuang Jauh-Jauh

 Ada film yang nampaknya bakal biasa-biasa saja, tetapi ternyata bagus dan berkesan. Ada film yang dikira bakal bagus, tapi ternyata mengecewakan, seperti film Gotti (2018) garapan Kevin Connolly. Film biopik tokoh puncak keluarga Gambino, mafia italia yang berbasis di New York.

Sebagai penggemar film berlatar kejahatan, saya berekspektasi tinggi terhadap film ini. Film ini pasti bagus seperti film-film crime yang pernah saya tonton sebelumnya, entah itu The Godfather, The Goodfellas, atau paling tidak mendekati yang baru-baru macam The Irishman. Tapi harapan tinggal harapan.

Saya mulai merasa film ini tidak beres sejak adegan pembuka. Gotti yang bermonolog mengenalkan kota New York diringi music latar petikan gitar khas Amerika Latin. Gila, bagaimana bisa film yang menceritakan Gotti si mafia Italia diiringi musik latin, apa maksudnya?

Jika tujuan musik latar dalam film adalah untuk menghidupkan suasana, maka suasana yang hidup itu adalah suasana yang tidak nyaman, seperti salah kostum di pesta nikahan. Jika pemilihan musik ini bertujuan agar Jhon Travolta terlihat keren seperti Jack Nicholson di The Departed, maka sudah jelas itu gagal. Atau jika ingin menerbangkan pikiran penonton agar melayang-layang seperti dihadirkan dengan subtil oleh musik pembuka Narcos, jelas itu salah jurusan. Parahnya lagi, belum lagi sempat bernafas, film ini sudah flashback begitu saja.

Plot maju mundurnya aneh. Kayak ada sesuatu yang tidak pada tempatnya, tidak pas, sehingga maju mundurnya seperti tanpa tujuan. Ini tidak sama dengan The Godfather II yang menggunakan alur maju mundur, tetapi kapan dia mundur dan kapan maju lagi, fasenya jelas. Tujuannya juga jelas. Nuansanya terasa. Emosinya kena. Di Gotti, maju mundur itu malah bikin bingung. Bikin feelnya hilang. Apa yang salah? Tak tahulah.

Plot yang maju mundur bikin bingung itu, tidak mampu meyakinkan saya bagaimana seorang Gotti, yang awalnya tukang pukul kelas rendah, bisa menjadi orang nomor 1 di keluarga Gambino. Yang saya tangkap dari kelebihan Gotti dalam kesuksesannya mencapai puncak hanya nyali dan kesetiaan, juga keras hati. Tidak lebih. Apakah ia cerdas? Tidak jelas juga. Apakah ia mampu menangkap sasmita, melihat peluang, merasakan ancaman konspirasi, entahlah.

Agak mengherankan juga bagaimana keluarga Gambino pada kenyataannya bisa sekuat itu. Sebab, Gotti yang muncul di film—karena Biopik mustinya film ini dibuat semirip mungkin dengan karakter asli Jhon Gotti—tidak menunjukan keahlian persuasif. Ia hanya membentak, memukul, dan menembak. Bagi satu kalangan todongan senjata bisa efektif, tetapi melihat dari kenyataan bahwa keluarga Gambino amatlah kuat seharusnya itu karena ia hebat dalam memastikan kesetiaan berbagai kelompok. Ya mereka yang takut ditodong senjata, ya mereka yang tidak takut. Yang tidak takut ini jelas membutuhkan keahlian selain otot, yaitu kelihaian menguasai secara persuasif. Dan Gotti di film tidak terlihat memiliki bakat tersebut.

Di New York ketika itu terdapat lima Keluarga besar mafia, yaitu Gambino, Lucchese, Genovese, Bonanno, dan Colombo. Kelima-limanya terorganisir dan berbahaya. Masing-masing punya bos sendiri-sendiri, dan koordinator dari bos-bos itu adalah Gotti. Ia adalah Capo di tutti capi (bos segala bos).

Namun, Gotti yang diperankan oleh Jhon Travolta hanya kelihatan berkharisma pada saat duduk-diam-menatap-dan tidak bicara apa-apa. Ini betul-betul saya rasakan ketika Gotty duduk di kursi di acara kawinan anaknya sambil menatap anak dan istri si anak turun dari tangga. Saya cukup merinding melihat adegan ini. Jhon Travolta berhasil benar. Bos besar betul dia. Ada kharisma yang mengerjap-ngerjap. Ada tatapan hangat dan bangga seorang ayah bersamaan dengan tatapan kejam seorang Cosa Nostra. Tapi hanya ketika itu. Ketika Gotty kembali bergerak dan berbicara, ia menjadi tukang pukul lagi. Apakah karakter Gotti pada aslinya memang seperti itu? Saya tidak tahu.

Saya harus akui bahwa pandangan saya atas bagaimana seharusnya karakter seorang bos besar mafia dipengaruhi oleh Don Vito Corleone di The Godfather, yang tidak banyak bicara, ahli strategi, mampu mengendalikan emosi, dan sangat persuasif. Ia bisa sangat kejam tentu saja, tetapi efek dari kekejamannya selalu diperhitungkannya dengan cermat. Dia juga bisa mengancam, tetapi ancamannya tidak terdengar seperti tukang palak di jalanan. Cara dia mengancam, bahkan secara tidak langsung telah meninggikan derajat orang yang diancam. Dalam ungkapan yang sedikit aneh bolehlah dikatakan bahwa ia mengancam dengan penuh rasa hormat. Orang yang diancam tidak merasa terhina, hanya merasa takut.

Ada banyak kejanggalan lain di film ini. Bagaimana Gotti yang ditunjukan sebagai pahlawan di mata masyarakat, tetapi penonton tidak diyakinkan apa sebabnya dia dipuja masyarakat. Atau keluarga Gambino sebagai mafia terorganisir yang punya tradisi panjang tetapi digambarkan tak lebih dari preman anarki yang pakai jas.

Intinya, ini adalah film gagal.

Ketika saya mencari kapan film ini diproduksi dengan searching di google, saya tak sengaja melihat ratingnya di Imdb; 4.7  (empat koma tujuh) ! Wow, 5 saja tidak !

Komentar